Tapi ff temen mau numpang rilis disini.. hehe :p
(dan blog ku bakal numpang tenar seandainya fans-fansnya banyak yang maen kesini ya? haha..)
Ini ff pertamanya, dan temanya sama ama ff yang aku rilis sehari yang lalu, Classic
Kalo menurutku sih, ini versi panjangnya Classic, karena kurang lebih inti ceritanya adalah sama :))
Bisa dibilang, versi lainnya lah..
The Ending
by : Arini Putri
(Writer of Goodbye Happiness)
“Yoogeun-ah,
kau mau susu rasa strawberry atau pisang?” seruku sambil mengangkat kedua kotak
susu itu tinggi-tinggi. Yoogeun berlari ke arahku, masih dengan bola biru di
tangannya, meraih susu rasa pisang yang selalu jadi favoritnya.
“Gomawoyo,”
ucapnya sembari menunjukkan senyum manis yang membuat kedua pipi gembulnya naik
ke atas. Kucubit pipinya dan berkata dengan lembut, “Mainnya jangan jauh-jauh,
ya.” Yoogeun mengangguk dan kembali berlari, kini dengan bola dan sekotak susu
pisang.
Aku
duduk di salah satu kursi dan menatap tubuh mungil itu lekat-lekat. Semua orang
yang melihat Yoogeun selalu berkata betapa miripnya dia dengan ayahnya. Tapi
setiap aku menatapnya, aku selalu menemukan ekspresi ibunya di sana. Cara
yoogeun tersenyum, menunduk sambil mengerucutkan bibir saat malu, suara tawanya
begitu mirip dengan ibunya. Apa tak ada yang menyadari hal itu selain aku?
“Minhyukie!” Aku menoleh dan tersenyum seketika saat menemukannya. Tidak ada orang lain yang memanggilku seperti itu selain dirinya. Dia yang memilki senyum dan tawa yang sama dengan yoogeun, yang selalu menunduk dan mengerucutkan bibirnya saat malu. Dia yang selalu membuatku mengembangkan senyum tanpa sadar.
“Aku
bawakan tuna kimbab untuk kalian,” ujarnya riang. Dia mengambil posisi duduk di
sampingku dan membuka tempat makan yang dia bawa. “Cobalah. Ini kesuakaanmu,
kan?”
Aku
segera mencomot satu dan mengunyahnya perlahan. Aku tersenyum ke arahnya,
memberi isyarat bahwa masakannya enak. “Yoogeun, ayo ke sini. Eomma datang
membawa kimbab!” seru memanggil Yoogeun yang masih berlarian tanpa lelah.
Pemandangan
seperti ini begitu menyenangkan untuk dilihat. Dia duduk di sampingku, membawa
sekotak tuna kimbab kesukaanku, sementara Yoogeun berlari dengan semangat ke
arah. Semua orang yang melihat kami akan mengatakan bahwa kami adalah keluarga
bahagia.
“Eomma,
Appa neun eodisseo?” tanya Yoogeun saat berjalan menuju pangkuannya.
Senyumku
memudar perlahan saat mendengar pertanyaan Yoogeun. Seperti ditarik dari alam
mimpi dan terjatuh di dunia nyata. Semua kenyataan yang sudah kuketahui sejak
awal tiba-tiba saja terasa begitu menyesakkan. Aku menatapnya yang tersenyum
tipis sembari membawa Yoogeun ke pangkuannya. Apa ada yang lebih cantik lagi
dari senyuman itu? “Appa sedang ada pekerjaan. Nanti, Appa bilang, dia akan
pulang membawa kaos power rangers. Yoogeun mau?” ucapnya, berusaha menjelaskan
pada Yoogeun.
Perlahan
aku ikut tersenyum melihat mereka berdua. Seakan tak ada pemandangan lain yang
lebih indah dari mereka berdua di sini. Penyesalan yang telah lama kukubur
dalam-dalam kembali naik ke permukaan. Kata seandainya kembali memenuhi
pikiranku. Seandainya aku bisa memberanikan diri untuk jujur padanya saat itu.
Seandainya aku tak mengalah begitu saja pada Minho. Seandainya wanita di
sampingku ini tahu perasaanku padanya. Mungkin sekarang panggilan ‘appa’ itu
akan ditujukan untukku. Mungkin wanita ini menjadi milikku dan menghabiskan
seluruh harinya bersamaku. Atau…dia akan menjauh dariku hingga aku tak dapat
melihat wajah polosnya lagi, hal yang paling kutakutkan sepanjang hidupku.
