Wednesday, May 23, 2012

I Don't Understand [FANFIC] [9] [LAST PART]

Finally..
Ini PART terakhir dari FF panjaaaaanggg.. yang aneh ini~ kkk
makasih buat yang ngikutin sejak awal.. maap kalo apdetnya terlalu lama..
kendala kesempatan menulis dan ide yang datang~ kkk

Sekali lagi, gomapseumnida!!^^

I Don't Understand

[finally juga, bisa bikin poster yang lumayan layak~ *terharu*]

*Previous Chapter*

“Jinki op.. ahni.. hyeong..” kata Chaeyong.

Mwo?” Jinki menjawab penuh rasa penasaran.

Nan..” Chaeyong membuang pandangannya. “Jangan pergi ke Amerika..” katanya pelan. Namun Jinki masih bisa mendengarnya, cukup jelas.

Jinki terdiam sebentar. Mencoba mencerna apa yang baru saja didengarnya. “Jangan pergi..?” ia mengulanginya. “Wae?”

“Tidak tahu.. aku hanya tidak ingin kau pergi, oppa..” katanya. “Mianhae..” Chaeyong berbalik, kemudian berlari pergi.

***

Chaeyong terdiam di tepi lapangan outdoor itu, ia menopang dagunya dengan tangan yang sikunya berada diatas lututnya, sehingga badannya terlihat sedikit membungkuk. Tangan kirinya membawa sebotol air mineral yang sudah dihabiskannya separuh. Matanya terus menerawang entah kemana, bukan melihat ke arah anak-anak yang sedang main basket di lapangan itu. Sejak datang tadi dia cuma duduk disana, ada niatan untuk turun ke lapangan pun tidak. Sesekali ia menghela nafas pendek.

Sesaat ia menilik arlojinya. “Aduh gawat!” teriaknya. Ia memasukan botol minumannya asal kedalam sportbagnya, menggendong sport bag itu dan melompat dari tempat duduknya.

“Kamu mau kemana??” Yongbae berseru dari lapangan.

“Latihan fisik, seonbae! Aku duluan!!” teriaknya.

Chaeyong berlari untuk sampai ke tempat latihannya yang jaraknya beberapa kilo meter itu. Tanpa berpikir ia harus naik bus untuk kesana. Panik, pikirannya jadi buntu. Dia lupa hari ini ada latihan tambahan di klub nya. Setelah ia lihat arlojinya, kurang 5 menit lagi latihan akan dimulai. Gadis itu berlari sambil sesekali melihat arlojinya. Kurang 3 menit lagi. Dan Chaeyong makin mempercepat larinya. Peluh sudah bercucuran dari kepala sampai seluruh tubuh. Mungkin sampai disana dia sudah nggak perlu lagi ikut latihan fisik, karena ia sudah melakukannya disepanjang perjalanan ke tempat latihan.

TIINN!! TIINN!!

Terdengar berulang kali suara klakson motor dari satu arah, namun Chaeyong tak memperdulikannya (atau mungkin nggak mendengar saking paniknya?) sampai ia hendak menyebrang di perempatan, dan sebuah motor matic dengan box di bagian belakang berhenti tepat didepannya, hampir saja ia menabrak motor itu, namun Chaeyong dengan cepat melangkah mundur. Nafasnya masih engap-engapan, di tambah jantungnya yang berpacu gara-gara hampir saja kecelakaan menimpanya.

“Lari-larian mau kemana?” si pengendara motor itu bertanya.

“H..hyeong?” jantungnya berpacu makin cepat kini, melihat siapa yang baru menghampirinya. Namun ia segera menghilangkan pikiran itu mengingat ia harus cepat-cepat pergi ke tempat latihan. “L..latihan.. hh fffisikk!” masih dengan nafas yang satu satu, Chaeyong menjawab.

“Cepat naik! Aku antar!” Jinki mengambil helm dari gantungan di bagian depan, kemudian memberikannya pada Chaeyong. Tanpa ragu gadis itu naik ke boncengan, dan motor segera melesat ke arah tempat latihan Chaeyong.

“Motornya gabisa lebih cepet?” Chaeyong panik, kalau hari ini dia telat, latihan fisiknya bisa tambah berat. Karena lari untuk pemanasannya bisa jadi dua kali lipat! Padahal ia sudah lari-lari beberapa kilo meter tadi.

“Maaf kalo lama, tapi ini satu-satunya yang bisa aku lakukan sebelum aku ke Harvard..” Jinki malah curhat lirih, tapi cukup bisa didengar oleh hoobae yang membonceng di belakangnya itu. Membuatnya merasa mungkin lebih baik ia di marahi habis-habisan oleh coach nya dan mendapat latihan fisik 2 kali lipat dari pada kehilangan waktu berharga sebelum sahabatnya ini pergi belajar untuk beberapa tahun di Amerika.

“Ehm.. hyeong, berapa lama sih disana?” tanya Chaeyong tiba-tiba. Tanpa berpikir kata-kata itu meluncur begitu saja dari bibirnya.

“4 tahun.. sepertinya.”

“Eumh.. keurae..” 4 tahun itu lama, batin Chaeyong. “Masa hyeong, semalam aku mimpi aneh! Haha..” Chaeyong berusaha bercanda, mencairkan suasana yang akhir-akhir ini agak canggung di antara mereka.

Mwohae?”

“Aku ketemu sama hyeong di kampus sepulang ujian.. trus, aku bilang hyeong gaboleh berangkat ke Harvard..” suasana sangat hening sesaat. “Oke, itu nggak lucu! Lupakan..” Chaeyong kecewa dan menyesal baru menceritakan hal aneh yang dimimpikannya semalam. Bukan hal aneh sebenarnya, itu adalah kenyataan yang ingin dikatakan pada Jinki namun sama sekali tak bisa keluar dari mulutnya karena banyak alasan.

Setelah cukup mengatur perasaannya, Jinki berusaha tertawa serenyah mungkin. Tak lama motor itu pun berhenti di depan gedung olah raga besar tempat gadis itu latihan basket. “Sampai! Cepat sana! Nanti nggak keburu!” ujar Jinki. Chaeyong bergegas turun, membuka helm nya asal dan memberikannya pada Jinki segera. Dengan cepat ia berbalik dan berlari namun sial kaki kanannya terjegal kaki kirinya sendiri, membuat ia jatuh tersungkur. “YA!! HATI-HATI!” Jinki berseru khawatir, namun sesaat kemudian gadis itu sudah berdiri lagi, menoleh ke belakang member tahukan bahwa ia tidak apa-apa.

