Written by
LIGHT
LIGHT
Main Cast
Lee Jinki (SHINee Onew), Choi Chaeyong (OC)
Lee Jinki (SHINee Onew), Choi Chaeyong (OC)
Genre
Romance, Sad
Romance, Sad
Rate
General
General
Length
oneshot
oneshot
Author Note
cerita yang idenya dapet waktu bangun tidur.. gatau kenapa bisa dapet ide kayak ginian~ hahaha.. dan alangkah ga kreatifnya nyari tokoh, akhirnya pake pairingan ini lagi.. sekalian nambahin cerita soal mereka.. hha.. yasudahlah~ :p
cerita yang idenya dapet waktu bangun tidur.. gatau kenapa bisa dapet ide kayak ginian~ hahaha.. dan alangkah ga kreatifnya nyari tokoh, akhirnya pake pairingan ini lagi.. sekalian nambahin cerita soal mereka.. hha.. yasudahlah~ :p
^o^
==========
Keduanya
sama-sama keras, mereka punya alasan masing-masing yang sama kuat, yang
membuat mereka tetap mempertahankan apa yang mereka anggap benar. Tidak
ada satupun dari mereka yang mau mengalah, meskipun dengan begitu
mungkin masalah akan terselesaikan dengan lebih mudah. Namun harga diri
yang masih membuat mereka bersi kukuh dengan pendapat masing-masing.
Keduanya sama-sama tidak mau dianggap mudah.
“Memangnya kenapa? Kenapa aku tidak boleh keluar dengan temanku sendiri? Kenapa kamu jadi posesif seperti ini sih?”
“Posesif? Yah!! Aku hanya memperingatkanmu sekali dan kau bilang aku posesif??”
Teriakan
demi teriakan bergema didalam ruangan itu. Semula hanya karena hal
kecil yang mungkin bisa di maklumi, kini berkembang menjadi jauh lebih
besar. Si perempuan berteriak, dan laki-laki di hadapannya akan mengamuk
dengan nada bicara yang lebih tinggi. Tak ada niat untuk saling
bersabar, seperti apa yang biasanya selalu mereka lakukan.
“Jhoa!!
Kalau itu maumu, aku akan diam! Dan lihat saja, aku tidak akan berniat
untuk menemuimu lagi! Silakan lakukan sesukamu! Kalau kau tidak mau
dengan seorang pria yang POSESIF!!”
“BAGUS! PERGILAH! Aku tidak perduli denganmu lagi! PERGI!!”
BLAM!!
Suasana
menjadi senyap. Tak terdengar lagi teriakan-teriakan, ataupun
umpatan-umpatan ungkapan kekesalan dari siapapun. Gadis yang semula
berdiri tegap itu, mulai lemas. Menatap kosong ke arah pintu keluar yang
baru saja dibanting keras-keras oleh pria yang semula berada satu
ruangan dengannya. Hatinya begitu sakit, matanya terasa sangat berat. Ia
merasa sesak, ingin menumpahkan segalanya begitu saja. Namun rasanya ia
tidak mampu. Ia kesulitan, hanya untuk mengeluarkan setitik air dari
kelopak matanya saja ia tidak mampu. Membuat dadanya semakin sesak
setiap detik waktu berjalan.
Gadis
itu merosot jatuh. Terduduk di atas lantai kayu ruang tengah rumahnya.
Memandang kosong ke arah lantai yang ia duduki. Ia tidak tahu apa yang
baru saja terjadi padanya. Semuanya terlalu menyakitkan.
-라이트-
Sudah
berkali-kali ia seperti itu. Menendang bagian bawah meja kerjanya
disaat ia tidak tahu harus menuliskan apa didalam laporan kerjanya.
Sesekali ia memukul permukaan meja dengan kepalan tangannya. Kalau ia
tidak mengingat komputernya adalah properti kantor, mungkin benda itu
sudah melayang sejak awal.
“Ya!
