Monday, August 29, 2011

I don't Understand [FANFIC] [1]

Ide FF baru gw ini, gw dapet secara ajaib.
Waktu teraweh, gw liat anak cowo, tetangga gw, di deketin mulu ama anak cewe yang umurnya jauh banget di bawahnya, dan ternyata dia sepupunya.
Dan entah mengapa, plot di FF ini langsung masuk aja ke kepala gw dan menuntut gw untuk menumpahkannya~^^

I don't Understand

ChaeYong’s scene

19 Desember 1998

Hari itu sangat cerah. Mungkin jadi hari yang paling cerah di musim dingin tahun ini. Setelah eomma mengikat rambut sepundakku membentuk ekor kuda, memasangkan jaket tebal ke badanku juga bots hangat yang menutupi kakiku, ia menggandengku keluar rumah untuk menyusul ayahku yang tengah menyiapkan mobilnya. Kami akan segera ke Seoul. Pertemuan keluarga.

Aku tidak mengerti apa itu pertemuan keluarga, karena waktu itu aku masih 7 tahun. Yang jelas ibu bilang aku akan bertemu dengan banyak teman disana. Di rumah bibi Song di Seoul.

Setelah entah berapa lamanya hingga aku tertidur di dalam mobil. Kami sampai di sebuah rumah dengan gaya rumah korea pada umumnya, namun dengan ukuran yang sedikit lebih besar. Berderet juga beberapa mobil di halaman rumah yang besar itu. Sepertinya anggota keluarga lain juga sudah datang. Kami turun dan bergegas masuk kedalam rumah itu. Benar saja, seisi rumah sudah ramai dengan beberapa orang dewasa dan anak-anak yang sebagian seumuran denganku. Namun ada beberapa juga sepertinya yang lebih besar. Mereka berkumpul dalam satu ruangan, namun tidak melakukan kegiatan yang sama.

Kulihat ibu terlebih dulu menyapa mereka seraya masuk dan menggandengku untuk memperkenalkanku pada mereka. Disusul ayah dengan senyum lebarnya langsung bergabung dengan gerombolan bapak-bapak yang kemudian menepuk-nepuk punggung ayah sambil tertawa-tawa. Jika dilihat dengan seksama, keluarga kami merupakan keluarga paling muda dalam keluarga besar ini. Namun aku tidak segera bergabung dengan anak-anak kecil yang kini entah sedang bercanda tentang apa. Aku masih malu-malu untuk bergabung dengan orang-orang yang untuk pertama kalinya aku lihat.

Namun ditengah obrolan para orang tua itu, tiba-tiba datang seorang anak laki-laki seumuran SMP membawa nampan berisi banyak makanan. Ia meletakkannya di meja dan seorang wanita yang adalah ibunya membantunya meletakkan makanan-makanan itu di atas meja. Ia menyapa semua orang disana setelahnya, juga padaku. Ia tersenyum cerah padaku sambil melambaikan tangannya. Aku tidak bergeming, hanya melihatnya tanpa berkedip. ‘Dia siapa?’ pikirku. Namun entah ia tahu aku masih malu untuk bergabung atau bagaimana, ia berjalan mendekatiku kemudian mengulurkan tangannya padaku.

“Song JoongKi imnida! Kau pasti ChaeYong kan?” ia mengajakku berkenalan.

Aku terbengong. Tidak segera membalas salamnya ataupun menjawab pertanyaannya. Bingung bagaimana ia bisa tahu namaku. Hingga ibu menggoyangkan tubuhku dan berkata, “JoongKi oppa menyapamu, Yongi-a! Ayo balas~!”

“N..ne! J..Jang ChaeYong imnida..~!” aku menjawab, namun tidak menjawab salamnya. Tapi kakak bernama Song JoongKi itu segera meraih tanganku dan menyalamiku dengan senyum lebar.

“Kita jadi teman baik ya, ChaeYong-a!” katanya mengakhiri perkenalan kami. Dan begitulah bagaimana aku bertermu dengan JoongKi oppa untuk pertama kalinya.

***

Aku segera akrab dengan JoongKi oppa, karena sepertinya hanya dia yang mau dekat-dekat denganku. Meski banyak saudara yang seumuran dengannya, tapi saat ia hendak pergi kemanapun, ia selalu mengajakku ikut serta.

Ia menggandengku kemanapun ia pergi, mengayunkan ayunan untukku, bermain game denganku, pokoknya apapun yang ia lakukan saat bermain-main selalu menyertakanku. Aku tak bisa lupa bagaimana suara tawanya saat itu, dan wajahnya yang benar-benar bahagia.