“Makasih tumpangannya hyeong~!!” serunya kemudian bergegas berlari ke gedung olah raga itu.

Jinki tersenyum. Menghela nafas pendek. “Ternyata kamu mimpiin itu juga.. padahal aku harap itu nyata~” Jinki mendengus pelan. Karena hingga sekarang mimpi itu masih terasa begitu nyata.

***

“Hh.. hh.. hh..” hanya itu yang bisa keluar dari mulut Chaeyong saat ini. Ia terlentang di atas lantai kayu di tepi lapangan basket. Wajahnya menengadah dengan mata tertutup. Peluh memenuhi hampir seluruh tubuhnya, ujung rambutnya basah dan poninya sudah tak berbentuk lagi. Ia berusaha mengatur nafasnya setelah latihan fisik yang diberikan oleh coach khusus untuk dirinya yang terlambat. Tapi ia tak menyesalinya, karena ia merasa sedikit lebih baik dengan latihan ekstranya. Lebih baik karena ia bisa mengalihkan konsentrasinya dari perasaannya.

Tiba-tiba sesuatu yang lembut menimpa wajahnya. Sebuah handuk putih, dan sedetik kemudian sebuah benda mematuk-matuk pelan kepalanya. Chaeyong menarik handuknya dan membuka matanya sedikit. Seniornya datang dengan botol air minum di tangannya.

“Bora eonni?” katanya.

“Minum dulu! Nanti kamu dehidrasi!” katanya asal, sambil sekali lagi menyenggolkan botol minuman itu ke kepala Chaeyong.

Gadis itu bangun dan segera meraih botol minumnya, membukanya, kemudian menenggaknya banyak-banyak, sementara tangan kirinya mengusap peluh di kepalanya. “Gomawo!” katanya.

“Aku tadi lihat dia mengantarmu kan?” Bora memulai. Chaeyong hanya menaikkan sebelah alisnya dengan mulut botol masih berada di bibirnya, sekali lagi menenggak air minum didalamnya. Otaknya masih belum bisa konek dengan pembicaraan Bora. “Itu lho, yang aku bicarakan waktu itu.. ah ya, dia ikut kita makan sama-sama waktu kelar pertandingan itu!”

Dan pikirannya langsung konek setelah itu, namun Chaeyong berusaha tak memperdulikannya. Setelah berhasil melupakan perasaan itu untuk sementara, sekarang seonbaenya itu malah mengingatkannya lagi. Bagus sekali Yoon Bora! Batin Chaeyong.

“Aku ingat! Ternyata aku sering ke toko Daging orang tuanya, mengantar ibuku! Pantas aku familiar sama dia..” ujar Bora. “Dan.. dia juga sering mengintipmu latihan!”

Chaeyong langsung menoleh dengan perasaan yang campur aduk. Antara bingung, senang, dan bingung mau senang apa tidak. Perasaannya sekarang begitu absurd, sampai dirinya sendiri tidak mengerti sebenarnya dia kenapa.

Bora nyengir tipis. “Aku sering liat dia nonton latihan kita! Tapi kalo coach udah penutupan, dia menghilang! Dulu aku pikir dia siapa, ngintip-ngintip latihan, ternyata dia temanmu itu!?” jelasnya yakin.

Jeongmalyo? Sebenarnya Chaeyong ingin sekali mengatakan hal itu, tapi ditahannya. Ia hanya melihat ke arah Bora dengan berusaha bertampang biasa saja, meski sebenarnya jantungnya sudah berdegub begitu kencang. Tapi yang masih ia pikirkan sekarang adalah, ia masih ragu apakah perasaan itu benar-benar serius?

***

“Pameran?” tanya Chaeyong sambil menyeka air di rambutnya. Ia baru keluar dari kamar mandi, dan segera Joongki yang baru pulang menginfokan itu padanya.

“Minggu depan! Di hall kampus! Aku pinjam disana lagi!” jawabnya, setelah itu ia masuk kedalam kamarnya sendiri, diikuti adik perempuannya yang masih menggosok rambutnya dengan handuk.

“Jadi pamerannya itu jadi?” Joongki berbalik, menempeleng adiknya itu, kemudian terkekeh tanpa menjawabnya.

“Pokoknya kamu harus datang!” katanya, meletakkan tas kameranya dan ranselnya di atas meja belajar, melepas jaketnya, kemudian hendak melepas kaosnya jika ia tak menyadari Chaeyong masih di kamarnya. “YA! Mau nungguin sampai aku lepas baju?”

Chaeyong terbengong, mengedipkan matanya beberapa saat, dan baru tersadar setelah beberapa detik mencerna perkataan kakaknya. “Ah! Mianh!!” katanya, kemudian keluar dari kamar dan menutup pintunya. Joongki terkekeh, menggelengkan kepalanya pelan, kemudian melepas kaos lengan panjangnya untuk menggantinya dengan yang lain. Namun sebelum ia sempat memakaikan kaos lain ke badannya, ponselnya berdering. Senejak Joongki mencari-carinya hingga ia mendapatkannya dari saku ranselnya. Ia segera mengambilnya dan menyapa penelpon di sebrang.

“Song Joongki disini..!” sapanya ramah, ia terdiam beberapa saat pada saat si penelpon bicara padanya. “Ne? Café? Sekarang?”

---

Seorang pria dengan kaos putih polos dan blazer hitam menyerahkan sebuah amplo panjang ke atas meja di hadapan Joongki. Ia pria yang menelpon Joongki beberapa saat sebelumnya, menyuruhnya untuk datang ke café yang letakkan 3 blok dari rumah Joongki. Joongki meraih amplop itu dan segera membukanya, membuka lipatan kertas itu setelah mengambilnya dari dalam amplop, kemudian membacanya.

“Barcelona?” tanya Joongki, matanya masih membaca barisan kalimat dalam selembar kertas putih di tangannya itu.

Pria didepannya menghembuskan asap rokoknya, kemudian membuang abu rokoknya di asbak di hadapannya. “Iya, bantu proyekku disana, bagaimana?”

“Berapa lama?” tanya Joongki seraya melipat suratnya.