Berhenti seperti itu! Kau bisa mati kalau bos melihatmu berkelakuan
seperti itu disini!” ujar Junhyung yang duduk satu ruangan dengannya.
“Ingat, kita cuma magang disini, Lee Jinki! Magang!” lanjutnya
mengingatkan.
Jinki
berdecak, menghembuskan nafasnya dengan berat, kemudian memandang tajam
ke arah layar monitor komputernya. Perasaan kesalnya yang kemarin masih
bergelayut di hatinya. Padahal ia sudah ingin melupakannya. Ia pikir
dengan berteriak untuk meninggalkan gadis itu, perasaannya tidak akan
seperti ini. Tapi entah kenapa setiap teringat, ia malah menjadi semakin
kesal. Rasanya seperti ingin membalikan meja, kemudian menendang tembok
ruangan itu hingga rubuh. Namun yang bisa ia lakukan sekarang hanya
menghembuskan nafasnya yang berat dan mencoba bersabar.
Pria
yang duduk satu ruangan dengannya, teman magangnya, mendengus pelan. Ia
tahu mereka belum akrab, tapi entah kenapa ia merasa harus melakukan
sesuatu tentang ini. Junhyung tidak bisa diam saja melihat teman
magangnya itu sampai ia benar-benar menghancurkan peralatan kerja di
ruangan ini. Menutup semua pekerjaannya, ia bangkit berdiri.
“Lee Jinki, ngopi yuk!”
.
.
Masih
mendengus dengan gaya yang sama, hanya berbeda lokasi dan suasana.
Jinki menghirup kopinya sedikit, kemudian meletakkan gelas kopinya di
atas meja di hadapannya. Duduk bersandar pada punggung kursi,
menyilangkan tangannya di depan dada, kemudian memandang ke arah
permukaan kopi hitam yang dibelinya. Kopi hitam.. sejak kapan ia
menyukai benda pahit seperti ini? Kenapa ia tidak menekan tombol kopi
yang lebih manis saat ia membeli tadi?
“Tenangkan
dulu pikiranmu!” Junhyung membuka suara. “Aku memang tak tahu apa
masalahmu, tapi kurasa.. kau memang harus menenangkan pikiranmu!”
katanya.
Jinki
seperti tidak peduli. Ia mungkin malah tidak mendengar apa yang
dikatakan Junhyung padanya. Bahkan ia sama sekali tidak dapat
berkonsentrasi pada apapun hari ini. Ini semua karena pertengkaran
kemarin. Bisa dibilang sebagai pertengkaran paling besar yang pernah ia
alami dengan Chaeyong. Paling besar. Karena ia tak pernah berteriak pada
gadis itu sebelumnya, dan ia tak pernah mendengar gadis itu meneriakkan
sesuatu dengan penuh emosi hingga kemarin. Ia merasa semuanya sudah
berada diluar batas. Dirinya, dan Chaeyong.
Semuanya
bermula saat ia melihat Chaeyong berjalan berdua dengan seorang
laki-laki. Oke, sebenarnya itu adalah hal biasa. Gadis itu memang sering
berjalan dengan laki-laki selain dirinya. Namun entah kenapa kejadian
kemarin yang paling membuatnya.. cemburu?
Beberapa
menit sebelumnya, ia menelepon gadis itu untuk memintanya bertemu
setelah ia pulang bekerja, tapi gadis itu bilang ia sedang mengerjakan
sesuatu di kampus. Jadi ia mengurungkan diri untuk bertemu. Namun
kemudian, ia melihat Chaeyong berjalan berdua saja dengan seorang pria
tinggi saat ia pergi untuk membeli sesuatu di super market. Entah kenapa
perasaannya begitu campur aduk, pikiran negatif masuk begitu saja ke
dalam kepalanya. Mungkinkah gadis itu telah membohonginya? Apakah gadis
itu sudah berpaling pada pria lain? Entah mengapa pikiran buruk begitu
saja bisa menginvasi isi kepalanya.