Namun disaat hari ketiga pertemuan keluarga sudah usai, dan seluruh keluarga harus pulang. Aku tidak pernah memikirkan akan ada saatnya meninggalkan tempat ini dan JoongKi oppa. Seperti layaknya anak kecil lain yang akan berpisah dengan orang yang sangat ia sukai, aku menangis habis-habis dan tidak mau melepaskan kaki JoongKi oppa yang kupeluk. Ibu, ayah, bibi, paman, bahkan JoongKi oppa membujuku untuk mau ikut ibu pulang ke Busan, tapi aku tetap tidak mau.

Hingga JoongKi oppa meraih tanganku dan berjongkok, kemudian berkata, “Kita tidak akan berpisah selamanya! Oppa janji akan datang ke rumahmu kapan-kapan, dan kita bisa main lagi! Oke?” katanya dengan senyum cerah yang menciptakan eye smile.

Meski masih terisak, aku diam. Dan dengan mudah mempercayai begitu saja apa yang dikatakan JoongKi oppa padaku. Ia kemudian menepuk kepalaku dan kembali berdiri kemudian mundur selangkah, berdiri bersebelahan dengan paman dan bibi Song. Ayah segera menggendongku dan melambaikan tangan pada paman, bibi dan JoongKi oppa. Oppa juga melambaikan tangan padaku dan mengucapkan “sampai jumpa” dengan ceria. Sepertinya berusaha menghentikan tangisku.

“Annyeong oppa~!” itu sapaan terakhirku sebelum kami masuk kedalam mobil dan pulang ke Busan. Menuju ke rumah yang sudah tiga hari kami tinggalkan itu.

***

“Aku pernah bertemu denganmu 7 tahun yang lalu!” katanya padaku dengan senyum tulus saat kami tengah rebahan di atas rumput di halaman belakang rumahku. Kami baru saja pulang dari berkeliling dengan sepeda. Oppa benar-benar menepati janjinya. Beberapa hari setelah tahun baru, ia datang berkunjung ke rumah dan menginap untuk beberapa hari. “Waktu itu kau masih sangat kecil! Sekecil ini!” lanjutnya sambil memperlihatkan semut yang merayap di tangannya.

“Benarkah aku sekecil itu?” tanyaku. Tanganku mengambil semut yang mendaki jarinya itu dan membiarkannya merayap di tanganku.

“Emh.. mungkin sedikit lebih besar!” katanya.

“Sebesar apa? Ulat?” tanyaku tanpa ekspresi.

“Pokoknya kamu masih kecil!” ia menyudahi argumen tentang ukuran badanku waktu itu. “Kamu baru saja keluar dari perut ibumu! Kau menangis keras sekali. Tapi ayah, ibu, bibi, paman dan aku malah tersenyum mendengar tangisanmu!” katanya.

“Kenapa tersenyum?” tanyaku yang sepertinya tidak begitu memperhatikan apa yang JoongKi oppa katakan. Mataku masih sibuk memperhatikan semut yang merayap mengelilingi jari-jariku.

“Karena anugrah Tuhan yang besar baru saja datang ke dunia ini!” katanya.

Aku tidak mengerti apa yang dikatakannya waktu itu. Bagaimana mungkin seorang anak kecil berumur 7 tahun mengerti dengan bahasa kiasan seperti itu. Namun entah bagaimana bisa, mulut kecilku waktu itu bisa menggumamkan sesuatu yang jika diingat lagi bisa membuatku sangat malu. “Jika aku besar nanti, aku ingin menjadi pengantin oppa!”

JoongKi oppa melirik ke arahku. Namun sepertinya ekspresi wajahnya tidak berubah sejak semula. “Kenapa?” hanya itu yang ia tanyakan.

“Karena oppa sangat baik padaku!” jawabku penuh dengan kepolosan seorang anak kecil. Tapi jika dipikirkan, bagaimana kita bisa menikahi seseorang hanya karena dia orang baik?

Keurae(begitu ya)?” katanya, dan matanya kembali melihat ke langit yang berwarna biru cerah dengan sedikit mega menghiasi. “Kalau begitu.. ayah juga baik! Kau tidak ingin menikah dengan ayah?” tanya oppa menggodaku.

Namun aku tidak menjawabnya. Hanya memperhatikan semut yang sama dengan yang sebelumnya.

***

Aku sangat menyukai oppa. Neomu neomu jhoamnida! Itulah mengapa perubahan penampilan pun segera terjadi saat aku berumur 8 tahun. Aku minta ibu memotong pendek rambutku, menyimpan semua aksesoris rambut, dan mengganti semua baju dan sepatuku yang feminim menjadi yang boys looks. Aku tidak mau memakai sepatu pantofel berwarna pink yang sebelumnya mungkin hampir setiap hari kupakai. Aku lebih memilih sepatu olah raga atau sepatu keds yang diberikan ayah belum lama ini. Aku juga tidak mau mengenakan rok lagi. Pokoknya semuanya berubah.

