Written by
LIGHT
Main Cast
King Jonghyun (SHINee Jonghyun)
Queen Lee (OC)
Prince Lee Jinki (SHINee Onew)
Kang Joon (OC)
Choi Minho (SHINee Minho)
Jeong Minhye (OC)
Lee Jeongshin (CNBlue Jeongshin)
Dan cast lain yang belum disebutkan dalam cerita.. ^o^
King Jonghyun (SHINee Jonghyun)
Queen Lee (OC)
Prince Lee Jinki (SHINee Onew)
Kang Joon (OC)
Choi Minho (SHINee Minho)
Jeong Minhye (OC)
Lee Jeongshin (CNBlue Jeongshin)
Dan cast lain yang belum disebutkan dalam cerita.. ^o^
Genre
Slice of Life, Romance, Fluff, Friendship, Family
Slice of Life, Romance, Fluff, Friendship, Family
Rate
General
General
Length
chaptered : 1 of ?
chaptered : 1 of ?
Disclaimer
hak milik pada cerita, bukan pada tokoh, bahkan OC nya pun bukan punya saya~ hahaha
hak milik pada cerita, bukan pada tokoh, bahkan OC nya pun bukan punya saya~ hahaha
Warning
hanya fiksi belaka.. :)
hanya fiksi belaka.. :)
^o^
==========
Siang
ini pukul 13.45 pangeran Lee Jinki, telah sampai di bandara
internasional Incheon. Putra Pertama King Jonghyun kembali ke Korea
setelah selama 3 tahun berada di Kanada untuk melakukan studi setelah
lulus dari South Korea Royal Academy..
Berita
tentang putra pertama raja Korea Selatan itu sejak semalam tak berhenti
memenuhi acara berita di televisi, radio, dan internet. Bahkan halaman
utama Koran pagi hari ini. Wajah tampan sang pangeran pun tak berhenti
menghiasi media-media informasi di seluruh negri, membuat hampir seluruh
perhatian masyarakat Korea Selatan tertuju pada calon kuat Putra
Mahkota yang akan menjadi penerus Raja saat ini. Sosok santun, ramah,
dan pintar yang sudah dikenal oleh seluruh rakyat Korea Selatan sejak
dirinya masih kecil. Putra kebangaan Korea.
Di
layar besar yang melekat di tembok sebuah bangunan besar di tengah ibu
kota itu, tampak sang pangeran yang tengah berjalan keluar dari pintu
kedatangan. Disambut oleh sekelompok wartawan yang ingin meliput
kedatangannya, juga beberapa warga masyarakat yang ingin melihat secara
langsung sosok pangeran yang sudah cukup lama meninggalkan negaranya
untuk belajar itu. Namun harapan untuk melihat sosok pangeran itu tak
bisa benar-benar mereka dapatkan, karena sekelompok pengawal dengan
pakaian formal seragam berdiri berjajar, meminta orang-orang itu
memberikan jalan agar pangeran tidak terhambat sampai ke mobil yang akan
mengantarkannya menuju ke Istana. Dimana keluarga dan ayahnya telah
menunggu.
Nampak
senyum lebar yang berkarisma ia layangkan kepada semua yang berada di
sekitarnya. Ia melambaikan tangannya dengan santun, tanpa berhenti
melangkahkan kakinya ke arah tujuan. Semua itu dapat dilihat dari layar
besar yang tengah menyiarkan berita kedatangannya. Dimana sebagian orang
yang berada disana, menyempatkan diri untuk melihatnya.
Termasuk
seorang pria dengan jaket kulit berwarna coklat yang tengah menggigit
roti melonnya, mengisi penuh mulutnya hingga pipinya menggembung. Ia
mengawasi layar besar itu tanpa berkedip. Ia kemudian menelan separuh
dari isi mulutnya, kemudian meneguk susunya hingga menetes sedikit di
dagunya. Masih melihat beritanya, ia menghabiskan semua makanannya,
kemudian membersihkan mulutnya. Ia membuang bungkus makanannya kedalam
tempat sampah, kemudian kembali memperhatikan ke arah layar itu sambil
memasukkan kedua tangannya kedalam saku jeansnya. Ia mendengus sejenak,
kemudian pergi untuk mengambil motor yang terparkir tak jauh dari
tempatnya berdiri.
~O~
Istana
sudah sibuk sejak semalam. Para pelayan membersihkan kamar putra
pertama raja yang sudah lama tak terpakai. Meskipun setiap hari kamar
itu tetap dirawat dan di bersihkan, namun di saat yang terhitung spesial
ini, kepala pelayan menugaskan mereka untuk membersihkan ruangan itu
dengan ekstra. Karpet, gorden, sprei, bed cover dan sarung
bantal diganti dengan yang baru. Bunga-bunga yang mengiasi dalam kamar
juga diganti dengan yang baru meskipun baru kemarin mereka mengganti
semuanya. Kepala pelayan tetap memeriksa secara detil, barang-barang
yang diletakkan didalamnya. Buku-buku, hiasan-hiasan, juga benda-benda
kesayangan pangeran, tidak boleh ada yang terletak dengan asal. Bahkan
sebatas satu inchi saja, kepala pelayan tidak membiarkan itu terjadi.