“Umhh.. 6 bulan?” jawab pria dengan blazer hitam itu. Ia menghisap rokoknya lagi, kemudian menghembuskan asapnya dari sudut bibirnya yang sedikit terbuka. “Kita berangkat bulan depan!”

Joongki tampak berpikir sebentar, kemudian tersenyum. Mungkin ini salah satu jalan untuk memajukan karirnya. Dia bisa mendapatkan pengalaman lebih mungkin. “Oke, aku ikut!”

*

Mungkin ini keputusan yang tidak benar bagi pikiran Chaeyong, tapi ini keputusan yang tepat untuk hatinya. Ia membulatkan tekadnya sesaat, dan dengan tegas melangkah sepanjang lorong kampusnya mencari orang yang kini bisa dilihatnya dari radius 100 meter. Namun belum sampai mereka berpapasan, Chaeyong mengambil langkah cepat untuk bersembunyi di balik tembok di tikungan kelas. Oke, hatinya kembali diliputi kebingungan. Bukan karena keputusannya, tapi karena perasaan yang masih di ragukannya.

“Yong-a! Hwaiting!” bisiknya pada diri sendiri, dan pada akhirnya ia berani keluar dari persembunyiannya.

BUAKK!!

Tak sampai dua langkah, ia menabrak seseorang. Chaeyong terjungkal, hidung dan dahinya menghantam seseorang. Ia memejamkan matanya untuk meredam kesakitannya, yang sebenarnya tak terlalu berpengaruh juga. Sesaat kemudian ia mulai membuka matanya, pelan, dan menjadi sangat lebar kemudian setelah tahu siapa yang baru di tabraknya dan kini berdiri membungkuk di hadapannya dengan wajah khawatir.

Neon gwaenchana?” katanya.

“H..hyeong?” katanya. Cepat sekali Jinki sudah berada dihadapannya sekarang, padahal ia merasa belum sampai semenit yang lalu Jinki masih berada di kejauhan.

Jinki mengulurkan tangannya, meraih pergelangan tangan Chaeyong dan menariknya untuk berdiri. Chaeyong membersihkan bagian belakang celananya kemudian, dan merapikan jaket dan kemeja didalamnya, kemudian menghadap ke arah Jinki dengan canggung. Sejenak lupa pada tujuannya datang ke kampus saat tak ada jadwal kuliah.

“Kamu ngapain kesini? Hari ini bukannya jadwal kuliahmu kosong?” Tanya Jinki sok biasa. Ia tidak ingin keadaan diantara mereka menjadi canggung.

Dia tahu jadwalku? Pikir Chaeyong. Namun ia segera membuyarkan pikirannya itu dengan gelengan cepat. “A..ada tugas.. jadi aku harus ke perpustakaan.. yah.. begitulah~” Chaeyong berbohong.

Keurae..” respon Jinki. “Kalau begitu aku duluan ya!” katanya, kemudian berjalan pelan meninggalkan Chaeyong dengan senyum di wajahnya. Senyum yang bisa membuat Chaeyong memutuskan untuk menyatakan niatnya dan memanggil Jinki sebelum ia pergi.

“J..JINKI HYEONG!!” teriaknya. Cukup keras, hingga orang-orang di sekitar mereka menoleh ke arah dua orang itu.

Mwohae?” Tanya Jinki yang kembali berbalik ke arah Chaeyong. Gadis itu kembali ragu setelah melihat wajah Jinki, matanya melirik kesana kemari, sampai pada akhirnya ia memandangi ujung sepatunya sendiri.

Hyeong.. jangan..” ia berbisik, hampir tak terdengar, atau malah sama sekali tak bisa didengar oleh lawan bicaranya. Jinki menaikkan sebelah alisnya dan menggaruk kepalanya sedikit.

“Ha?”

“J..” Chaeyong membungkuk 90 derajat di hadapan Jinki. “Hyeong! Jangan pergi ke Harvard!!! J..jebal~” katanya, dan hingga ia menyelesaikan kalimatnya, Chaeyong tak menegakkan badannya sama sekali. Degub jantungnya semakin cepat. Entah bagaimana wajahnya sekarang, yang jelas ia tak mau menunjukkannya pada Jinki. Jinki membatu. Ia merasa ini seperti dejavu. Ia pernah melihat ini di mimpinya, namun yang membedakannya adalah Chaeyong tak berlari pergi kemudian. Ia masih tetap disana, membungkuk di hadapannya.

Jinki mendekatinya, mengangkat bahu Chaeyong, memeluknya erat, membuat gadis itu terbelalak. Tak membalas pelukannya, ia hanya berpikir apa yang sebenarnya dipikirkan Jinki.

“Akhirnya kau mengatakannya..” bisik Jinki amat pelan, entah Chaeyong mendengarnya atau tidak.

***

Tersenyum..

Itu yang dilakukan Chaeyong sepanjang hari ini, tak ada yang tahu apa yang baru di alaminya, juga apa yang tengah dipikirkannya sekarang. Yang mereka tahu hanya bocah ini sekarang sedang bahagia. Tapi Joongki merasa terganggu dengan itu, karena sepanjang perjalanan mereka ke supermarket membuat mereka menjadi bahan tontonan orang lain.

Ya! Kamu kenapa sih?” Tanya Joongki, namun Chaeyong tak mengindahkannya. Masih girang dengan pikirannya sendiri. “YA!!” Joongki menarik pipi Chaeyong hingga bocah itu menghadap kearahnya dengan wajah kesakitan. Tangannya menampik tangan Joongki kemudian, ia gosok pipinya yang memerah setelahnya.

“Apaan sih hyeong?” Chaeyong protes.

“Senyam senyum sendiri! Sesuatu terjadi padamu?” Joongki menempelkan telapak tangannya ke jidat Chaeyong, mengecek panas tubuhnya. “Kamu masih waras kan?”

Aish~!” sekali lagi Chaeyong menepis tangan kakak laki-lakinya itu. “Wae?? Hyeong keberatan?”

Joongki mengacak rambut Chaeyong. “Oh.. jangan-jangan kau senang karena aku akan ke Barcelona?” ujar Joongki Pe.de.

“Barcelona?”

Joongki terdiam sejenak, ia ingat belum mengabarkan hal ini pada Chaeyong. “Aku akan ke Barcelona bulan depan! Membantu proyek temanku disana! Akhirnya aku ke luar negri!” katanya bahagia, dan lagi-lagi mengacak rambut Chaeyong dengan binal, membuat gadis berambut pendek itu menunduk-nunduk sambil berusaha menghindari serangan kakak laki-lakinya itu.