Kemudian
hal itu terjadi. Malam itu juga, disaat Chaeyong berada di rumah
sendirian, dan ia datang dalam keadaan marah. Tanpa mempedulikan apapun,
ia seakan menuduh gadis itu bermain api. Ia tidak tahu apa yang
merasuki dirinya sehingga ia bisa berteriak-teriak pada gadis itu. Dan
begitulah bagaimana gadis itu juga berbalik berteriak padanya. Dengan
yakin berkata jika dirinya tidak bersalah. Kemudian, begitu saja satu
kata yang sangat tak disukainya keluar dari bibir gadis itu.
Posesif.
Benarkah
aku posesif? Apakah kebebasan yang kuberikan padanya selama ini kurang?
Ataukah memang ia sama sekali tidak bisa diatur? Jadi ia sama saja
dengan wanita lain yang tidak aku sukai..?
Kemudian sesuatu terbersit begitu saja di kepalanya. Jadi salahkah aku telah menyukainya selama ini? Apa sebaiknya kami putus saja?
Jinki
mendecakkan lidahnya. Junhyung bisa melihat mata Jinki berair, meskipun
ia tidak tahu apa sebabnya. Pria dihadapannya itu menggigit bibir
bawahnya, seperti tengah menahan sesuatu. Sepertinya masalah yang
dihadapinya memang cukup berat.
“Ada
sesuatu yang bisa kulakukan untuk meringankannya?” tanya Junhyung
basa-basi. Ia tidak bisa diam saja disini melihat seseorang yang hampir
menangis tanpa tahu apa yang menjadi penyebabnya. Namun Jinki tidak
memberikan respon yang berarti padanya. Ia hanya menunduk, menatap
pangkuannya sendiri. Masih menahan sesuatu. “Pacarmu ya?”
Jinki
mendongak sedikit, namun tidak menjawab apapun yang dikatakan Junhyung.
Apakah masalahnya terlalu jelas bagi teman kerja yang belum begitu
dikenalnya? Apakah semua orang yang memiliki masalah dengan kekasihnya
selalu memiliki ekspresi seperti dirinya?
“Seorang
pria menangis hanya karena dua hal! Satu, karena ibu mereka, dan dua,
karena kekasih mereka.. jadi kusimpulkan, ini karena pacarmu!” ujar
Junhyung tanpa peduli apakah Jinki akan menjawabnya atau tidak. Hanya
sekitar satu minggu saja ia mengenal Jinki, sepertinya ia langsung tahu,
Jinki bukanlah tipe yang mudah akrab dengan orang lain. Apa lagi untuk
membeberkan masalahnya.
Ia
menarik nafas berat, kemudian menghembuskannya sejenak, sebelum kembali
mendengarkan kalimat yang diucapkan Junhyung padanya. “Jadi kalian
bertengkar?” Jinki tak merespon, tapi tentu saja Junhyung sudah tahu
itu. “Berpikirlah dengan kepala dingin! Beristirahatlah sejenak, jangan
bersikap dalam keadaan lelah! Itu terlalu riskan!”
Jangan bersikap dalam keadaan lelah..?
Ia
memang terlalu lelah akhir-akhir ini. Pekerjaannya menumpuk, magang
dari pagi hingga malam hari, pulang dengan segepok pekerjaan yang harus
ia selesaikan. Pekerjaan laboratorium proyeknya dengan dosen yang belum
ia selesaikan, dan hal lain yang tidak bisa disebutkan semuanya.
Membuatnya begitu lelah.
Jadi
itukah yang membuatnya seperti kerasukan setan? Apakah karena lelah
fisik dan pikirannya yang membuatnya berteriak asal kepada Chaeyong
tanpa mau mendengarkan penjelasannya? Lalu apakah ini semua adalah
kesalahannya sendiri?