Di ruangan lain, beberapa pelayan menyiapkan dekorasi untuk penyambutan pangeran Lee Jinki. Menata meja dan kursi di hall
istana yang luas, menyiapkan hiasan-hiasan sederhana sesuai selera
putra pertama raja itu. Sementara juru masak didapur istana menyiapkan
segala hidangan untuk menyambut kedatangan sang pangeran, sekaligus
merayakan kelulusan pangeran Lee Jinki dari universitasnya di Kanada.
Kepala
pelayan istana mengawasi semua yang dikerjakan bawahannya, tanpa luput
sedikitpun dari kesalahan, sekecil apapun. Bahkan semut kecil yang
merambat diatas kudapan yang dihidangkan, ia akan meminta juru masak
mengganti semuanya, kemudian memperingatkan dengan keras atas kesalahan
itu.
Sementara
di salah satu ruangan di istana, tempat dimana Raja sering menghabiskan
waktu untuk sekedar membaca buku, atau minum teh bersama istrinya,
nampak sang Raja tengah menonton televisi untuk melihat berita tentang
kedatangan anak lelaki yang sudah di rindukannya. Anak sulungnya yang
telah membanggakannya. Senyum lebar pun terkembang di bibirnya.
“Aku senang, akhirnya aku bisa bertemu dengan anakku lagi..” sang Ratu berkata, kemudian tersenyum lembut.
“Dia
sudah terlihat lebih dewasa! Dia benar-benar.. tidak pernah
mengecewakanku!” timpal sang Raja, kemudian tersenyum puas. Tampak
guratan bahagia di wajahnya yang tidak bisa di tutupinya dengan ekspresi
apapun. Ia terlalu bahagia.
.
“Kursi
yang disini! Pindahkan kesana!” “Bunga ini, ganti! Pangeran tidak suka
yang terlalu merah!” “Potongan kue ini beda 2 inchi! Bawa ke dapur,
ganti dengan yang lain!”
“Yah!
Tidakkah kau merasa dia sedikit keterlaluan?” bisik seorang pelayan
wanita dengan seragam yang mirip seperti hanbok, namun lebih modern. Ia
memeluk pot bunga di tangannya, masih mencibir kepala pelayan yang sibuk
berteriak ini itu di tengah ruangan, namun ia tidak berani menghentikan
apa yang ia lakukan. Sementara temannya yang ia ajak bicara sedang
meletakkan kudapan manis di salah satu sudut meja panjang yang telah di
siapkan.
Gadis
yang memakai pakaian juru masak itu terlihat tidak mengindahkan apa
yang dibicarakan pelayan yang masih berdiri di sebelahnya itu. Bukannya
ia tidak setuju dengan apa yang diucapkannya, ia hanya tidak berani
mengangkat wajahnya untuk memperhatikan kepala pelayan yang dikenal
galak itu, kemudian akan dimarahi habis-habisan karena ia tidak
berkonsentrasi pada pekerjaannya.
“Tsk! Kalau saja dia bukan kepala pelayan aku-”
“Yang
memeluk bunga disana! Apa yang kau kerjakan? Cepat pindahkan bunga itu
dan segera kerjakan yang lain!” kepala pelayan berteriak pada bawahannya
itu, dan segera di turuti tanpa banyak bicara. Setelah menunduk hormat,
ia bergegas memindahkan bunganya. Sementara juru masak yang sudah
selesai meletakkan makanan itu kembali ke dapur untuk menerima perintah
dari kepala dapur.
.
Aroma
lama. Aroma yang sangat dirindukan Lee Jinki selama ia berada di
Kanada. Ia sangat merindukan rumahnya, tempat dimana ia menghabiskan
waktu sejak kecil hingga tiga tahun yang lalu, sebelum ia berangkat ke
Kanada karena mendapatkan bea siswa atas prestasinya di South Korea Royal Academy pada
tingkat sekolah menengah. Jinki berjalan mengelilingi lorong-lorong
dalam istana itu. Setelah sampai di istana, bukannya istirahat atau
bergegas menemui orang tuanya, ia malah berkeliling melihat kesibukan
pelayan-pelayan istana mempersiapkan acara yang akan diadakan nanti
malam, untuknya.
Semua
pelayan menunduk pada saat Jinki melalui mereka, meskipun mereka sedang
mengangkut satu keranjang apel, membuat apel yang ada didalam keranjang
yang ia peluk berjatuhan. Jinki senang, akhirnya ia bisa berada di
rumah sekarang. Terutama kamarnya, tempatnya menghabiskan separuh
waktunya untuk belajar saat ia masih berada di sekolah menengah. Ia
ingin segera masuk kedalam kamarnya. Namun sebelum ia menjalankan
niatnya itu, ia berhenti didepan kamar lain. Ia merasa ingin menyapa
pemiliknya. Namun ia tidak yakin pemilik ruangan itu sedang berada
disana.