“Wahh~ asik donk?” katanya berbinar-binar.

Joongki terdiam sejenak. “Kok kamu nggak sedih sih?” Tanya Joongki.

“Kan hyeong mau ke Barcelona! Hyeong juga senang katanya akhirnya bisa keluar negri, trus mungkin karena itu karir hyeong bisa maju nantinya! Bisa jadi fotografer terkenal yang sukses di internasional?” katanya panjang lebar. Alasan yang semuanya ada di pikiran Joongki.

Joongki tersenyum kecil, kemudian meraih leher adiknya itu dan menjepitnya dengan lengan kanannya, mengacak-acak rambutnya dengan semangat hingga Chaeyong berteriak-teriak menyuruhnya berhenti, tapi tetap saja Joongki tak mau menghentikan serangannya. “Sedih donk! Jinki mau ke Amerika aja kamu sedih! Masa kakakmu yang tampan ini pergi 6 bulan kamu nggak sedih?” katanya. Dan sejenak, tak sepatah kata pun keluar dari bibir Chaeyong. Joongki menyadari itu, dan dia menghentikan serangannya, melepaskan leher Chaeyong dan memandanginya.

“Jadi Jinki nggak jadi ke Amerika?” Tanya Joongki kemudian.

“Tetep jadi kok..” Chaeyong tersenyum tipis.

“Terus.. kenapa kamu keliatan seneng banget?” Tanya Joongki.

Chaeyong tak menjawab, namun tiba-tiba ia memeluk lengan Joongki erat. Bergelayutan disana sambil tersenyum lebar. “Heh! Kamu kenapa sih??” Joongki berusaha melepaskan tangannya, untuk menghindari orang-orang di sekitar mereka mengarahkan pandangan pada keduanya. Itu karena penampilan Chaeyong yang tak bias dilihat seperti perempuan. Joongki takut dibilang homo.

Tidak butuh hal yang besar untuk membuatnya begitu bahagia seperti sekarang, karena yang ada dipikirannya sekarang hanyalah bagaimana perasaannya saat Jinki memeluknya siang tadi.

Tapi satu yang dirasakan Joongki kali ini (disamping dia risih dengan kelakukan Chaeyong), sesaat ia merasa sedikit cemburu dengan Jinki. Sedikit.

***

3 hari sebelum pameran di mulai. Joongki berada di kampus untuk mengurusi semua masalah teknis untuk pameran tunggalnya yang kedua itu. Dan sekarang ia baru saja keluar dari ruang dosen yang mengurusi masalah itu dan membantu persiapannya sejak awal. Namun saat ia hendak keluar dari kampus, ia melihat seseorang yang familiar baru keluar dari akademik.

“Jinki-a!” sapanya. Jinki mendongak, mencari-cari siapa yang baru memanggilnya, dan mendapati Joongki melambai padanya.

Hyeongnim!” katanya, kemudian berlari mendekati Joongki. “Annyeong!”

Oh!”

“Ada apa hyeong?” Jinki berbasa-basi, meski ia tahu keadaan diantara mereka sedikit canggung.

“Aku baru saja dari ruang dosen! Mengurus persiapan pameranku disini!” katanya pada Jinki.

“Pameran?”

“Kau belum tahu?” Tanya Joongki. Jinki menggeleng. “Chaeyong tak memberitahukannya padamu?” Tanya Joongki lagi. Mendengar nama itu, pikiran Jinki langsung melayang ke kejadian satu hari yang lalu, yang masih membuat Joongki bingung dengan kelakuan adiknya semalam. Namun ia segera membuyarkan lamunannya sendiri saat mendengar Joongki kembali bicara. “3 hari lagi aku mengadakan pameran di hall!” katanya.

Jeongmalyo?” Tanya Jinki. Joongki mengangguk.

“Kau datang ya! Mungkin kau suka dengan tema nya!” ajak Joongki.

Jinki nampak berpikir. Entah apa yang membuatnya keberatan untuk datang. “Aku.. bagaimana ya.. mungkin nggak bisa janji sih hyeong!” jawabnya ragu. “Sepertinya aku tak bias datang!” jawabnya.

Joongki tak menanyakan apa alasannya, ia juga tak begitu ingin tahu. Dan setelahnya Jinki hanya pamit pergi tak mengatakan apa-apa lagi.

***

“Pamerannya 3 hari lagi?” Tanya YoonHee seraya melepas apronnya, kemudian menggantungkannya di tempatnya dan duduk di sebelah Chaeyong yang tengah menikmati muffin buatan YoonHee yang baru matang. Gadis itu mengangguk dengan mulut penuh potongan muffin.

“Hungkhi hong hihakk.. uhuhkk!! Uhukk!!” Chaeyong tersedak. Yoonhee segera menuangkan segelas air putih dan memberikannya pada Chaeyong.

“Telan dulu! Baru ngomong..” katanya sambil mengurut punggung Chaeyong.

Bocah itu menenggak airnya banyak-banyak, menelan semua yang ada di mulutnya dan kembali bicara. “Joongki hyeong tidak memberi tahumu?” Tanya Chaeyong.

“Mungkin iya.. tapi aku tak begitu memperhatikan kapan.. hehe..” katanya.

“Kan aku sudah memberitahumu kemarin..” tiba-tiba sesosok suara muncul, dibarengi munculnya seseorang dari pintu dapur, memandang ke arah dua anak gadis yang sedang duduk ngobrol di meja makan.

“Selamat datang!” sambut Yoonhee ramah. Joongki tersenyum, kemudian bergabung dengan mereka, duduk di sebelah Chaeyong, meletakkan tasnya di atas meja dan mengambil satu muffin yang ada diatas piring putih itu.

“3 hari lagi, jam Sembilan pagi dimulai!” ujar Joongki. Sesaat ia menjilat remahan muffin yang tertinggal di bibirnya. “Aku harap kali ini sukses, sebelum aku terbang ke Barcelona~”

Chaeyong tak merespon, ia sibuk dengan kuenya, sedangkan Yoonhee hanya duduk diam memandangi Joongki dengan raut wajah aneh. “Yoonhee waeyo?” Tanya Joongki. Gadis itu menggeleng pelan dan berusaha tersenyum secerah mungkin.