Jinki berdecak. Tapi jika Chaeyong tidak membohonginya seperti itu, kejadian kemarin tidak akan pernah terjadi kan?
Ia mendengus. Kenapa semuanya menjadi begitu berat?
-라이트-
Kenapa
kali ini bersabar menjadi begitu sulit? Mengapa menyadarkan diri
sendiri untuk memaafkannya menjadi begitu berat? Apakah memang semuanya
sudah tidak dapat diperbaiki? Tapi.. bukankah ini terlalu cepat untuk
mengakhiri hubungan?
“Choi Chaeyong!! Aigoo~
apa yang kau lakukan, hahh?? Kau mau menghancurkan dapurku??” Kibeom
berteriak menyadarkan gadis itu dari lamunanya. Dengan cepat ia
mengguyurkan semangkuk air yang ia ambil dari kran air diatas bak cuci
piring, keatas kompor yang apinya sudah menyala begitu besar di hadapan
gadis yang kini menatap dengan kaget ke arah kompor itu. Ia hampir saja
membuat dapur Kibeom terbakar karena meletakkan panci plastik diatas
kompor yang menyala.
“Kamu
kenapa sih? Sana kau duduk! Biar aku yang meneruskannya!” teriaknya,
mendorong gadis itu untuk duduk di meja makan, kemudian melanjutkan
untuk merebus kue berasnya dan kembali ke hadapan temannya. Duduk di
sisi meja yang lain.
“Kalian marahan ya?”
Chaeyong mendongak. Sesaat ia tampilkan senyum tipis yang dipaksakan. “Hah? Anieyo~!” katanya. Namun nada bicaranya tidak bisa membohongi Kibeom sama sekali.
Kibeom
mendengus kesal. Ia mengerti gadis itu tak pernah mau membocorkan
masalah yang terjadi diantara dirinya dengan Jinki. Semua itu adalah
masalah yang harus diselesaikan sendiri oleh mereka, tidak boleh ada
yang tahu, bahkan orang tua mereka. Namun Kibeom tidak mau mengerti
untuk yang kali ini. Karena ia rasa masalah yang mereka hadapi terlalu
besar untuk ukuran mereka.
“Aku ngerti apa yang ada diperasaanmu, Yong-ah!
Sudah seperti ada ikatan batin di antara kita, dan kamu tidak bisa
membohongiku begitu saja!” ujarnya. Daripada seorang teman, ia lebih
mirip seorang ibu. “Ceritakan padaku!” Matanya yang tegas memandang ke
arah Chaeyong, namun nada bicaranya mengesankan bahwa ia mengerti gadis
itu. Ia bisa merasakannya. Mendengarnya membuat Chaeyong luluh begitu
saja, dan mau menceritakannya pada sahabatnya itu.
Semuanya.
Bagaimana ia tidak berbohong pada Jinki sama sekali. Ia memang berjalan
bersama seseorang kemarin, dia Jeongshin, teman kampusnya yang sedang
menjalankan satu proyek dengannya di satu mata kuliah yang mereka ambil
bersama. Tugas kelompok yang diberikan dosen kepada mereka, membuat
Chaeyong dan Jeongshin menjadi satu kelompok. Itulah mengapa mereka
berdua mengerjakannya sampai malam. Dan karena rumah Jeongshin searah
dengan rumahnya, maka mereka memilih untuk pulang bersama. Ia
benar-benar tidak pernah berbohong pada Jinki sedikitpun.
Ia
kesal karena Jinki tidak percaya padanya. Ia kesal karena Jinki tidak
mau mendengarkannya. Ia kesal karena Jinki marah padanya. Dan ia kesal,
kenapa semua ini bisa terjadi.
Sesaat,
ia merasakan dadanya begitu sesak. Seperti ada ribuan jarum menyerbu
dan membuat perasaannya begitu sakit. Tubuhnya sedikit menegang,
memandang nanar ke arah Kibeom tanpa tahu harus bersikap seperti apa. Ia
ingin berteriak, membanting semua yang ada dihadapannya. Atau paling
tidak, ia ingin menangis keras-keras. Namun ia tidak dapat melakukannya.
