
Written by
LIGHT
LIGHT
Main Cast
Lee Jinki (SHINee Onew), Choi Chaeyong (OC)
Lee Jinki (SHINee Onew), Choi Chaeyong (OC)
Genre
Romance, Sad
Romance, Sad
Rate
General
General
Length
oneshot
oneshot
Author Note
cerita yang idenya dapet waktu bangun tidur.. gatau kenapa bisa dapet ide kayak ginian~ hahaha.. dan alangkah ga kreatifnya nyari tokoh, akhirnya pake pairingan ini lagi.. sekalian nambahin cerita soal mereka.. hha.. yasudahlah~ :p
cerita yang idenya dapet waktu bangun tidur.. gatau kenapa bisa dapet ide kayak ginian~ hahaha.. dan alangkah ga kreatifnya nyari tokoh, akhirnya pake pairingan ini lagi.. sekalian nambahin cerita soal mereka.. hha.. yasudahlah~ :p
^o^
==========

Keduanya
 sama-sama keras, mereka punya alasan masing-masing yang sama kuat, yang
 membuat mereka tetap mempertahankan apa yang mereka anggap benar. Tidak
 ada satupun dari mereka yang mau mengalah, meskipun dengan begitu 
mungkin masalah akan terselesaikan dengan lebih mudah. Namun harga diri 
yang masih membuat mereka bersi kukuh dengan pendapat masing-masing. 
Keduanya sama-sama tidak mau dianggap mudah.
“Memangnya kenapa? Kenapa aku tidak boleh keluar dengan temanku sendiri? Kenapa kamu jadi posesif seperti ini sih?”
“Posesif? Yah!! Aku hanya memperingatkanmu sekali dan kau bilang aku posesif??”
Teriakan
 demi teriakan bergema didalam ruangan itu. Semula hanya karena hal 
kecil yang mungkin bisa di maklumi, kini berkembang menjadi jauh lebih 
besar. Si perempuan berteriak, dan laki-laki di hadapannya akan mengamuk
 dengan nada bicara yang lebih tinggi. Tak ada niat untuk saling 
bersabar, seperti apa yang biasanya selalu mereka lakukan.
“Jhoa!!
 Kalau itu maumu, aku akan diam! Dan lihat saja, aku tidak akan berniat 
untuk menemuimu lagi! Silakan lakukan sesukamu! Kalau kau tidak mau 
dengan seorang pria yang POSESIF!!”
“BAGUS! PERGILAH! Aku tidak perduli denganmu lagi! PERGI!!”
BLAM!!
Suasana
 menjadi senyap. Tak terdengar lagi teriakan-teriakan, ataupun 
umpatan-umpatan ungkapan kekesalan dari siapapun. Gadis yang semula 
berdiri tegap itu, mulai lemas. Menatap kosong ke arah pintu keluar yang
 baru saja dibanting keras-keras oleh pria yang semula berada satu 
ruangan dengannya. Hatinya begitu sakit, matanya terasa sangat berat. Ia
 merasa sesak, ingin menumpahkan segalanya begitu saja. Namun rasanya ia
 tidak mampu. Ia kesulitan, hanya untuk mengeluarkan setitik air dari 
kelopak matanya saja ia tidak mampu. Membuat dadanya semakin sesak 
setiap detik waktu berjalan.
Gadis
 itu merosot jatuh. Terduduk di atas lantai kayu ruang tengah rumahnya. 
Memandang kosong ke arah lantai yang ia duduki. Ia tidak tahu apa yang 
baru saja terjadi padanya. Semuanya terlalu menyakitkan.
-라이트-
Sudah
 berkali-kali ia seperti itu. Menendang bagian bawah meja kerjanya 
disaat ia tidak tahu harus menuliskan apa didalam laporan kerjanya. 
Sesekali ia memukul permukaan meja dengan kepalan tangannya. Kalau ia 
tidak mengingat komputernya adalah properti kantor, mungkin benda itu 
sudah melayang sejak awal.
“Ya!