“Lee-Wonja (Pangeran)!”
tiba-tiba seseorang memanggilnya, membuat Jinki menoleh begitu saja
kearah suara. Ia menemukan ibunya, sang ratu, berdiri tak jauh darinya
dengan senyum lembut, senyum yang sangat dirindukannya.
“Ibu!”
Jinki berjalan mendekati ibunya, kemudian memeluknya erat. Ia sangat
merindukan wanita paruh baya ini, meskipun hampir setiap hari mereka
berhubungan melalui telepon.
Jinki melepaskan pelukanya, begitu juga ibunya. “Ibu senang kau tidak memanggilku, Mama (Yang
mulia)! Kalau begini ibu benar-benar merasa bertemu dengan anak ibu!”
ujarnya. Jinki tersenyum, kemudian kembali memeluk ibunya sampai
beberapa lama.
“Kau
tidak merindukan ayahmu?” Tanya ibunya setelah melepaskan pelukannya
untuk yang kedua kali. Jinki hanya mengangguk mengiyakan. Tentu saja ia
merindukan ayahnya.
“Tapi,
ibu, aku juga merindukan pemilik kamar itu!” jawabnya sambil menunjuk
ke arah kamar yang sebelumnya menjadi perhatiannya. Kamar yang tidak
terlihat tanda-tanda kehidupannya sedikitpun.
Ibunya
ikut memandang kea rah kamar itu, kemudian melepas nafas pendek. “Ia
berjanji akan datang nanti malam!” jawab ibunya. Ia kemudian menepuk
lengan anak lelaki yang berdiri di hadapannya itu. “Sekarang mandi dan
beristirahatlah! Kau pasti lelah! Nanti malam akan ada banyak tamu yang
datang! Kau tidak boleh mengantuk, arraseo?” ujar ibunya memperingatkan.
“Ye, eomoni!”
~O~
“Apa yang terjadi dengan rambutmu? HAHAHAHAHAHA”
Suara
tawa Jeongshin terdengar menggelegar di ruang tengah rumah Kang Joon.
Ia tertawa begitu saja saat memasuki ruangan itu dan melihat apa yang
terjadi pada kepala temannya itu. Rambut Kang Joon dipotong sangat
pendek. Ia tahu Kang Joon memang tidak feminim, tapi ia juga tidak
menyangka gadis itu akan memotong rambutnya sependek ini.
Kang
Joon berusaha tidak peduli pada suara tawa Jeongshin, meski pada
akhirnya ia masih merasa terganggu karenanya. Bukan karena di sengaja
juga ia memiliki rambut sependek ini sekarang. Ini karena kelalaian
pegawai salon tempatnya potong rambut. Konsentrasinya terpecah karena
pegawai itu memotong rambutnya sambil menonton berita kepulangan Lee
Jinki dari televisi yang diletakkan di sudut ruangan, hingga melakukan
kesalahan pada rambut Kang Joon. Dan kini gadis itu harus memiliki
rambut yang sangat pendek karenanya.
Jika
ia harus menyalahkan orang, ia tidak tahu siapa yang harus ia salahkan.
Mungkin ia harus menyalahkan dirinya sendiri karena berangkat untuk
memotong rambutnya pada hari yang sama dengan kepulangan pangeran negara
mereka. Ia pikir, siapa yang perhatiannya tidak teralihkan oleh berita
itu? Oke, mungkin dirinya salah satu yang tidak terlalu memperhatikan
beritanya.
“Diam
kau!” akhirnya Kang Joon angkat bicara setelah emosinya meluap. Ia
kesal karena Jungshin membuat konsentrasinya pecah, juga karena
menertawakan kondisi rambutnya saat ini.
“Sorry~” jawabnya.
Jeongshin
duduk. Kemudian memandang ke arah meja pendek yang ada didepan sofa
ruang tengah itu, dimana buku-buku milik Kang Joon bertebaran di
atasnya.
“Yah!
Kau tidak berangkat kerja?” tanya pria jangkung itu seraya mengambil
dengan asal salah satu buku di atas meja ruang tengah yang sedang
dipakai Kang Joon untuk belajar. Kang Joon, belajar, adalah hal yang
luar biasa sebenarnya. Namun Jeongshin sudah tidak heran lagi, karena
akhir-akhir ini gadis itu sering menghabiskan waktunya bersama buku-buku
pelajarannya saat ia tidak bekerja. “Joon-ah?”
“Day-off!”
jawab Kang Joon asal tanpa memperdulikan Jungshin yang kini sudah
terlentang di atas karpet di samping Kang Joon. Ia membaca buku yang
sebelumnya diambilnya itu. Buku cetak dari South Korea Royal Academy. Dimana Kang Joon menuntut ilmu sekarang.
Sejak
gadis ini menyadari, betapa pentingnya hidup layak, ia jadi memiliki
tekad yang besar. Dengan kemampuan yang dimilikinya, belajar
habis-habisan, ia mengikuti tes masuk sekolah terbaik di Korea itu
dimana hanya orang-orang tertentu yang bisa masuk kedalamnya, dan dengan
segala keberuntungan yang dimilikinya, Kang Joon berhasil masuk ke
sekolah itu. Namun konsekwensinya adalah, ia harus belajar mati-matian
setiap ada kesempatan, meskipun pada saat istirahat kerja.