*
Aku
masih mengingat dengan jelas hari itu. Saat sahabat terbaikku itu berlari kecil
dan duduk tepat di sampingku, seperti biasa. Aku sedang menikmati rotiku tanpa
memperkirakan ucapannya nanti akan membuatku tak pernah beranjak dari posisiku
saat ini, sahabat. Dia bertanya padaku, apa aku mengenal Choi Minho yang pintar
olah raga itu? Aku menjawab dengan santai bahwa aku mengenalnya, tapi tidak
dekat. Kemudian dengan bersemangat dia bercerita bahwa Choi Minho itu telah
menolongnya saat terjatuh dan menggendongnya ke UKS. Terdengar seperti drama
televisi yang memalukan di telingaku, namun dia dengan senyum lebarnya
menunjukkan bekas luka yang diobati Minho. Kedua matanya berbinar-binar saat
itu, persis seperti saat dia bercerita tentang novel romantis yang baru selesai
dia baca.
“Dia
sangat populer, ya?” tanyanya dengan nada yang melemah. Aku mengiyakan
pertanyaan tanpa berpikir panjang. Choi Minho memang sangat populer di sekolah
kami. Banyak gadis yang rela mengantri untuk menjadi kekasihnya.
“Tapi
dia menolongku,” ujarnya dengan nada penuh harap. “Dia sangat baik padaku.”
Roti yang kukunyah tiba-tiba saja terasa berat untuk kutelan. Aku menatap
sahabatku yang kini menunduk dengan pandangan menerawang. Saat itu aku tahu,
dia juga telah menjadi salah satu gadis yang mengantri di barisan Choi Minho.
Hari
itu aku kembali berbagi roti dengannya. Dia tertawa untuk leluconku dan
tanganku dengan bebas dapat mengacak rambutnya seperti biasa. Aku tak pernah
menyangka, hari itu adalah hari terakhir kisah kami berjalan. Karena hari
berikutnya, yang ada adalah kisah mereka, kisahnya dan Choi Minho.
*
Aku
tidak tahu harus bangga atau sedih berada di posisi ini. Tapi aku lah orang
pertama yang tahu segala hal tentang perasaannya. Aku satu-satunya yang tahu
sebelum kencan pertamanya dengan Minho, dia sibuk membubuhkan masker semalaman.
Aku orang pertama yang tahu bagaimana perasaannya saat pertama kali Minho
mengenggam tangannya. Aku juga orang pertama yang dihubunginya saat Minho
menyatakan cinta padanya. Tapi dia tidak pernah tahu, aku juga orang pertama
yang menangis diam-diam karenanya.
Hari
itu ramen yang kumakan terasa lebih pedas dari biasanya. Saat dia menelponku
dan mengatakan bahwa Minho telah melamarnya. Aku berasaha tertawa dan
mengucapkan selamat setulus yang aku bisa. Ramen ditenggorokanku tiba-tiba
terasa terlalu besar untuk ditelan dan membuat dadaku sesak. Air mataku
mengalir tanpa permisi membuat petugas di minimarket menatapku dengan aneh. Aku
mengatakan padanya bahwa ramen yang kumakan terlalu pedas. Beberapa detik
kemudian, aku menunduk, membenamkan seluruh wajahku di balik lengan dan terisak
di sana, seperti anak kecil.
Sejak
lama aku mempersiapkan diriku bahwa hari seperti ini akan datang. Tapi aku tak
menyangka kisahnya dan Choi Minho berjalan secepat ini. Pada akhirnya hatiku
tetap saja terasa perih. Pikiran gilaku mulai menginginkan hal aneh seperti
mesin waktu untuk menarik kembali kejadian ini dan membiarkan hari berjalan di
saat hanya ada aku dan dia. Saat kebersamaan kami adalah satu-satunya hal yang
membuat kami tertawa bahagia.
*
Senyum
dan tawanya adalah energiku setiap hari. Aku tak bisa membayangkan hidupku
tanpa dua hal itu. Mungkin rasanya seperti hidup di ruang hampa. Aku telah
terbiasa dengan debar-debar yang memenuhi dadaku saat menatapnya. Aku juga
mulai terbiasa dengan rasa sakit yang menusuk saat aku melihatnya bersama suami
yang dia cintai, Choi Minho. Maka aku tak beranjak sedikitpun dari posisiku
sejak dulu, sahabat terbaiknya.