 Berhenti seperti itu! Kau bisa mati kalau bos melihatmu berkelakuan 
seperti itu disini!” ujar Junhyung yang duduk satu ruangan dengannya. 
“Ingat, kita cuma magang disini, Lee Jinki! Magang!” lanjutnya 
mengingatkan.
Jinki
 berdecak, menghembuskan nafasnya dengan berat, kemudian memandang tajam
 ke arah layar monitor komputernya. Perasaan kesalnya yang kemarin masih
 bergelayut di hatinya. Padahal ia sudah ingin melupakannya. Ia pikir 
dengan berteriak untuk meninggalkan gadis itu, perasaannya tidak akan 
seperti ini. Tapi entah kenapa setiap teringat, ia malah menjadi semakin
 kesal. Rasanya seperti ingin membalikan meja, kemudian menendang tembok
 ruangan itu hingga rubuh. Namun yang bisa ia lakukan sekarang hanya 
menghembuskan nafasnya yang berat dan mencoba bersabar.
Pria
 yang duduk satu ruangan dengannya, teman magangnya, mendengus pelan. Ia
 tahu mereka belum akrab, tapi entah kenapa ia merasa harus melakukan 
sesuatu tentang ini. Junhyung tidak bisa diam saja melihat teman 
magangnya itu sampai ia benar-benar menghancurkan peralatan kerja di 
ruangan ini. Menutup semua pekerjaannya, ia bangkit berdiri.
“Lee Jinki, ngopi yuk!”
.
.
Masih
 mendengus dengan gaya yang sama, hanya berbeda lokasi dan suasana. 
Jinki menghirup kopinya sedikit, kemudian meletakkan gelas kopinya di 
atas meja di hadapannya. Duduk bersandar pada punggung kursi, 
menyilangkan tangannya di depan dada, kemudian memandang ke arah 
permukaan kopi hitam yang dibelinya. Kopi hitam.. sejak kapan ia 
menyukai benda pahit seperti ini? Kenapa ia tidak menekan tombol kopi 
yang lebih manis saat ia membeli tadi?
“Tenangkan
 dulu pikiranmu!” Junhyung membuka suara. “Aku memang tak tahu apa 
masalahmu, tapi kurasa.. kau memang harus menenangkan pikiranmu!” 
katanya.
Jinki
 seperti tidak peduli. Ia mungkin malah tidak mendengar apa yang 
dikatakan Junhyung padanya. Bahkan ia sama sekali tidak dapat 
berkonsentrasi pada apapun hari ini. Ini semua karena pertengkaran 
kemarin. Bisa dibilang sebagai pertengkaran paling besar yang pernah ia 
alami dengan Chaeyong. Paling besar. Karena ia tak pernah berteriak pada
 gadis itu sebelumnya, dan ia tak pernah mendengar gadis itu meneriakkan
 sesuatu dengan penuh emosi hingga kemarin. Ia merasa semuanya sudah 
berada diluar batas. Dirinya, dan Chaeyong.
Semuanya
 bermula saat ia melihat Chaeyong berjalan berdua dengan seorang 
laki-laki. Oke, sebenarnya itu adalah hal biasa. Gadis itu memang sering
 berjalan dengan laki-laki selain dirinya. Namun entah kenapa kejadian 
kemarin yang paling membuatnya.. cemburu?
Beberapa
 menit sebelumnya, ia menelepon gadis itu untuk memintanya bertemu 
setelah ia pulang bekerja, tapi gadis itu bilang ia sedang mengerjakan 
sesuatu di kampus. Jadi ia mengurungkan diri untuk bertemu. Namun 
kemudian, ia melihat Chaeyong berjalan berdua saja dengan seorang pria 
tinggi saat ia pergi untuk membeli sesuatu di super market. Entah kenapa
 perasaannya begitu campur aduk, pikiran negatif masuk begitu saja ke 
dalam kepalanya. Mungkinkah gadis itu telah membohonginya? Apakah gadis 
itu sudah berpaling pada pria lain? Entah mengapa pikiran buruk begitu 
saja bisa menginvasi isi kepalanya.