“Padahal aku dengar yang lain mati-matian berebut shift hari ini karena Lee-Wonja
baru pulang dari Kanada!” Jeongshin bangun, duduk di hadapan sisi meja
yang lain, kemudian meletakkan buku yang memuakkan pikirannya untuk
sesaat itu. “Kau tidak mau bertemu dengan prince charming seluruh gadis di Korea Selatan itu, Kang Joon?”
Kang
Joon menghentikan kegiatannya, kemudian menatap Jeongshin dengan malas.
“Aku-tidak-peduli!” katanya. “Cepat pergi kalau kau tidak ada urusan
lagi di rumahku, Lee-Borangja (gelandangan)! Aku mau belajar!”
tambahnya dan berusaha untuk tidak mempedulikan Jeongshin lagi.
Jeongshin hanya membalasnya dengan dengusan, kemudian kembali tiduran
diatas karpet.
Sebenarnya
Kang Joon bersyukur hari ini Lee Jinki pulang, karena bisa dipastikan
seluruh pelayan berebut ingin bertemu dan melihat pangeran pujaan mereka
itu secara langsung. Terutama bagi pelayan-pelayan baru yang ingin
melihat Lee-Wonja dari jarak dekat. Itu artinya dirinya bisa
beristirahat karena pelayan-pelayan itu akan memperebutkan shift dimana
ia seharusnya bekerja. Saat ada satu teman kerjanya yang meminta dirinya
untuk bertukar, ia mengiyakan saja. Ia bisa membayangkan pekerjaan
berat apa yang akan ia temui hari itu jika ia tidak mau bertukar. Saat
ada acara besar seperti ini, kepala pelayan Kwon akan berteriak-teriak
hanya karena kesalahan kecil dalam persiapan, menggunakan bawahannya
sebagai alat untuk kerja rodi. Hanya membayangkannya saja ia sudah bisa
merasakan betapa melelahkannya pekerjaan mereka. Lebih baik ia libur
saja.
Sekaligus,
ia menggunakan waktu kosongnya ini untuk belajar, karena besok pagi
akan ada ‘hadiah’ dari guru di kelas astronomi dasar. Ia akan mati jika
tidak benar-benar belajar malam ini. Ia tidak ingin nilainya buruk hanya
karena mempedulikan Lee-Wonja yang tidak akan membantunya mendapatkan nilai yang baik besok.
~O~
Stelan
jas bermerk dengan desain yang sederhana, sepatu formal yang mengkilat
dan rambut yang ditata dengan rapi, membuat Lee Jinki benar-benar
terlihat seperti pangeran. Tidak seperti sebelumnya, hanya mengenakan
kaos dan cardigan tipis seperti pria biasa. Kini ia benar-benar terlihat
seperti pangeran.
Acara
penyambutan sedang berlangsung, sang Raja tengah berpidato didalam
ruangan tersebut, sementara Lee Jinki berdiri di samping ayahnya itu
dengan senyum tipis terulas di wajahnya. Ia mengangguk hormat kepada
para tamu kerabat saat ayahnya sedikit membanggakannya. Putra pertama
raja ini benar-benar memiliki etika. Ia tidak sedikitpun membuat ayahnya
berhenti untuk membanggakannya.
Seluruh
tamu undangan dengan pakaian formal yang terlihat mahal itu berdiri
didalam ruangan tersebut, mendengarkan pidato raja yang cukup panjang.
Entah mereka benar-benar mendengarkan atau tidak, yang jelas tidak
tampak sedikitpun raut wajah bosan dari satupun tamu yang ada disana.
Hampir seluruhnya memandang bangga ke arah Jinki. Terutama tamu-tamu
wanitanya, yang berharap bisa mengakrabkan diri pada pangeran itu,
kemudian berniat menjodohkan anak mereka dengannya.
Tak
ketinggalan beberapa pelayan istana yang berjaga di sekitar ruangan
menunggu perintah, mereka mencuri-curi pandang ke arah Lee-Wonja
yang berdiri cukup jauh didepan mereka. Sesekali mereka berbisik,
bagaimana mereka ingin mendekati pria itu kemudian ingin memperkenalkan
diri. Tapi mengingat status derajat yang berbeda jauh, mereka tidak
mungkin melakukannya.
Ditengah
pidato sang raja kepada seluruh tamu undangan, Jinki terlihat melirik
kesana kemari. Mencari-cari seseorang yang sejak awal ingin di temuinya.
Namun ia yakin, tidak akan mudah bisa bertemu orang itu. Sejak dulu
memang seperti itu.
.
Pidato
akhirnya usai, dan kini acara bebas sudah dimulai. Para tamu
bergerombol dengan kelompok kecil mereka, bercakap-cakap sambil
menikmati makanan yang telah disiapkan oleh juru masak kerajaan.