Bukan karena ia menahannya.. tapi memang ia tidak dapat melakukannya.
Ia tidak bisa menangis. Sama sekali.
“Pergilah
padanya, bicarakan ini baik-baik. Aku yakin ia akan mengerti..” ujar
Kibeom padanya. “Aku tidak bisa bilang apapun. Karena masalah ini hanya
kalian yang bisa menyelesaikannya. Ini hanya kesalah pahaman kecil,
disaat kalian berdua sedang berada dalam keadaan lelah!” katanya.
Chaeyong mendesah pelan. Ia memandangi ujung meja tanpa mengerti untuk apa ia memandangi bagian itu.
“Turunkan egomu, meski kau tahu kau benar! Tapi mengerti Jinki hyeong sedikit juga tidak salah kan? Ia sudah mengerti dan bersabar denganmu terlalu banyak, Yong-ah! Kini kau yang harus mengerti dia!” Kibeom mengusap lengan atas Chaeyong dengan lembut. Menenangkannya. “Kamu ngerti kan?”
Berat,
namun gadis itu mengangguk. Mungkin Kibeom benar, selama ini ia memang
terlalu egois. Jinki sudah mengerti terlalu banyak. Ia bahkan tidak
pernah memperlihatkan kekesalannya saat dirinya lebih memilih
kepentingannya sendiri daripada Jinki. Ia tidak pernah protes meski
Chaeyong sangat jarang, bahkan tidak pernah bersikap manis padanya.
Bahkan Chaeyong tidak mau memanggilnya ‘oppa’ seperti apa yang
dilakukan gadis lain. Mungkinkah ini titik balik dari kesabaran Jinki
selama ini? Jadi ini juga karena kesalahannya?
Mungkin ia memang harus meminta maaf pada Jinki..
“Masih
belum bisa nangis ya?” tanya Kibeom. Chaeyong hanya diam, mengalihkan
pandangannya ke arah lain, mencoba meredam perasaannya dengan cara lain
selain menangis. Kibeom mengusap kepalanya cepat. “Heuhh.. Jinjja!” katanya dengan senyum di wajahnya, kemudian beranjak untuk memeriksa kue beras yang direbusnya.
-라이트-
Jinki
berjalan menuju rumahnya dengan langkah gontai. Badan dan pikirannya
terlalu banyak diperas hari ini. Setelah pulang dari tempat magangnya,
ia harus ke laboratorium untuk mengecek sejauh mana progres dari
proyeknya bersama dosennya itu berlangsung. Dan pukul sembilan malam ia
baru bisa sampai di rumah dengan keadaan yang sangat lelah. Dan
pikirannya belum bisa kembali lebih tenang meskipun banyak sekali
pekerjaan yang bisa mengalihkannya.
Ia
sudah sampai didepan pagar rumahnya, baru akan membukanya saat orang
lain dari dalam membukanya disaat yang sama. Keduanya tersentak dan
terdiam beberapa saat begitu mereka berdua bertemu muka.
“J-Jinki-ya..”
Jinki masih terdiam sebelum ia mampu mengeluarkan suaranya. “Chaeyong-a?”
.
.
Keduanya
duduk didalam mini market yang letaknya tidak begitu jauh dari rumah
Jinki, menghadap ke dinding kaca luar mini market dimana mereka bisa
melihat jalanan diluar sana. Mereka tidak mau ibu Jinki tahu bahwa
keduanya sedang ada masalah saat ini. Jadi satu-satunya jalan adalah
mengobrol di tempat lain yang jauh dari keluarga mereka.
“R-ramyeon..?” Jinki menyodorkan ramyeon cup yang sedang diseduhnya ke arah Chaeyong. Gadis itu menggeleng pelan.