Setiap
hari dia menelponku, menceritakan harinya bersama Minho, membuatku merasa
terikat penuh saat mendengar suara manjanya. Namun aku menikmatinya, perlahan
aku menikmati ikatan menyakitkan ini. Seperti orang bodoh, aku menikmati setiap
tetes air mata yang mengalir saat penyesalan itu kembali muncul.
Aku
masih mengingat suaranya saat itu. Saat dia bercerita tentang kehamilannya.
Saat itu aku tak tahu harus bereaksi apa. Seharusnya aku bahagia, menjadi seorang
Ibu yang baik adalah impiannya sejak kecil. Namun saat itu ada rasa benci yang
tak dapat kutahan. Perutnya yang semakin membesar terus menegaskan bahwa dia
bukan milikku. Aku hanyalah sahabat yang selalu menempel di sampingnya dan
menjadi tempat sampah baginya. Namun bagiku inilah posisiku tertinggi yang bisa
kuharapkan. Apa lagi yang bisa kuharapkan?
*
Dia
benar-benar menceritakan segalanya. Dia bahkan menceritakan saat-saat
pertengkarannya dengan Minho. Saat dia marah karena Minho terlalu sibuk dengan
pekerjaannya. “Setiap hari dia selalu dikelilingi perempuan cantik. Bagaimana
aku tidak kesal?” Aku tertawa pelan saat mendengar keluhannya. Dia masih tak
berubah sejak dulu. Walaupun dia telah bersuami, telah menjadi ibu dari satu
anak, dia tetap sahabatku yang kekanak-kanakan. Aku dengan sabar memberi
penjelasan padanya. Aku juga ikut menertawakannya saat dia bercerita betapa
malu dan canggungnya dia saat Minho tiba-tiba bersikap romantis. Dia
benar-benar tak berubah. Mungkin karena itu perasaanku juga sulit untuk
berubah.
Hari
itu, entah apa yang merasukiku, kutelpon Minho. Mungkin karena malam sebelumnya
dia menelponku dengan suara nyaris menangis. Dia berkata dia mulai takut Minho
tidak mencintainya lagi. Dia tidak secantik wanita lain, tidak romantis dan
selalu canggung, pikiran aneh itu menghantuinya dan membuatnya cemas. Aku tahu
semua itu hanya ketakutan tanpa alasannya, namun mendengar suaranya seperti itu
membuatku ikut takut. Aku takut dia tersakiti, aku takut dia terluka, aku takut
dia menangis karena aku tak suka hal itu. Maka semua rasa takut itu mendorong
keberanianku untuk mengatakan pesanku satu-satunya pada Minho.
“Jangan
pernah sakiti dia. Jaga dia baik-baik, Choi Minho. Dia sangat mencintaimu,”
ucapku dengan tegas.
Namun
kalimat balasan dari Minho juga tak kalah tegas, membuatku membeku. “Aku tahu
itu, Kang Minhyuk. Kau tak perlu mengkhawatirkannya,” jawabnya dengan nada
menekan. “Kau memang sahabat terbaiknya, tapi kau tak perlu terus
mengkhawatirkannya. Rasa cintaku cukup untuknya. Aku juga sangat mencintainya.”
Aku
terdiam mendengarnya. Ucapan Minho seperti pedang yang dia hunuskan ke arahku
tiba-tiba. Aku tahu, aku bukan satu-satunya yang mencintainya, bahkan rasa
cinta Minho mungkin saja lebih besar. Lalu sekarang apa lagi yang bisa
kubanggakan? “Kau tidak lupa, kan, Kang Minhyuk? Dia adalah istriku, wanita
yang aku pilih untuk mendampingiku, untuk melahirkan anakku, untuk terus
kucintai. Tentu saja aku akan menjaganya. Kau tidak perlu khawatir lagi.”
Percakapan
singkatku dengan Minho membuatku merenung beberapa saat. Kusandarkan punggungku
yang berat pada dinding yang dingin. Kutarik oksigen sebanyak yang aku bisa.
Seharusnya semuanya sudah berhenti. Seharusnya perasaanku untuknya sudah
berakhir sampai di sini. Tapi hatiku tak bisa kupaksa untuk berhenti. Jantungku
masih terus berdebar untuknya. Kebahagiaanku masih terus bergantung pada
senyumannya.
Aku
masih mencintainya, aku tak dapat mengelaknya. Aku baru menyadari, perasaanku
saat ini jauh lebih memalukan dibanding drama televisi manapun.