Sementara Lee Jinki sibuk berjalan kesana kemari tanpa membawa makanan
apapun ditangannya. Ia masih sibuk mencari-cari seseorang. Hingga tak
sengaja, seseorang menabraknya di depan pintu hall kerajaan itu.
Seorang
pria tinggi dengan seragam penjaga istana melangkah mundur setelah tak
sengaja ia menabrak Jinki. Namun bukannya meminta maaf, ia malah
tersenyum lebar. “Hyeo-” ia terdiam sejenak, mengoreksi panggilannya. Ia
berdiri tegak, kemudian menunduk hormat di hadapan Jinki. “Wonja mama (Yang mulia pangeran)!” sapanya hormat.
Jinki
tersenyum, kemudian menepuk lengan pria yang masih menunduk di
hadapannya itu. Membuat pria itu menegakkan badannya. “Sangat canggung
mendengarmu memanggilku seperti itu, Choi Minho!” ujarnya, kemudian
tertawa pelan. Penjaga bernama Minho itu hanya menanggapinya dengan
senyum malu-malu sambil menggosok bagian belakang lehernya. “Kau sudah
memakai seragam ini sekarang?” katanya.
“Ah.. ye, akhirnya saya bisa memakainya!” jawabnya.
“Bagaimana
dengan kepala penjaga istana? Kau menyukainya?” tanya Jinki iseng. Ia
tahu bagaimana sifat kepala penjaga. Kadang dirinya sendiri juga tidak
menyukainya.
Minho
terlihat memeriksa sekeliling mereka. Ia ingin membuka suara pada
awalnya, namun ia mengurungkan niatnya. Ia menutup kembali mulutnya,
tampak berpikir sebentar, kemudian mulai menjawab. “Bisakah kita tidak
membicarakan ini? Saya baru seminggu menjalani training, saya tidak
ingin dikeluarkan hanya karena mengumpat..” jawabnya jujur.
Lee Jinki tertawa terbahak-bahak, membuat beberapa tamu kerabat yang datang menoleh ke arahnya. “Arraseo!
Tidak perlu menjawab, aku sudah tau apa yang akan kau katakan!”
jawabnya. Minho tersenyum tipis. Ia pikir, Jinki selalu tahu apa yang
ada dipikirannya. “Ah, Minho-ya!”
“Ye, H-, Wonja mama?”
“Dia.. apa hari ini tidak datang?”
“Ye?”
~O~
11.35 PM
Tidak
terasa, Kang Joon sudah menghabiskan waktunya sangat lama untuk
belajar. Bahkan Jungshin kini sudah berada di atas sofa dan tidur
disana. Ibunya yang sudah pulang dari tempatnya bekerja juga sudah
berada di dalam kamarnya untuk tidur. Tinggal dirinya sendiri yang masih
hidup dirumah itu.
Tiba-tiba
saja perutnya terasa lapar. Mungkin energinya habis karena ia terlalu
berkonsentrasi untuk belajar malam ini. Ia tidak ingat sejak kapan ia
mulai ‘gila belajar’ seperti ini, padahal dulu menyentuh buku saja
rasanya ia malas. Dari pada membacanya, ia hanya akan menggunakannya
sebagai bantal tidur. Tapi sekarang, ia bahkan tidak sadar matanya mulai
minus dan harus menggunakan kacamata saat membaca. Akibat terlalu
banyak belajar, ia jadi seperti ini.
Kang
Joon menemukan nasi, lauk, sup dan kimchi di atas meja makan di dapur.
Pasti ibunya yang meninggalkannya disana. Ibunya sangat tahu, Kang Joon
akan melupakan segalanya jika ia sudah berkonsentrasi pada satu hal.
Makanya ia tinggalkan makan malam untuk anaknya sebelum ia pergi tidur.
Gadis
itu mencuci tangannya, kemudian duduk dan berdoa. Ia memegang
sumpitnya, mengambil kimchi dan menyuapkannya banyak-banyak, dan sesaat
kemudian ia mendengar seseorang menekan bel pintu rumahnya. Masih
mengunyah makanannya, Kang Joon memeriksa jam di ponselnya. Sudah hampir
tengah malam. Sangat tidak etis bertamu malam-malam seperti ini ke
rumah orang. Apa jangan-jangan penjahat?
Mungkin lebih baik tidak dibukakan saja! Pikir Kang Joon, kemudian mengambil sendoknya dan menyuapkan sesendok nasi kedalam mulutnya yang masih berisi kimchi.
Namun
suara bel pintu terdengar lagi beberapa kali, membuat Kang Joon kesal,
karena lagi-lagi seseorang mengganggunya. Kang Joon beranjak dari meja
makan, masih dengan mulut penuh makanan, juga sendok dan sumpit yang
masih berada di tangan kanannya. Ia berjalan mendekati pintu dan membuka
kuncinya, memutar handel dan membuka pintunya untuk melihat siapa yang
baru datang.
“Eo?” dengan mulut penuh, Kang Joon berusaha mengucapkan sesuatu.