Kemudian
 hal itu terjadi. Malam itu juga, disaat Chaeyong berada di rumah 
sendirian, dan ia datang dalam keadaan marah. Tanpa mempedulikan apapun,
 ia seakan menuduh gadis itu bermain api. Ia tidak tahu apa yang 
merasuki dirinya sehingga ia bisa berteriak-teriak pada gadis itu. Dan 
begitulah bagaimana gadis itu juga berbalik berteriak padanya. Dengan 
yakin berkata jika dirinya tidak bersalah. Kemudian, begitu saja satu 
kata yang sangat tak disukainya keluar dari bibir gadis itu.
Posesif.
Benarkah
 aku posesif? Apakah kebebasan yang kuberikan padanya selama ini kurang?
 Ataukah memang ia sama sekali tidak bisa diatur? Jadi ia sama saja 
dengan wanita lain yang tidak aku sukai..?
Kemudian sesuatu terbersit begitu saja di kepalanya. Jadi salahkah aku telah menyukainya selama ini? Apa sebaiknya kami putus saja?
Jinki
 mendecakkan lidahnya. Junhyung bisa melihat mata Jinki berair, meskipun
 ia tidak tahu apa sebabnya. Pria dihadapannya itu menggigit bibir 
bawahnya, seperti tengah menahan sesuatu. Sepertinya masalah yang 
dihadapinya memang cukup berat.
“Ada
 sesuatu yang bisa kulakukan untuk meringankannya?” tanya Junhyung 
basa-basi. Ia tidak bisa diam saja disini melihat seseorang yang hampir 
menangis tanpa tahu apa yang menjadi penyebabnya. Namun Jinki tidak 
memberikan respon yang berarti padanya. Ia hanya menunduk, menatap 
pangkuannya sendiri. Masih menahan sesuatu. “Pacarmu ya?”
Jinki
 mendongak sedikit, namun tidak menjawab apapun yang dikatakan Junhyung.
 Apakah masalahnya terlalu jelas bagi teman kerja yang belum begitu 
dikenalnya? Apakah semua orang yang memiliki masalah dengan kekasihnya 
selalu memiliki ekspresi seperti dirinya?
“Seorang
 pria menangis hanya karena dua hal! Satu, karena ibu mereka, dan dua, 
karena kekasih mereka.. jadi kusimpulkan, ini karena pacarmu!” ujar 
Junhyung tanpa peduli apakah Jinki akan menjawabnya atau tidak. Hanya 
sekitar satu minggu saja ia mengenal Jinki, sepertinya ia langsung tahu,
 Jinki bukanlah tipe yang mudah akrab dengan orang lain. Apa lagi untuk 
membeberkan masalahnya.
Ia
 menarik nafas berat, kemudian menghembuskannya sejenak, sebelum kembali
 mendengarkan kalimat yang diucapkan Junhyung padanya. “Jadi kalian 
bertengkar?” Jinki tak merespon, tapi tentu saja Junhyung sudah tahu 
itu. “Berpikirlah dengan kepala dingin! Beristirahatlah sejenak, jangan 
bersikap dalam keadaan lelah! Itu terlalu riskan!”
Jangan bersikap dalam keadaan lelah..?
Ia
 memang terlalu lelah akhir-akhir ini. Pekerjaannya menumpuk, magang 
dari pagi hingga malam hari, pulang dengan segepok pekerjaan yang harus 
ia selesaikan. Pekerjaan laboratorium proyeknya dengan dosen yang belum 
ia selesaikan, dan hal lain yang tidak bisa disebutkan semuanya. 
Membuatnya begitu lelah.
Jadi
 itukah yang membuatnya seperti kerasukan setan? Apakah karena lelah 
fisik dan pikirannya yang membuatnya berteriak asal kepada Chaeyong 
tanpa mau mendengarkan penjelasannya? Lalu apakah ini semua  adalah 
kesalahannya sendiri?