Jalan pikiran seorang anak kecil berumur 8 tahun mana ada yang tahu? Yang jelas saat itu aku hanya ingin meniru JoongKi oppa dan mengikuti JoongKi oppa kemanapun ia pergi. Jika oppa memakai kemeja biru, aku juga ikut pakai kemeja biru. Jika jongki oppa memakai running shoe, aku juga akan pakai running shoe. Bahkan saat itu jika aku ingin pipis, aku akan menyeret JoongKi oppa, memintanya mengantarkanku ke toilet pria. Namun ibu segera menggendongku dan membawaku masuk ke toilet wanita.

Aku pikir, jika aku ingin bersama JoongKi oppa, aku harus melakukan segala hal yang sama dengan oppa. Sampai aku juga ikut menyukai apa yang di sukai oppa.

Oppa sangat suka basket! Itulah kenapa semenjak SD kelas 4 aku minta ibu mendaftarkanku kedalam klub yang sama dengan JoongKi oppa. Dan sejak saat itu aku pindah ke Seoul, tinggal bersama bibi, paman, dan JoongKi oppa di rumah yang sama. Rumah pertama kali aku mengenal JoongKi oppa. Aku berlatih rutin bersama JoongKi oppa 3 kali seminggu di klub itu. Kami berangkat dengan sepeda, membawa tas besar berisi perlengkapan dan bola. Jika ada waktu senggang, kami akan bermain-main sendiri di lapangan outdoor kecil tak jauh dari rumah. Dan itu membuatku semakin baik dalam bermain basket, karena tidak hanya kami yang suka main-main di lapangan outdoor itu, tapi juga anak-anak streetball yang bahkan mengajariku melakukan freestyle.

Di tim kami sering di juluki sebagai couple emas, dan tidak ada yang berani melawan jika pelatih sudah membiarkan kami berlatih dalam satu tim. Pelatih memang suka membuat latihan campuran, tidak membedakan antara tim putra dan putri.

Rasanya aku jadi lebih bersemangat saat ia memuji apa yang aku lakukan. Oppa akan mengacak rambutku dan mengacungkan jempolnya, “Good Job!” Dan yang aku lakukan adalah nyengir lebar dan mengajaknya high five.

***

Musim gugur, 2006.

Pertandingan musim gugur tim putra akan mulai seminggu lagi, dan tim putra klub kami akan bertanding di hari pertama pertandingan melawan klub dari Gwangjoo. Dan seminggu terakhir ini tim putra klub kami jadi lebih giat berlatih. Hampir setiap hari mereka datang berlatih termasuk JoongKi oppa, dan aku datang untuk menyemangati mereka. Oke, menyemangati JoongKi oppa.

Baru sekali ini aku melihatnya berlatih dari pinggir lapangan, karena biasanya aku berada di tengah lapangan bersamanya. Dan JoongKi oppa benar-benar tampak sangat keren. Oke, aku baru menyadari sekarang bahwa ia sangat keren. Ekspresi wajah kecewanya saat ia gagal menyerang, tawa lepasnya saat ia berhasil, dan senyum lebarnya yang sangat tulus itu, tidak pernah berubah sejak kami bertemu.

“Hyung~! Daebak!” aku memuji permainannya saat ia kembali ke pinggir lapangan setelah pelatih menginstruksikan timnya untuk istirahat sebentar. Oke, jangan heran dengan panggilan hyung itu. Karena kini aku tampak seperti laki-laki, rasanya lebih nyaman memanggilnya seperti itu. Dan JoongKi oppa tenang-tenang saja. Ia menganggap ‘Hyung’ sebagai panggilan spesial dariku.

Aku melemparkan air minum dan handuk padanya. “Gomawo!” katanya padaku kemudian menyeka keringatnya yang bercucuran sembali meminum air mineralnya. “Mungkin kalau kau juga ikut, akan tambah daebak!” komentar JoongKi oppa sambil mengacak rambut pendekku.

“Ya~! Jangan mulai deh~!” protesku.

“Pelatih! Kenapa tidak membiarkannya ikut bertanding?” salah seorang anggota tim yang berambut pirang berteriak pada pelatih yang kini tengah menulis rencana strategi untuk timnya. Ia menoleh ke arah kami dan tersenyum lebar.

“Kalau bisa dia sudah aku masukkan!” jawabnya. Pelatih muda ini juga sering menggodaku. Menggoda tentang gender.