“Ah! Akhirnya kau ada di rumah!” ujar pria di hadapannya itu tanpa sapaan.
Kang
Joon mengunyah makanannya, kemudian menelannya sampai habis. Ia tidak
mau apa yang akan diucapkannya harus terhambat oleh makanan yang ada di
mulutnya.
“Kau sedang makan?” pria itu bertanya lagi pada Kang Joon. “Pas sekali!”
“Apa yang kau lakukan disini?” bukannya menjawab, Kang Joon malah balik bertanya.
“Mencarimu!” jawabnya, kemudian tersenyum lebar.
“Hah?”
“Boleh
aku masuk? Diluar dingin sekali!” katanya lagi, meminta ijin pada Kang
Joon untuk masuk kedalam rumahnya. Kang Joon tidak menjawab, ia hanya
berdiri didepan pintu, menghalangi pria itu untuk masuk kedalam
rumahnya. “Ya! Kau mengenalku, dan kau pasti tahu aku bukan orang jahat!”
Gadis itu masih terlihat berpikir, meskipun kini urat wajahnya yang semula tegang, sudah sedikit melemas. “Aku hanya-”
Pria
itu berdecak, kemudian berjalan masuk melewati Kang Joon. “Ada apa
dengan rambutmu?” gumamnya. “Bawa-bawa sendok dan sumpit, kau pikir bisa
membunuhku dengan itu?” gumaman itu hampir saja membuat Kang Joon
benar-benar membunuhnya dengan sendok.
Tanpa
banyak bicara, setelah keduanya berada didalam dan duduk di meja makan,
pria itu merebut sendok yang berada di tangan Kang Joon, kemudian
menyuapkan makan malam Kang Joon ke mulutnya sendiri, banyak-banyak. Ia
terlihat sangat kelaparan, seperti bertahun-tahun tidak pernah makan.
Dalam hati Kang Joon merasa kesal dengan tingkah pria ini, namun melihat
cara makannya seperti itu, membuatnya tidak bisa menghentikannya. Ia
biarkan saja pria itu menghabiskan makan malamnya.
“Apa
disini penampungan?” Tanya pria itu tiba-tiba setelah menelan makanan
yang sebelumnya memenuhi mulutnya. Kang Joon menaikkan kedua alisnya tak
mengerti. “Ada seseorang yang tidur di sana!” lanjut pria itu sambil
menunjuk ke arah sofa ruang tengah, dimana Jeongshin sedang tidur
sekarang.
“Itu
Jeongshin!” jawab Kang Joon singkat. Pria di hadapannya yang masih
sibuk meneguk sup dari mangkuknya itu hanya mengangguk pelan. Sepertinya
jawaban singkat itu cukup menjelaskan pertanyaannya.
.
Entah
mengapa Kang Joon tidak bisa mengelak saat pria yang tiba-tiba datang
tengah malam itu berkata padanya bahwa ia ingin menginap disana. Padahal
sebelumnya pria itu sudah menghabiskan lebih dari separuh makan
malamnya, membuatnya harus mengisi perutnya yang masih lapar dengan dua
gelas air putih saja. Kang Joon hanya bisa mendengus untuk menahan rasa
kesalnya, kemudian menurutinya dengan mengambil futon yang disimpan di
lemari, dan meletakkannya di ruang tengah rumahnya. Bersebelahan denga
sofa yang di tempati Jungshin.
“Tidur
disana! Besok pagi langsung pulang saja setelah bangun! Aku tidak ingin
ibuku melihat rumahnya menjadi penampungan gelandangan seperti ini!”
ujarnya asal, kemudian pergi masuk kedalam kamarnya sendiri. “Kalau kau
bangun duluan, jangan lupa bangunkan pria di sampingmu! Arraseo??” teriaknya lagi setelah berada didalam kamar.
Pria
itu menempatkan diri di atas futon, kemudian menarik selimutnya hingga
sebatas leher. Tidak mempedulikan teriakan Kang Joon, pria itu terlelap
tidur setelahnya.
~O~
Kang
Joon menatap hasil kuis nya di kelas astronomi dasar. Angka 68 tertulis
di pojok kertas, terlihat seperti guratan pensil warna merah yang
tebal. Ia sedikit meremas bagian kertas yang ia genggam di tangannya
hingga sedikit koyak. Ia sebal. Ia belajar semalaman hanya untuk
mendapatkan angka 68 sebagai nilai kuisnya hari ini?
“Aishh!! Molla!”
Kang Joon meremas kertasnya, kemudian membuangnya dengan asal ke atas
meja. Ini semua karena Jungshin, pikirnya. Bocah itu datang dan
mengganggu saat ia belajar. Pria yang datang tengah malam itu juga,
membuatnya harus menghentikan belajarnya dan memilih untuk tidur. Karena
kedua orang itu, ia jadi mendapatkan nilai buruk. Kang Joon menendang
kaki meja di hadapannya keras-keras. Kemudian mengacak rambutnya sendiri
dengan kesal.