Jinki berdecak. Tapi jika Chaeyong tidak membohonginya seperti itu, kejadian kemarin tidak akan pernah terjadi kan?
Ia mendengus. Kenapa semuanya menjadi begitu berat?
-라이트-
Kenapa
 kali ini bersabar menjadi begitu sulit? Mengapa menyadarkan diri 
sendiri untuk memaafkannya menjadi begitu berat? Apakah memang semuanya 
sudah tidak dapat diperbaiki? Tapi.. bukankah ini terlalu cepat untuk 
mengakhiri hubungan?
“Choi Chaeyong!! Aigoo~
 apa yang kau lakukan, hahh?? Kau mau menghancurkan dapurku??” Kibeom 
berteriak menyadarkan gadis itu dari lamunanya. Dengan cepat ia 
mengguyurkan semangkuk air yang ia ambil dari kran air diatas bak cuci 
piring, keatas kompor yang apinya sudah menyala begitu besar di hadapan 
gadis yang kini menatap dengan kaget ke arah kompor itu. Ia hampir saja 
membuat dapur Kibeom terbakar karena meletakkan panci plastik diatas 
kompor yang menyala.
“Kamu
 kenapa sih? Sana kau duduk! Biar aku yang meneruskannya!” teriaknya, 
mendorong gadis itu untuk duduk di meja makan, kemudian melanjutkan 
untuk merebus kue berasnya dan kembali ke hadapan temannya. Duduk di 
sisi meja yang lain.
“Kalian marahan ya?”
Chaeyong mendongak. Sesaat ia tampilkan senyum tipis yang dipaksakan. “Hah? Anieyo~!” katanya. Namun nada bicaranya tidak bisa membohongi Kibeom sama sekali.
Kibeom
 mendengus kesal. Ia mengerti gadis itu tak pernah mau membocorkan 
masalah yang terjadi diantara dirinya dengan Jinki. Semua itu adalah 
masalah yang harus diselesaikan sendiri oleh mereka, tidak boleh ada 
yang tahu, bahkan orang tua mereka. Namun Kibeom tidak mau mengerti 
untuk yang kali ini. Karena ia rasa masalah yang mereka hadapi terlalu 
besar untuk ukuran mereka.
“Aku ngerti apa yang ada diperasaanmu, Yong-ah!
 Sudah seperti ada ikatan batin di antara kita, dan kamu tidak bisa 
membohongiku begitu saja!” ujarnya. Daripada seorang teman, ia lebih 
mirip seorang ibu. “Ceritakan padaku!” Matanya yang tegas memandang ke 
arah Chaeyong, namun nada bicaranya mengesankan bahwa ia mengerti gadis 
itu. Ia bisa merasakannya. Mendengarnya membuat Chaeyong luluh begitu 
saja, dan mau menceritakannya pada sahabatnya itu.
Semuanya.
 Bagaimana ia tidak berbohong pada Jinki sama sekali. Ia memang berjalan
 bersama seseorang kemarin, dia Jeongshin, teman kampusnya yang sedang 
menjalankan satu proyek dengannya di satu mata kuliah yang mereka ambil 
bersama. Tugas kelompok yang diberikan dosen kepada mereka, membuat 
Chaeyong dan Jeongshin menjadi satu kelompok. Itulah mengapa mereka 
berdua mengerjakannya sampai malam. Dan karena rumah Jeongshin searah 
dengan rumahnya, maka mereka memilih untuk pulang bersama. Ia 
benar-benar tidak pernah berbohong pada Jinki sedikitpun.
Ia
 kesal karena Jinki tidak percaya padanya. Ia kesal karena Jinki tidak 
mau mendengarkannya. Ia kesal karena Jinki marah padanya. Dan ia kesal, 
kenapa semua ini bisa terjadi.
Sesaat,
 ia merasakan dadanya begitu sesak. Seperti ada ribuan jarum menyerbu 
dan membuat perasaannya begitu sakit. Tubuhnya sedikit menegang, 
memandang nanar ke arah Kibeom tanpa tahu harus bersikap seperti apa. Ia
 ingin berteriak, membanting semua yang ada dihadapannya. Atau paling 
tidak, ia ingin menangis keras-keras. Namun ia tidak dapat melakukannya.