“Aku udah kenyang..” jawabnya datar.
Jinki
hanya mengangguk pelan, kemudian menggeser posisi duduknya yang semula
agak jauh dari Chaeyong, menjadi lebih dekat dengan gadis itu. Mereka
duduk berdua dalam diam. Tidak satupun dari mereka mengucapkan sepatah
katapun. Bukan diam seperti biasanya saat mereka bertemu, diam yang
hangat. Kali ini keduanya begitu canggung, bisa dilihat dari ekspresi
keduanya, bagaimana mereka berpikir harus memulai dari mana untuk
berkomunikasi satu sama lain.
Hingga Jinki memilih untuk mengawali pembicaraan. “Kamu.. udah lama? Di rumahku?” katanya gugup.
“Oh..
begitulah..” Chaeyong menjawab begitu pelan. Mungkin jika Jinki berada
sedikit lebih jauh, ia tidak bisa mendengar apapun yang dikatakan gadis
itu.
Suasana
kembali hening. Jinki terus memandang ke arah tutup kertas ramyeon cup
nya, sementara Chaeyong tak henti-hentinya membaca kalimat yang sama
pada botol susu pisang digenggamannya. Sampai ia menyadari, ia tidak
bisa terus seperti ini.
“J-Jinki-ya..”
ia memanggil pria itu, membuatnya menoleh padanya sedikit. “A-aku
tahu.. mungkin.. bagaimana mengatakannya..” Chaeyong menggigit bibir
bawahnya. Tidak tahu bagaimana ia harus menjelaskan semua yang ada
didalam perasaannya saat ini. Sampai ia hanya bisa mengucapkan satu
kalimat pendek padanya. “Maafkan aku..” gadis itu menunduk. Entah
mengapa setelah mengucapkannya, ia merasa sangat bersalah pada pria yang
duduk di sampingnya itu. Ia tahu, dirinya telah begitu banyak bersalah
pada Jinki.
Jinki
tidak menjawab. Ia membiarkan gadis itu mengungkapkan apa yang ingin
diucapkannya. Ia harus menyelesaikan ini, ia tanamkan ini di kepalanya.
“Maaf
jika selama ini aku terlalu banyak menyusahkanmu.. seharusnya aku
menyadarinya saat kau marah kemarin.. seharusnya aku tidak berteriak
padamu.. seharusnya aku mendengarkanmu! Maaf.. aku terlalu.. egois..”
Luluh?
Mungkin itu kata yang tepat.. ataukah mengerti? Entah. Namun Jinki
merasa lebih baik setelah mendengar apa yang diucapkan gadis itu. Bukan
karena ia merasa menang, tapi ia merasa masih ada kesempatan untuk
memperbaiki semuanya. Dirinya dengan gadis ini.
“Aku
juga .. mungkin karena aku terlalu lelah, jadi aku tidak bisa berpikir
dengan benar..” Jinki berujar. “Aku juga bersalah, maaf ya!” katanya.
Ini
lebih mudah dari yang mereka duga. Berpikir dengan kepala dingin,
mencoba bersabar mendengarkan semuanya, kemudian mengerti dan memaafkan.
Kenapa mereka tidak bisa melakukannya sejak awal? Hanya karena ego yang
merasuki diri mereka masing-masing. Padahal semuanya begitu mudah,
tidak membuat keduanya lelah, dan semua akan berakhir baik-baik saja.
Yang mereka butuhkan hanya bersikap tenang.
Jinki
tersenyum. Ia merasa begitu bodoh karena membiarkan emosinya meluap
tanpa kendali kemarin. Ia tahu gadis di sampingnya juga merasakan hal
yang sama. Hingga tidak dapat mendongakkan wajahnya yang menunduk
semakin dalam.
“Yah! Sudah selesai! Aku sudah memaafkanmu! Yah,
kau..” Jinki merasakan bahu gadis itu bergentar saat ia menyentuhnya.