Sebenarnya,
dirinya sendiri juga tidak mengerti, mengapa begitu mudah ia
mempersilakan pria itu masuk kedalam rumahnya. Kang Joon memang mengenal
pria itu, meskipun ia tidak begitu mengingat namanya. Namun mereka
cukup sering bertemu. Jika tidak salah ingat, pria itu juga menuntut
ilmu di tempat yang sama dengannya. Di tingkat yang sama juga,
Universitas, tahun pertama. Namun sejak pertemuan mereka pada saat hari
pertama perkuliahan dimulai, ia sudah sangat jarang bertemu dengan pria
itu lagi di tempat ini.
Pria
itu akan muncul di tempat lain secara random. Entah di minimarket, di
kedai mie langganannya, atau seperti semalam, datang ke rumahnya dan
meminta makan malam seperti itu. Padahal Kang Joon pikir pria itu adalah
orang kaya, buktinya ia bisa masuk ke akademi ini tanpa harus
mati-matian belajar sepertinya. Ia juga tak pernah melihat pria itu
bekerja di kerajaan sepertinya. Tapi kenapa hidupnya seperti gelandangan
begitu? Kang Joon tidak mengerti.
Di
tengah lamunannya itu, Kang Joon melirik sejenak ke arah jam tangannya.
Pukul 11.45. “Sial!” umpatnya. Kang Joon segera mengemasi
barang-barangnya yang ada di meja dan memasukkannya kedalam ranselnya
dengan asal, kemudian berlari pergi meninggalkan kantin akademi, menuju
tempatnya bekerja. Ia lupa pukul 12 pergantian shift di dapur. Itu
artinya ia harus cepat-cepat datang kalau tidak ingin diteriaki oleh
kepala dapur dan kepala pelayan Kwon. Ia tidak mau bekerja dengan
telinga berdengung seharian.
~O~
Lee
Jinki berdiri di depan sebuah kamar sejak satu jam yang lalu. Kamar
yang tak pernah terlihat ada tanda-tanda kehidupan dari dalamnya. Kamar
yang tak pernah di masuki oleh pelayan karena si pemilik tidak
memperbolehkan satupun orang untuk masuk kedalamnya. Si pemilik pun
tidak terlihat berada di dalam ruangan itu. Jinki tak pernah melihat
seseorang keluar atau masuk melewati pintu yang ada di hadapannya ini.
Masih seperti saat sebelum ia pergi ke Kanada. Semuanya masih sama.
Disaat
Jinki masih berada disana, sedikit melamun didepan ruangan itu,
tiba-tiba saja seseorang menabraknya sedikit keras, hingga dirinya
terdorong cukup jauh dari tempatnya berdiri. Orang itu terjatuh setelah
menabraknya, membuat buku-bukunya yang semula berada didalam ranselnya
yang terbuka itu, jatuh berantakan di lantai. Menyadari barang-barangnya
berserakan seperti itu, ia segera merapikannya, mengumpulkannya dan
memasukkan buku-buku itu kedalam ranselnya kembali.
“Kau
tidak apa-apa?” Tanya Jinki berbaik hati, sementara orang yang baru
saja menabraknya itu masih menunduk membereskan barang-barangnya, tidak
berani menampakkan wajahnya kepada Jinki. Meskipun orang tidak
mengetahui siapa yang baru ditabraknya, ia tahu orang itu pasti keluarga
kerajaan.
“Jwesonghamnida!”
katanya hormat. Ia berdiri, kemudian menunduk hormat beberapa kali dan
bergegas pergi dari hadapan Jinki tanpa mempedulikan pria itu lagi.
Jinki
menaikkan kedua alisnya dengan heran. Ia tidak tahu siapa orang itu,
mungkin salah satu pelayan yang bekerja disini? Tapi kenapa ia tidak
lewat pintu belakang? Atau mungkin karena ia tidak mau terlambat karena
harus mengambil jalan memutar? Jinki sibuk dengan pikirannya sendiri
hingga orang yang menabraknya itu sudah menghilang di ujung lorong,
menuju ruangan lain.
Pria
itu hanya menaikkan bahunya, kemudian memutar arah dan ingin berjalan
pergi, saat tak sengaja kakinya menginjak sesuatu. Jinki mengarahkan
pandangannya pada benda yang baru saja diinjaknya itu. Sebuah buku.
Jinki menunduk untuk mengambilnya, ia membersihkan jejak sepatunya dari
sampul buku itu. Ia tahu buku ini pasti milik pelayan istana yang baru
saja menabraknya. Ia buka cover buku itu, membaca lembar pertama di
balik cover buku astronomi itu. Tertulis nama di sudut atas halaman
pertama buku tersebut.
“Kang Joon?”
~O~
“KANG JOON!”
“Ya
chef??” tubuh Kang Joon menegang begitu mendengar suara teriakan
lantang dari arah belakangnya. Apron yang semula sedang berusaha untuk
ia pakai, segera terjatuh begitu ia melepaskannya. Ia tidak berani
menggerakkan tubuhnya lagi setelah berada pada sikap siap, untuk
menerima teriakan dari kepala chef yang sudah ia tebak, akan memarahinya
karena ia terlambat datang.