 Bukan karena ia menahannya.. tapi memang ia tidak dapat melakukannya. 
Ia tidak bisa menangis. Sama sekali.
“Pergilah
 padanya, bicarakan ini baik-baik. Aku yakin ia akan mengerti..” ujar 
Kibeom padanya. “Aku tidak bisa bilang apapun. Karena masalah ini hanya 
kalian yang bisa menyelesaikannya. Ini hanya kesalah pahaman kecil, 
disaat kalian berdua sedang berada dalam keadaan lelah!” katanya.
Chaeyong mendesah pelan. Ia memandangi ujung meja tanpa mengerti untuk apa ia memandangi bagian itu.
“Turunkan egomu, meski kau tahu kau benar! Tapi mengerti Jinki hyeong sedikit juga tidak salah kan? Ia sudah mengerti dan bersabar denganmu terlalu banyak, Yong-ah! Kini kau yang harus mengerti dia!” Kibeom mengusap lengan atas Chaeyong dengan lembut. Menenangkannya. “Kamu ngerti kan?”
Berat,
 namun gadis itu mengangguk. Mungkin Kibeom benar, selama ini ia memang 
terlalu egois. Jinki sudah mengerti terlalu banyak. Ia bahkan tidak 
pernah memperlihatkan kekesalannya saat dirinya lebih memilih 
kepentingannya sendiri daripada Jinki. Ia tidak pernah protes meski 
Chaeyong sangat jarang, bahkan tidak pernah bersikap manis padanya. 
Bahkan Chaeyong tidak mau memanggilnya ‘oppa’ seperti apa yang 
dilakukan gadis lain. Mungkinkah ini titik balik dari kesabaran Jinki 
selama ini? Jadi ini juga karena kesalahannya?
Mungkin ia memang harus meminta maaf pada Jinki..
“Masih
 belum bisa nangis ya?” tanya Kibeom. Chaeyong hanya diam, mengalihkan 
pandangannya ke arah lain, mencoba meredam perasaannya dengan cara lain 
selain menangis. Kibeom mengusap kepalanya cepat. “Heuhh.. Jinjja!” katanya dengan senyum di wajahnya, kemudian beranjak untuk memeriksa kue beras yang direbusnya.
-라이트-
Jinki
 berjalan menuju rumahnya dengan langkah gontai. Badan dan pikirannya 
terlalu banyak diperas hari ini. Setelah pulang dari tempat magangnya, 
ia harus ke laboratorium untuk mengecek sejauh mana progres dari 
proyeknya bersama dosennya itu berlangsung. Dan pukul sembilan malam ia 
baru bisa sampai di rumah dengan keadaan yang sangat lelah. Dan 
pikirannya belum bisa kembali lebih tenang meskipun banyak sekali 
pekerjaan yang bisa mengalihkannya.
Ia
 sudah sampai didepan pagar rumahnya, baru akan membukanya saat orang 
lain dari dalam membukanya disaat yang sama. Keduanya tersentak dan 
terdiam beberapa saat begitu mereka berdua bertemu muka.
“J-Jinki-ya..”
Jinki masih terdiam sebelum ia mampu mengeluarkan suaranya. “Chaeyong-a?”
.
.
Keduanya
 duduk didalam mini market yang letaknya tidak begitu jauh dari rumah 
Jinki, menghadap ke dinding kaca luar mini market dimana mereka bisa 
melihat jalanan diluar sana. Mereka tidak mau ibu Jinki tahu bahwa 
keduanya sedang ada masalah saat ini. Jadi satu-satunya jalan adalah 
mengobrol di tempat lain yang jauh dari keluarga mereka.
“R-ramyeon..?” Jinki menyodorkan ramyeon cup yang sedang diseduhnya ke arah Chaeyong. Gadis itu menggeleng pelan.
“Aku udah kenyang..” jawabnya datar.