Memalukan…menyedihkan…
*
Hari
ini langit begitu bersahabat denganku. Langit terus mengeluarkan warna biru
cerah, membiarkan dia berjalan di sampingku dan meningkmati warnanya. Yoogeun
berlari di depan kami, masih memeluk bola birunya, hadiah ulang tahun dariku.
Aku
tersenyum menatap Yoogeun yang terlihat begitu manis dan menggemaskan. Rasanya
ingin aku menggendongnya sebagai anakku. Aku ingin Yoogeun tidur di pelukanku
dan membangunkanku di pagi hari bersamanya. Aku ingin hidup seperti itu.
Sayangnya keinginan dan kenyataan terkadang berbanding terbalik dan aku tak
dapat melakukan apapun untuk mengubahnya.
“Minhyukie,
kalau kau memang tidak menyukai semua perjodohan itu, kau bisa menolaknya,”
ucapnya yang berjalan di sampingku. “Kau terlihat sangat tidak nyaman dengan
itu. Aku bisa melihatnya. Lagipula kau masih muda, kau bisa memilih wanita
manapun yang kau suka dan kau cintai,” ujarnya riang.
Aku
tertawa getir. Bagaimana aku bisa memilih jika satu-satunya wanita yang ingin
kupilih sudah dimiliki orang lain? Aku menatapnya dari ujung mataku. Wajahnya
masih polos seperti anak kecil. Betapa aku merindukan mengacak rambutnya hingga
dia marah seperti dulu.
Tanganku
perlahan meraih tangan mungilnya. Dia menoleh dan menatapku terkejut saat tangannya
telah berada dalam genggamanku. Aku menatapnya dalam-dalam. Sahabatku, wanita
satu-satunya yang kucintai hingga saat ini. “Yah, pabo-ya. Apa kau tidak sadar
juga?” tanyaku setengah membentaknya.
“Sadar
apa?” tanyanya bingung.
“Aku…”
“Appa!”
Teriakan Yoogeun membuatku tersadar dan melepas genggamanku dari tangannya.
Kedua mataku menemukan Minho yang berjongkok sembari membuka kedua tangannya
untuk Yoogeun. “Minho-ya,” panggilnya sembari berjalan mendekati Minho,
meninggalkanku.
Minho
memeluk Yoogeun dan tersenyum lebar ke arahnya yang ikut berlari mendekatinya.
Sejenak tatapan kami bertemu, Minho menundukkan kepalanya sedikit dan tersenyum
padaku.
“Lihat
yang Appa bawa untuk Yoogeun,” ujar Minho sambil menunjukkan kaos bergambar
power rangers dengan warna biru tua. Yoogeun meraih kaos itu dan membiarkan
bola biruku menggelinding di tanah. Aku menatapnya tanpa bersuara.
Aku
menatap Yoogeun yang kini berada dalam gendongan Minho. Yoogeun tertawa dengan
ceria. Aku baru menyadarinya, mereka berdua sungguh mirip.
Saat
itulah aku melihatnya lagi. Berjalan mengambil bola biru dariku yang
ditinggalkan Yoogeun. Dia melihat ke arahku, tersenyum lebar. “Minhyukie!”
panggilnya sambil memberi isyarat agar aku menyusul mereka.
Aku
melangkah perlahan, menyusul mereka. Hari ini aku berusaha menyadarkan diriku
untuk berhenti bersikap bodoh. Hari ini adalah hari terakhir aku
mengharapkannya. Hari ini adalah episode terakhir kisahku dengannya. Aku harus
membiarkannya menjadi pemeran utama dalam kisahnya sendiri bersama Minho.
Dan
aku…biarkan aku memulai kisahku yang baru. Entah kapan…
-END-
-Keep Shine Like HIKARI-
bsa numpang ff yah d blog lw? Xp kapan2 guw jg pengen ah~ xp
ReplyDeletegmana yah.. Ini ceritany guw nemu 2 lag.. 1 d atas minhyuk udh blg kalo yugun mirip minho.. Nah d daerah ending ada jg part minhyuk blg ia baru sadar yugun mirip minho..
lag yg 1 lg guw lupa.. Xp
gaya penulisanny emg beda bgt ama lw.. Penulisny tuh ky terlalu memaksakan 'yugun n minho harus ada d ff ini'..
ada kalimat yg kesanny terputus d part2 awal..
ini jd ky sequel dri cerita lw yak.. Xp
nice~
ini karna temen gw bukan asli author ff sih.. dia penulis novel, dan ini ff yang pertama kali dia bikin dengan ide yang sama ama classic, gitu..
Deletethx^^