“Aku
tahu kau sudah naik satu tingkat di dapurku! Tapi bukan berarti kau
boleh datang terlambat! Walaupun hanya beberapa menit, tetap tidak
diijinkan!” kepala chef berteriak setelah ia berada tepat di hadapan
Kang Joon. Sedangkan gadis di hadapannya itu hanya bisa menunduk tanpa
berani melawan. "Dan apa yang kau lakukan pada kepalamu? Ya Tuhan!" ia
berdecak pendek.
Kepala dapur Yoon menghela nafasnya berat, berusaha menghilangkan perasaan marahnya sesaat. Ia tahu ini pertama kalinya Kang Joon datang terlambat, mungkin tidak masalah untuk memaafkannya. Sekali ini saja.
“Ya sudah! Karena kepala pelayan Kwon belum mendengar soal keterlambatanmu, kau ku maafkan untuk sekali ini!” ujarnya dengan nada lebih rendah, membuat Kang Joon berani mengangkat wajahnya dan memandang kea rah kepala dapur Yoon dengan berbinar-binar.
“Jeongmalyo?”
Kepala dapur Yoon mengangguk pelan. “Tapi aku tidak akan memaafkanmu jika lain kali kau membuat kesalahan yang sama! Arraseo?” katanya. “Cepat pakai apronmu! Cuci semua yang ada di bak cuci! Itu sebagai hukumanmu hari ini!” katanya lagi, kemudian pergi meninggalkan Kang Joon untuk memeriksa pekerjaan bawahannya yang lain.
“Ya chef! Gomapseumnida!!” serunya sambil menunduk hormat beberapa kali kearah kepala dapur, saking senangnya.
“Beruntungnya kau jadi anak emas Chef Yoon!” ujar seseorang dari sampingnya. Kang Joon menoleh, mendapati seorang juru masak lain menyodorkan apronnya yang semula terjatuh itu kearahnya.
Kang Joon menerima apron itu, kemudian memakainya. “Anak emas apanya? Aku tidak bisa memasak lebih baik darimu, Minhye-ah!” ujarnya dengan senyum lebar, kemudian bergegas pergi ke arah bak cuci untuk menyelesaikan hukumannya.
“Kang Joon fighting! Akan kutambahkan hukumanmu setelah ini!” ujar Minhye sambil memperlihatkan panci yang akan digunakannya untuk memasak.
“Oh! Lakukan sesukamu!” jawab Kang Joon, dan segera memulai pekerjaannya sebelum kepala dapur akan memarahinya lagi.
~O~
Alunan musik terdengar begitu merdu didalam ruangan besar itu. Sebuah piringan hitam berputar di sudut ruangan, menyanyikan sebuah lagu kuno yang masih saja terdengar akrab di telinga. Seorang wanita tengah duduk di bagian lain ruangan itu, disebuah meja bundar dengan secangkir teh dan kudapan di atasnya. Wanita itu sedang membaca buku novel klasik. Wanita yang terlihat cantik seperti yang ada dalam dongeng putri. Rambut hitamnya tergerai sebahu dengan poni menyamping tersapu rapi di keningnya. Ia mengenakan dress kuning susu berlengan pendek, yang potongannya jatuh sampai di bawah lututnya. Ia menenakan flatshoes berwarna coklat muda. Gaya sederhana yang selalu dikenakannya, menampilkan kecantikan yang apa adanya.
Wanita muda itu membalik halaman demi halaman novel yang sedang ia baca, hingga ia sampai ke bagian tengah buku itu. Ia melipat sudut halaman buku, kemudian menutupnya dan meletakkannya di atas meja. Bersebelahan dengan cangkir tehnya. Wanita itu menatap kea rah lain, untuk menemukan seorang pelayan pria mengangguk hormat ke arahnya.
“Ada apa?” ujarnya lembut.
“Ada surat undangan untuk anda dari kerajaan!” jawab pelayan tersebut, seraya menyerahkan sebuah kertas undangan dengan aksen pita berwarna emas di sudutnya.
Wanita muda itu menerimanya, kemudian membacanya segera setelah ia membukanya. Seulas senyum bahagia terlihat muncul di wajahnya begitu saja. Sepertinya sesuatu yang baik baru saja terjadi padanya, melewati surat undangan tersebut.
-To be Continue-
Author Note:
thanks to my beloved sisters, ainee sama arin yang udah membuatku bikin cerita yang.. sebenernya aku sendiri pun ga mikir bisa berhasil dengan cerita ini nantinya.. setting yang belom pernah terpikirkan sama diriku sendiri.. tapi kalian berdua memberiku ide ini.. hahaha.. wish me luck!
Sangkyuu~!!
Comments are loved!! :D
-LIGHT-
Ditunggu kelanjutanya ^^
ReplyDeletebest comedy of this part: Choi Minho jadi pelayan. Show 'em who's the boss!! yeah!
Sensei hwaiting!
Warm regards,
Kazunari's
numpang baca yak hikachan, udah lama g main dimari.. hihihi..
ReplyDelete