Jinki
 hanya mengangguk pelan, kemudian menggeser posisi duduknya yang semula 
agak jauh dari Chaeyong, menjadi lebih dekat dengan gadis itu. Mereka 
duduk berdua dalam diam. Tidak satupun dari mereka mengucapkan sepatah 
katapun. Bukan diam seperti biasanya saat mereka bertemu, diam yang 
hangat. Kali ini keduanya begitu canggung, bisa dilihat dari ekspresi 
keduanya, bagaimana mereka berpikir harus memulai dari mana untuk 
berkomunikasi satu sama lain.
Hingga Jinki memilih untuk mengawali pembicaraan. “Kamu.. udah lama? Di rumahku?” katanya gugup.
“Oh..
 begitulah..” Chaeyong menjawab begitu pelan. Mungkin jika Jinki berada 
sedikit lebih jauh, ia tidak bisa mendengar apapun yang dikatakan gadis 
itu.
Suasana
 kembali hening. Jinki terus memandang ke arah tutup kertas ramyeon cup 
nya, sementara Chaeyong tak henti-hentinya membaca kalimat yang sama 
pada botol susu pisang digenggamannya. Sampai ia menyadari, ia tidak 
bisa terus seperti ini.
“J-Jinki-ya..”
 ia memanggil pria itu, membuatnya menoleh padanya sedikit. “A-aku 
tahu.. mungkin.. bagaimana mengatakannya..” Chaeyong menggigit bibir 
bawahnya. Tidak tahu bagaimana ia harus menjelaskan semua yang ada 
didalam perasaannya saat ini. Sampai ia hanya bisa mengucapkan satu 
kalimat pendek padanya. “Maafkan aku..” gadis itu menunduk. Entah 
mengapa setelah mengucapkannya, ia merasa sangat bersalah pada pria yang
 duduk di sampingnya itu. Ia tahu, dirinya telah begitu banyak bersalah 
pada Jinki.
Jinki
 tidak menjawab. Ia membiarkan gadis itu mengungkapkan apa yang ingin 
diucapkannya. Ia harus menyelesaikan ini, ia tanamkan ini di kepalanya.
“Maaf
 jika selama ini aku terlalu banyak menyusahkanmu.. seharusnya aku 
menyadarinya saat kau marah kemarin.. seharusnya aku tidak berteriak 
padamu.. seharusnya aku mendengarkanmu! Maaf.. aku terlalu.. egois..”
Luluh?
 Mungkin itu kata yang tepat.. ataukah mengerti? Entah. Namun Jinki 
merasa lebih baik setelah mendengar apa yang diucapkan gadis itu. Bukan 
karena ia merasa menang, tapi ia merasa masih ada kesempatan untuk 
memperbaiki semuanya. Dirinya dengan gadis ini.
“Aku
 juga .. mungkin karena aku terlalu lelah, jadi aku tidak bisa berpikir 
dengan benar..” Jinki berujar. “Aku juga bersalah, maaf ya!” katanya.
Ini
 lebih mudah dari yang mereka duga. Berpikir dengan kepala dingin, 
mencoba bersabar mendengarkan semuanya, kemudian mengerti dan memaafkan.
 Kenapa mereka tidak bisa melakukannya sejak awal? Hanya karena ego yang
 merasuki diri mereka masing-masing. Padahal semuanya begitu mudah, 
tidak membuat keduanya lelah, dan semua akan berakhir baik-baik saja. 
Yang mereka butuhkan hanya bersikap tenang.
Jinki
 tersenyum. Ia merasa begitu bodoh karena membiarkan emosinya meluap 
tanpa kendali kemarin. Ia tahu gadis di sampingnya juga merasakan hal 
yang sama. Hingga tidak dapat mendongakkan wajahnya yang menunduk 
semakin dalam.
“Yah! Sudah selesai! Aku sudah memaafkanmu! Yah,
 kau..” Jinki merasakan bahu gadis itu bergentar saat ia menyentuhnya. 