Noona takut ditinggal sama hyeong ke Barcelona~! Yang peka dikit donk..” cibir Chaeyong. Joongki mengalihkan pandangannya pada gadis itu, kemudian menggelitikinya setelah meletakkan muffin ditangannya dengan asal ke atas piring. “YA! Hyeong! Hyeong!! Andwe!! Yah!!” Chaeyong berontak, terkekeh karena geli, dan sesekali menepis tangan Joongki, namun kakaknya itu tak mau berhenti menggelitikinya.

“Oh, ya, ngomong-ngomong soal itu.. tadi aku mengundang Jinki datang! Kau tidak memberitahunya kemarin?” katanya setelah menghentikan serangan gelitikannya dan kini merangkul adiknya itu seraya menghabiskan muffinnya. Chaeyong tak menjawab. Bahkan ia belum bertemu lagi dengan Jinki sejak kejadian di kampus itu. Menghubungi lewat ponsel pun tidak. “Apa dia sudah mau berangkat ya?”

“Hmm?” Chaeyong kaget sebenarnya, namun ia berusaha untuk membuatnya tidak terlalu kelihatan.

“Berangkat kemana?” Tanya Yoonhee.

“Jinki mau kuliah di Harvard!” jawab Joongki, kemudian mengembalikan perhatiannya pada Chaeyong. “Ya! Kau tau dia mau kemana? Kenapa dia nggak bisa datang ke pameranku?”

Mollayo!” jawab Chaeyong cepat, dan dengan cepat pula ia mencoba menghabiskan muffin ditangannya, meski harus sedikit tersedak. Walau tampak tidak peduli, tapi sebenarnya ia sangat penasaran dengan apa yang baru saja dikatakan Joongki padanya. Tapi kalau Jinki akan berangkat tiga hari lagi, kenapa bocah itu tak memberitahunya sama sekali?

***

“Kamu nggak pernah ngomong ada tempat sebagus ini disini!” ujar Bora seraya menyodorkan botol air minum Chaeyong kembali pada gadis pendek yang duduk di tepi lapangan outdoor itu, kemudian duduk di sebelahnya dan melihat permainan 3 on 3 teman-teman Chaeyong yang baru saja dimulai.

Eonni nggak usah lebay deh!” katanya, kemudian keduanya terkekeh. Chaeyong membuka tutul botol minumnya, kemudian menenggak airnya banyak-banyak.

“Oh ya, ngomong-ngomong, Yong-a! Katanya anak juragan ayam itu mau ke Amerika ya besok?” dan air di mulut Chaeyong sukses menyembur keluar semuanya. Gadis itu terdiam dengan mulut terbuka. Bengong. Mencoba mencerna apa yang baru saja dikatakan Bora padanya.

Chaeyong memandang ke arah Bora, raut wajahnya mengisyaratkan bahwa ia meminta Bora menjelaskannya lebih lanjut padanya. “Temanmu itu! Kemarin waktu aku ke toko daging orang tuanya, mereka bilang anaknya akan berangkat ke Amerika besok! Masa kamu nggak tau?” Tanya Bora.

“Besok?” Tanya Chaeyong. Bora mengangguk. Wajahnya Nampak serius. Ia memperhatikan ekspresi Chaeyong yang mulai berubah khawatir. Ia nampak ingin melakukan sesuatu, tetapi ragu untuk melakukannya. Jadi dia hanya diam dan berusaha meneguhkan hatinya. Sampai tiba-tiba terdengar suara Bora tertawa terbahak-bahak, kemudian mencubit pipinya gemas.

“Ah~ gampang banget sih ngibulin kamu??” Bora menepuk-nepuk pahanya sendiri. Ia merasa apa yang baru ia lakukan itu sangat lucu.

Chaeyong memandang bingung kearahnya. Belum mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Dan sampai sekarang perasaannya masih tidak karuan, memikirkan jika Jinki benar-benar akan berangkat besok pagi.

“Benar kan kamu suka sama si juragan ayam itu? Hahaha..” Bora masih sibuk tertawa, sementara Chaeyong masih sibuk berpikir, sebenarnya apa yang baru Bora lakukan padanya. “Aku kan cuma ngasal! Haha.. aku nggak benar-benar tau apa dia berangkat besok pagi atau kapan.. aku cuma dengar dia bakal kuliah ke luar negri ya? Amerika?” Bora masih melepaskan sisa-sisa tawanya. Chaeyong baru sadar apa yang baru dilakukan Bora padanya. Menggodanya. Kini ia bisa sedikit lega karena ia tahu Bora hanya berbohong. Tapi masih ada sedikit rasa khawatir di hatinya.

Chaeyong mencoba ikut tertawa. Ia membalas Bora denga menarik rambutnya yang diikat ekor kuda di belakang kepalanya, kemudian terkekeh pelan, sementara ia kembali mendapatkan balasan dari Bora karena perbuatannya.

***

Hari pameran Joongki tiba. Pukul 9.00 pagi tepat pameran itu dibuka untuk umum, baik mahasiswa, pelajar, dosen, bahkan masyarakat awam bisa datang ke pamerannya untuk melihat hasil karya Song Joongki, fotografer yang namanya memang belum terlalu dikenal. Tapi ia sedang berupaya untuk mencapainya. Dan ini pameran keduanya. Dengan judul “Nae Dongsaeng”.

Banyak sekali momen-momen dimana Chaeyong berada, diabadikan dalam foto dan di tempel di berbagai sudut didalam hall kampus itu dengan berbagai ukuran dan cara menampilkan yang bervariasi. Dan sebenarnya itu membuat Chaeyong jadi enggan menampakkan diri disana. Tapi karena Joongki memaksanya, akhirnya ia muncul dengan gaya seperti teroris. Jaket tebal, topi, dan masker. Malah mencuri perhatian orang-orang yang ada di sekitarnya. Mereka pikir ada artis datang ke acara itu.

Melihat tingkah berlebihan adiknya itu, Joongki menariknya, kemudian melepaskan masker dan topinya. “Yah! Kamu apa-apaan??” katanya, mengacak rambut Chaeyong yang sudah terlepas dari topinya.

Hyeong!” Chaeyong berusaha merebut alat penyamarannya, namun Joongki tak mau memberikannya. “Aku malu, hyeong! Mukaku dimana-mana..” protesnya setelah menyerah untuk mendapatkan kembali masker dan topinya.