Sesaat kemudian ia mendengar isakan pelan yang tertahan dari arah yang
sama. “Kamu.. menangis?”
Suatu
hal yang sangat langka terjadi pada gadis itu. Menangis, adalah hal
yang ia tahu sangat sulit untuk dilakukan gadis itu meskipun sesuatu
yang menyakitkan terjadi padanya. Namun yang tidak diketahui Jinki
adalah, ada dua hal dimana Chaeyong bisa meneteskan air matanya tanpa
kesulitan. Disaat seseorang yang ia sayangi tersakiti, dan saat ia
merasa sangat bersalah pada orang lain.
“Yah!
Wae? Kamu sakit?” katanya. Menggoyangkan tubuh gadis itu pelan untuk
memintanya mendongak. Gadis itu membuang wajahnya ke arah lain, mengusap
airmatanya dengan lengan kemejanya. Ia tidak ingin Jinki melihat
wajahnya yang menyedihkan. Ia tidak mau Jinki merasa kasihan padanya.
Namun
yang ia temukan saat memandang ke arah Jinki adalah senyum yang begitu
menyejukkan, bukan wajah yang menampakan rasa kasihan atau ekspresi yang
tidak diinginkannya. Jinki membuatnya begitu tenang saat ini. Sangat
berbeda dengan kemarin, saat keduanya sama-sama terbalut ego
masing-masing.
“Yah!
Kau..” Jinki terkekeh geli sejenak, menatap wajah Chaeyong yang begitu
kusut. Dan entah bagaimana kejadiannya, Chaeyong tidak begitu
mengingatnya. Yang ia tahu, ia sudah berada didalam rengkuhan pria itu.
Pria yang sangat disukainya itu. Sesaat kehangatan menjalari seluruh
tubuhnya.
Ia
merasakan tangan besar Jinki menepuk punggungnya pelan, menenangkannya.
Sedangkan tangan yang lain mengusap pelan bagian belakang kepalanya
lembut. Kepalanya terbenam di dada Jinki yang hangat. Sesaat ia
merasakan kenyamanan yang luar biasa, entah kenapa. “Menangis saja yang
keras, buang kekesalanmu! Tetap seperti ini agar orang lain tidak bisa
melihatmu menangis, arrachi?” katanya. Seperti sebuah instruksi,
air mata mulai mengalir di wajah Chaeyong, dan suara isakan bisa
terdengar cukup keras di telinga Jinki. Membuatnya menyunggingkan senyum
tipis di wajahnya, dan tidak berhenti menepuk punggung gadis itu pelan.
Mungkin
tidak banyak yang bisa dijelaskan gadis itu, tapi ia tahu gadis itu
sedang menyesali sesuatu. Ia tidak perlu mendengar banyak alasan untuk
saat ini hanya untuk memaafkan gadis itu, karena ia bisa mengerti, ia
tahu gadis itu begitu tulus meminta maaf kepadanya. Dan dirinya sendiri
juga memiliki sesuatu yang harus dimaafkan oleh gadis itu. Seperti
hubungan simbiosis, keduanya harus saling menguntungkan. Semua seperti
sebuah pelajaran baginya, tentang dirinya sendiri, perasaannya, dan
gadis ini. Egoisme yang begitu mudah berkembang menjadi emosi, namun
bisa dikalahkan dengan mudah juga jika mereka bisa memahami arti kata
‘mengerti’ dan ‘bersabar’. Kemudian semuanya akan menjadi baik-baik
saja. Semua akan berakhir indah.
Dan
keduanya bisa menyadari bagaimana perasaan masing-masing, terhadap satu
sama lain. Semuanya semakin mendewasakan hubungan mereka.
-END-
u_u
sangkyuu for reading~!!
comment juseyo~ ^^
-LIGHT-
cute ending AAACCKK :3333
ReplyDeleteBAGUUUUSSSS :''''')) SUGHOIIK
ReplyDelete