Sesaat kemudian ia mendengar isakan pelan yang tertahan dari arah yang 
sama. “Kamu.. menangis?”
Suatu
 hal yang sangat langka terjadi pada gadis itu. Menangis, adalah hal 
yang ia tahu sangat sulit untuk dilakukan gadis itu meskipun sesuatu 
yang menyakitkan terjadi padanya. Namun yang tidak diketahui Jinki 
adalah, ada dua hal dimana Chaeyong bisa meneteskan air matanya tanpa 
kesulitan. Disaat seseorang yang ia sayangi tersakiti, dan saat ia 
merasa sangat bersalah pada orang lain.
“Yah!
 Wae? Kamu sakit?” katanya. Menggoyangkan tubuh gadis itu pelan untuk 
memintanya mendongak. Gadis itu membuang wajahnya ke arah lain, mengusap
 airmatanya dengan lengan kemejanya. Ia tidak ingin Jinki melihat 
wajahnya yang menyedihkan. Ia tidak mau Jinki merasa kasihan padanya.
Namun
 yang ia temukan saat memandang ke arah Jinki adalah senyum yang begitu 
menyejukkan, bukan wajah yang menampakan rasa kasihan atau ekspresi yang
 tidak diinginkannya. Jinki membuatnya begitu tenang saat ini. Sangat 
berbeda dengan kemarin, saat keduanya sama-sama terbalut ego 
masing-masing.
“Yah!
 Kau..” Jinki terkekeh geli sejenak, menatap wajah Chaeyong yang begitu 
kusut. Dan entah bagaimana kejadiannya, Chaeyong tidak begitu 
mengingatnya. Yang ia tahu, ia sudah berada didalam rengkuhan pria itu. 
Pria yang sangat disukainya itu. Sesaat kehangatan menjalari seluruh 
tubuhnya.
Ia
 merasakan tangan besar Jinki menepuk punggungnya pelan, menenangkannya.
 Sedangkan tangan yang lain mengusap pelan bagian belakang kepalanya 
lembut. Kepalanya terbenam di dada Jinki yang hangat. Sesaat ia 
merasakan kenyamanan yang luar biasa, entah kenapa. “Menangis saja yang 
keras, buang kekesalanmu! Tetap seperti ini agar orang lain tidak bisa 
melihatmu menangis, arrachi?” katanya. Seperti sebuah instruksi, 
air mata mulai mengalir di wajah Chaeyong, dan suara isakan bisa 
terdengar cukup keras di telinga Jinki. Membuatnya menyunggingkan senyum
 tipis di wajahnya, dan tidak berhenti menepuk punggung gadis itu pelan.
Mungkin
 tidak banyak yang bisa dijelaskan gadis itu, tapi ia tahu gadis itu 
sedang menyesali sesuatu. Ia tidak perlu mendengar banyak alasan untuk 
saat ini hanya untuk memaafkan gadis itu, karena ia bisa mengerti, ia 
tahu gadis itu begitu tulus meminta maaf kepadanya. Dan dirinya sendiri 
juga memiliki sesuatu yang harus dimaafkan oleh gadis itu. Seperti 
hubungan simbiosis, keduanya harus saling menguntungkan. Semua seperti 
sebuah pelajaran baginya, tentang dirinya sendiri, perasaannya, dan 
gadis ini. Egoisme yang begitu mudah berkembang menjadi emosi, namun 
bisa dikalahkan dengan mudah juga jika mereka bisa memahami arti kata 
‘mengerti’ dan ‘bersabar’. Kemudian semuanya akan menjadi baik-baik 
saja. Semua akan berakhir indah.
Dan
 keduanya bisa menyadari bagaimana perasaan masing-masing, terhadap satu
 sama lain. Semuanya semakin mendewasakan hubungan mereka.
-END-
u_u
sangkyuu for reading~!!
comment juseyo~ ^^
-LIGHT-
 
 
cute ending AAACCKK :3333
ReplyDeleteBAGUUUUSSSS :''''')) SUGHOIIK
ReplyDelete