Gwaenchanayo!” Joongki merangkul adiknya itu dengan sebelah tangannya yang tak membawa topi dan masker Chaeyong, membawanya mengelilingi hall untuk melihat seluruh hasil karyanya.Meski awalnya sedikit canggung, karena banyak mata memandang ke arahnya, tapi lama-lama ia jadi terbiasa dengannya, dan lebih berkonsentrasi pada apa yang tengah dilihatnya. Hasil karya Joongki luar biasa. Karena dengan objek yang sangat biasa ini, ia bisa membuatnya jadi menakjubkan. Chaeyong tak percaya ia melihat dirinya sendiri tampak keren di setiap foto yang ada.

Hingga sesuatu mengganggunya. Ponselnya berdering, ada pesan masuk untuknya. Chaeyong segera mengambilnya dan membukanya.
From: Jinki hyeong
Bilang pada hyeong maaf aku tidak bias datang! Aku ada urusan, aku harus berangkat sekarang. Gomawo! Sampai jumpa!

“Hehh?” Chaeyong tersentak. Ia baca lagi pesan itu berulang kali. Jinki akan pergi? Hari ini? Kenapa kemarin tidak bilang? Kenapa baru kali ini dan hanya lewat pesan singkat di ponselnya. Bahkan menelpon pun tidak, pikirnya.

Joongki yang baru saja mengobrol dengan temannya yang dating, kemudian pergi untuk melihat-lihat, mengalihkan kembali perhatiannya pada sepupunya yang tak henti memandangi ponselnya dengan wajah terkejut. “Waeyo?” Tanya Joongki, membuyarkan konsentrasi Chaeyong.

Gadis itu mendongak, memandang ke arah kakaknya. “Oppa! Aku.. harus pergi sekarang.. mianhae!” katanya, dan tanpa ragu ia meninggalkan Joongki, keluar dari hall kampus itu untuk menemui orang yang baru saja mengirimkan pesan padanya.

Joongki terdiam, memandang ke arah kemana adiknya pergi itu dengan tatapan aneh. “Oppa?”

***

Lee Buchery, sebuah took daging yang amat sibuk setiap harinya. Dikelola sendiri oleh kedua orang tua Jinki, dengan membayar beberapa orang sebagai karyawan mereka. Namun bukan itu yang penting saat ini, karena ditengah kegiatan toko mereka yang sangat sibuk, mereka dikagetkan oleh debaman benda tumpul dan suara gesekan logam dengan aspal di depan toko mereka. Nyonya Lee, ibu jinki, mendongak dari balik etalasenya, namun bergegas keluar kemudian untuk mengetahui apa yang sebenarnya sedang terjadi didepan tokonya.

Seorang bocah dengan kemeja biru bercorak merah dan hitam baru saja terjatuh dari sepedanya setelah mencoba naik dari jalan ke trotoar. Sepertinya ia sedang tergesa-gesa. Ia masih belum berusaha untuk bangkit dari jatuhnya. Badannya berada di atas stang sepedanya, dan roda depan sepeda itu masih berputar, menandakan ia jatuh belum begitu lama.

Lee ahjumma merasa mengenali bocah itu. Segera ia mendekatinya dan mencoba membantunya bangun. “Chaeyong-a?” katanya. Bocah itu mendongak sedikit. Pipinya mengalami lecet akibat gesekan dengan ubin trotoar yang cukup kasar itu. Tapi bukannya merasa sakit atau mengkhawatirkan dirinya, ia malah bangun dan memegang pundak Lee ahjumma.

Omonim, apa Jinki hyeong masih dirumah?” katanya cepat.

Mwora?”

“Jinki hyeong.. apa dia sudah berangkat?” Tanya Chaeyong lagi. Ekspresinya penuh kekhawatiran, membuat Lee ahjumma makin bingung.

“O.. ne.. 15 menit yang lalu..”

MWO??” sergah Chaeyong. “Ah.. cwesonghamnida..” ia berdiri, mengangkat sepedanya dan bergegas mengayuhnya. “Bahkan dia tak mengabariku tentang ini..?” bisiknya seraya berlalu meninggalkan toko daging itu dengan beberapa lecet di badannya.

Lee ahjumma masih terbengong, kaget dengan sudden reaction yang diberikan Chaeyong padanya, dan kini bocah itu sudah berlalu tanpa pamit dengan benar padanya. Lee ahjussi keluar kemudian, menghampiri istrinya seraya melihat ke arah pandang istrinya itu. “Ada apa sih?” katanya penasaran.

Tapi sebelum Lee ahjumma sempat menjawab, sebuah scooter matic berhenti didepan mereka. Si pengendara membuka kaca helmnya tanpa mematikan mesin motornya terlebih dahulu, memandang ke arah dua orang suami istri pemilik toko daging itu dan berseru, “Eomma, apa tadi Yong-i kesini?” katanya. Yep, dia Jinki.

“Apa yang sebenarnya kau lakukan?? Dia mencarimu dengan wajah khawatir tadi! Eomma sampai kaget, dia jatuh disini!” bukannya menjawab, ibunya malah memarahi anak sematawayangnya itu.

“Dia kemana sekarang?” katanya.

Mollayo! Pokoknya ke arah sana!” jawab ibunya lagi, dan tanpa instruksi kedua, Jinki menutup kaca helmnya, kemudian menjalankan motornya kearah yang ditunjuk ibunya.

“Mereka kenapa?” Tanya Lee ahjussi.

Mollayo!” jawab ibunya, kemudian menghela nafas pendek dan menarik suaminya kembali kedalam toko.

***

Bandara. Entah apa yang dipikirkan bocah ini, mengejar Jinki sampai kemari, padahal ia tidak benar-benar tahu sedang dimana bocah itu sekarang. Setelah menjatuhkan sepedanya dengan asal di parkiran mobil (dan membuat security harus menyidangnya 5 menit, tapi karena ia bilang emergency makanya ia diijinkan meletakkan sepedanya disana), ia bergegas masuk untuk mencari Jinki didalam bandara. Berusaha menerobos masuk terminal keberangkatan menuju Amerika.

“Saya mohon! Saya hanya ingin bertemu seseorang..” protesnya.

“Tapi anda tidak memiliki tiket, jadi anda tidak bisa masuk!” kata dua petugas di pintu tersebut, menghalangi bocah itu untuk masuk. 

"Tapi ini yang terakhir.." katanya memohon belas kasihan.

"Maaf, ini sudah peraturan!" kata penjaga itu tegas. Dan setelah berusaha begitu lama, akhirnya Chaeyong tidak berhasil untuk masuk. Ia menyerah, berlalu dengan gontai dan perasaan amat sangat menyesal dan kecewa. Ia duduk di ruang tunggu, bermaksud menenangkan diri. Menunduk, kedua tangannya diam diatas lututnya, menggigit bibir bawahnya untuk mencegah air mata jatuh.

Bahkan aku tak bisa melihatnya pergi, batinnya. Dan membuat suasana hatinya lebih sedih lagi.

“YONG-A!!” ia mendengar seseorang berteriak memanggil namanya. Suara yang sangat dikenalinya. Namun gadis itu tak mengindahkannya. “Jang Chaeyong!!” suara itu memanggilnya lagi. Masih berusaha menahan tangisnya, ia menoleh. Dilihatnya seseorang berlari ke arahnya dari pintu masuk bandara. Melambaikan salah satu tangannya yang membawa ponsel. Kurang dari satu menit ia sudah berdiri berjarak 1 meter dengan Chaeyong. Membuat gadis itu terdiam membatu. Apa benar Jinki yang berdiri di hadapannya.

YA!!" Jinki mengatur nafasnya sejenak. "Kenapa nggak diangkat telponku, ha??” ditengah  nafasnya yang masih terengah, Jinki bicara pada gadis yang memandangnya takjub, namun matanya masih berkaca-kaca. “Kamu ngapain kesini, ha? Aku mengejarmu dari kampus tau! Kamu melewatiku tapi nggak menyapa sedikitpun..”

“M.. mwo??” untuk pertama kalinya Chaeyong menyadari kebodohannya.

Mwo, mwoya?” Jinki malah balik Tanya.

“Op.. ahni.. Hyeong tadi mengirim pesan padaku..”

“Ah! Makanya aku mengirim pesan lagi padamu setelah itu! Tapi sepertinya kamu tidak membukanya? Aku salah kirim! Harusnya pesan itu untuk saudaraku yang mengajakku pergi hari ini, tapi aku membatalkannya! Aku ingin lihat pameran Joongki hyeong.. jamkanmanyo..” Jinki menyadari sesuatu, dari perubahan air muka juniornya di hadapannya itu. “Kau kesini karena itu?” katanya lagi. Chaeyong tak menjawab, ia membuang pandangan ke arah sepatunya. “Kau pikir aku akan berangkat ke Amerika sekarang?”

Hening menyelimuti keduanya sesaat. Bukan keheningan yang biasa. Ini tentang bagaimana perasaan keduanya sekarang. “Wae?” Jinki bertanya pelan, namun ia tak berpindah dari posisinya semula.

Ahni.. geunyang..” suara Chaeyong nyaris berbisik. Ekspresinya kini antara malu dan berdebar. Makanya ia terus menunduk, tak berani mengarahkan pandangannya pada Jinki. “Aku.. nggak mau hyeong pergi..” akhirnya ia buka suara. Jujur dari dalam hatinya, bagaimana akhir-akhir ini ia melawan egonya itu, seperti yang dilakukannya beberapa waktu yang lalu.

Mereka terdiam lagi. Bukannya tak mau merespon, Jinki hanya ingin mendengar apa yang akan diucapkan bocah itu padanya kemudian. Tapi tak satu katapun diucapkannya. Padahal ia tampak ingin mengatakan sesuatu, tapi gadis itu seperti berusaha untuk menelan kembali kata-kata yang sudah sampai di ujung tenggorokannya.

“Chaeyong-i jhoahae!” dua kata itu meluncur dari bibir Jinki. Perlu waktu lama bagi Chaeyong untuk mencerna apa yang baru saja dikatakan Jinki padanya. Hingga Jinki harus mengulanginya lagi. “Saranghandago!”

Chaeyong mendongak. Ekspresi wajahnya tak terbaca. Apakah itu senang, kaget, atau ekspresi yang lain. Malah hampir tanpa ekspresi. “H..hyeong..” hanya itu yang bias dikatakannya.

Mianhae.. lupakan, anggap saja..”

Ahni~!” Chaeyong menyela, membuat Jinki mengambalikan perhatiannya pada gadis itu. “Na do..~” nada bicaranya sangat lirih, kalah dengan suara bising disekitar mereka.

“..??”

Nado jhoahae! Hyeong..” Chaeyong mengalihkan pandangannya ke arah lain. Wajahnya merah padam. Ia ingin menyembunyikannya dari Jinki. Ia tersadar baru mengatakan sesuatu diluar kesadarannya. Tentang bagaimana perasaannya, setelah terlebih dahulu ia mendapatkan pernyataan itu dari seseorang yang diharapkannya.

Namun tanpa disangka, ia merasakan sesuatu melingkar di lehernya. Jinki memeluknya dari samping, menyandarkan kepalanya di belakang kepala Chaeyong. Gadis itu tersentak sejenak, namun yang selanjutnya dilakukannya hanya membiarkan seniornya itu melakukannya. Chaeyong tak bergerak sedikitpun, bahkan mengganti posisinya untuk balik memeluknya pun tidak. Ia terlalu berdebar dan gemetar untuk melakukannya. Juga karena ia merasakan sakit dari luka di seluruh tubuhnya karena terjatuh tadi.

Ia yakin kini wajahnya tak ada bedanya dengan tomat matang.

***

1 year later

Upacara kelulusan bagi mahasiswa tingkat akhir di universitas dimana Chaeyong menuntut ilmu. Dan ia termasuk salah satunya. Dengan kemeja putih rapi yang diberikan dasi yang kurus panjang di lehernya, celana hitam, dan sepatu keds putih, Chaeyong duduk bersama beberapa mahasiswa lain yang lulus pada hari itu juga. Mendengar pidato panjang dari rektor mereka, menunggu disahkannya mereka lulus dari instansi pendidikan itu. Tak seperti mahasiswi lain yang tampak anggun dengan pakaian mereka, Chaeyong lebih mirip karyawan baru sebuah perusahaan swasta. Atau.. anggota band?

Tak lama setelah pidato berakhir, dan rangkaian acara resminya usai, semuanya keluar dari dalam gedung auditorium tersebut, berkumpul bersama kerabat dan teman masing-masing untuk merayakan momen bahagia tersebut. “Ya! Kau jadi makin tampan sekarang?” Joongki mengacak rambut Chaeyong semangat. Gadis itu menepisnya, kemudian merapikan rambutnya lagi.

Waeyo?? Kau iri?” katanya sombong, kemudian keduanya terkekeh geli.

Orang tua Joongki dan Yoonhee datang ke acara itu, untuk memberikan selamat padanya. Orang tua Chaeyong dan adik laki-lakinya, Jihoon juga datang, setelah mereka tak bertemu untuk waktu yang lama. Namun saat seperti ini, mereka tidak boleh melewatkannya. “Kau juga harus belajar yang rajin Jihoon-a!” katanya pada adiknya itu.

Noona juga baik-baik di Jepang ya! Aku juga ingin ikut denganmu! Kalau saja dulu aku ikut basket juga..” ujar Jihoon, kemudian merangkul kakaknya yang lebih pendek darinya itu.

“Sekarang kau yang kabur ke luar negri, huh??” Tanya Joongki.

Chaeyong menjulurkan lidahnya. Dulu Joongki yang mencoba peruntungan ke Barcelona, dengan membantu proyek temannya dan akhirnya ia mendapatkan imbas baik dari itu. Kini Joongki sudah menjadi fotografer yang cukup di perhitungkan di Korea. Karyanya di bayar mahal. Dan sebentar lagi ia akan mengadakan pameran tunggal lagi, dan tak hanya di hall kampus. Ia memakai hall di museum kesenian di Seoul.

Dan kini, gadis pendek pemain basket ini yang akan pergi untuk memperdalam ilmunya. Ia dipilih sebagai salah satu pemain yang akan ikut latihan bersama bibit-bibit basket dari negara lain di Jepang selama 3 bulan, kemudian mereka akan ke Amerika, latihan bersama atlit basket NBA dan WNBA. Sesuatu yang diimpikan Chaeyong sejak lama.

Di tengah perbincangan mereka, ponsel Chaeyong berdering tiba-tiba. Ia segera mengambilnya dari saku celananya, kemudian membukanya. “Jinki?” Joongki menyela. Chaeyong berusaha menutupi ponselnya, tapi sepertinya terlambat. Dan tanpa melihatnya pun, sebenarnya Joongki juga sudah bisa menebaknya.

“Angkat dulu sana, Noona!” Jihoon mendorong Chaeyong pergi. Gadis itu tersenyum seraya berlalu dan segera mengangkat teleponnya.

Moshi-moshi!” sapanya dengan bahasa Jepang. Setelah latihan beberapa bulan, ia berusaha membiasakan diri dengan bahasa itu.

Ya! Mentang-mentang kau mau ke Jepang..” Jinki terkekeh di sebrang.

“Hehe.. mianh~” masih dengan senyum terpasang di wajahnya, Chaeyong menjawab. Ia tahu Jinki tak bisa melihat wajahnya saat ini. Namun mendengar suaranya saja membuat ia tak bisa berhenti tersenyum.

“Maaf aku nggak bias datang..” ujar Jinki, terdengar kecewa. Tapi Chaeyong segera menghiburnya.

Gwaenchanayo~! Perhatikan saja studimu disana!” jawab Chaeyong. “Bagaimana? Sudah menemukan restaurant ayam yang pas disana? KFC kan bertebaran disana!”

“Untuk kali pertamanya aku bosan dengan ayam, Yong-a!” rengeknya.

Jeongmalyo??” Chaeyong terkejut. Ini baru pertama kali didengarnya. Ia lebih terkejut dari pada saat mendapatkan pernyataan cinta dari Jinki di bandara 1 tahun yang lalu.

“Tapi bohong! Kkkkkk..”

YAH!!” Chaeyong berteriak. Namun ia tak benar-benar marah. Ia selalu merasa tak bias marah dengan orang yang di teleponnya itu.

Jhoa?”

Chaeyong tersenyum. “Emmh! Neomu!”

Na do!” Jinki menghela nafas pendek. “Aku harap bisa segera kembali! Aku rindu..” Chaeyong menunggu kalimat selanjutnya. “.. pada rasa ayam yang di masak di korea! Hahaha..”

Chaeyong berteriak lagi, Jinki masih terbahak di sebrang teleponnya. Sebenarnya bukan itu yang akan diucapkan Jinki, dan Chaeyong tahu itu, tapi entah kenapa ia senang Jinki tidak mengatakan apa yang dimaksudkannya sebenarnya. Ia suka Jinki seperti itu. She just.. love it.

Dari kejauhan, Joongki memandang kea rah punggung Chaeyong yang masih sibuk bercanda dengan Jinki di telepon.

Aku ingin menikah dengan oppa suatu hari nanti.. karena oppa baik padaku..

Joongki tersenyum mengingat kalimat itu. Kalimat pendek yang pernah keluar dari Chaeyong kecil. Ia pernah berharap kalimat itu menjadi nyata, namun ia telah merubahnya. Ia tahu hal itu satu-satunya harapan yang tak bisa diwujudkannya untuk adik yang paling disayanginya. Joongki melebarkan senyumnya, kemudian kembali mengobrol dengan kerabat-kerabatnya yang datang, seperti sebelumnya.

***END***

terima kasih udah baca serial ini dan ngikutin setiap chapternya..
juga bersedia nunggu sangat lama chapter final ini~
semoga bermanfaat bagi bangsa dan negara(?)

-Keep Shine Like HIKARI-

5 comments:

  1. ada adegan bandara nih yee ~ drama abeesss ,, btw cover blog lu keren tuh mantab !!!!

    ReplyDelete
    Replies
    1. yaa pan jinki mau ke amrik, masa ya ngejarnya ke terminal~ emang mau mudik ke sragen(?)
      hhh
      iye~ gw sendiri yang bikin juga kagum~ #plakk
      makasi btw^^

      Delete
  2. selese ni??
    haha daebak!
    feelnya dapet ni, trus yg dibandara itu kkk cie cie cie

    keep writing ^^b

    ReplyDelete
    Replies
    1. the end!! kkk..
      ada niatan bikin sekuel one shot sih.. tp blm tau dah ntar~ :p

      hahaha.. roman picisan~ ><
      *tp nulis gitu aja ndredeg tadi* ._.

      makasi banyak~!^^

      Delete