“Apanya yang tidak bisa? Dilihat darimanapun dia pria!” ia berteriak lagi dan menimbulkan tawa dari anggota yang lain, termasuk JoongKi oppa.

“YA!! Nan yeoja ieyo! Yeoja!! (Aku cewe tau! Cewe!!)”

Oke, pertengkaran seperti tidak akan berakhir dengan mudah!

---

Namun sebelum pertandingan tiba, entah bagaimana bisa, JoongKi oppa mengalami kecelakaan yang menyebabkan ia harus melepaskan impiannya yang sudah ia daki setengah jalan itu. Ia tidak bisa main basket lagi.

Ketika itu hujan sangat deras. JoongKi oppa mengendarai sepedanya dengan cepat dari kampusnya menuju ke rumah. Ia bahkan tidak memakai jas hujan. Mungkin karena pandangannya kabur saat mengendarai sepedanya, saat hendak menyebrang, ia tidak tahu ada mobil akan lewat dan entah bagaimana kronologis sebenarnya. Yang jelas, kaki JoongKi oppa tidak bisa sembuh seperti sedia kala. Padahal bagi seorang olahragawan, kaki adalah anggota tubuh yang berperan paling penting.

Aku tidak tega melihat JoongKi oppa menangis setiap malam di bangsal rumah sakit, memandangi kakinya yang diperban seperti itu dan mendengar apa yang dikatakan dokter tentang kakinya tidak boleh bekerja terlalu keras. Impiannya tentang basket sudah pupus saat itu juga. Pelatih juga sangat menyayangkan apa yang terjadi, tapi takdir memang tidak bisa di lawan. Meski ia menyesal bagaimanapun juga, waktu tidak akan bisa kembali ke saat kakinya masih baik-baik saja.

Dan sejak saat itu, rasanya ia seperti menaruh semua asanya tentang basket itu di pundakku. Ia memberikan bola basket dan beberapa kostumnya padaku, sepatu, dan semua yang bersangkutan dengan basket. Dan aku juga menjawabnya dengan berlatih lebih keras. Meski JoongKi oppa tidak ke lapangan outdoor bersamaku, meski ia tidak datang ke klub bersamaku, namun spiritnya membuatku merasa aku tidak akan mengecewakan JoongKi oppa. Benar-benar, aku tidak akan mengecewakannya.

ChaeYong’s scene END

***

Now

“Hyung, hati-hati!” ChaeYong memperingatkan kakak sepupunya itu saat ia hendak menaiki sepedanya. “Jangan sampai kakimu terluka~!” lanjutnya. Ia tampak sangat menjaga kakak sepupunya itu. Ia benar-benar tidak ingin kejadian beberapa tahun yang lalu itu terjadi lagi.

“Ya! Berhentilah memperlakukanku seperti orang cacat!” protes JoongKi, anak laki-laki itu dan membuat adik perempuannya itu mengkerut takut dan tidak berani memperingatkannya lagi.

Mian~(Maaf~)!”

JoongKi tersenyum kecil. “Oke! Hari ini kita naik bus saja!” ujar JoongKi tiba-tiba dan memarkirkan sepedanya kembali.

“He? Kenapa tiba-tiba?” tanya ChaeYong heran. Padahal sebelumnya JoongKi bersikeras ingin berangkat dengan sepeda.

“Ada satu member lagi yang akan ikut berangkat bersama kita!” jawab JoongKi sambil menunjuk ke arah pintu pagar dengan mengayunkan dagunya sedikit ke depan. ChaeYong menoleh ke arah yang sama.

“Chicken?” ChaeYong bergumam, namun sedikit keras. JoongKi terkekeh, kemudian merangkul adik perempuannya itu dan menariknya ke arah pintu pagar, dimana seorang anak laki-laki yang tampangnya hampir mirip dengan JoongKi, berdiri menunggu mereka.

“Jangan memanggilku seperti itu! Namaku bukan chicken!” katanya protes.

“Tapi kau raja ayam!” ChaeYong ngeyel, dan membuat si chicken yang nama sebenarnya adalah Lee JinKi itu menatap sinis padanya. Sedangkan JoongKi, tak bisa berhenti tertawa-tawa kecil mendengar perdebatan tidak penting kedua orang yang lebih muda darinya itu.

***

Hari ini adalah hari paling berarti untuk JoongKi, karena pameran fotografi pertamanya akan dilaksanakan hari ini. Yah, setelah ia rela berhenti dengan basket, ia berbelok menekuni seni fotografi. Hingga masuk ke sekolah seni di jurusan fotografi. Dan hari ini ia meminjam hall kampus untuk melaksanakan pameran pertamanya sejak ia lulus dari kampus.

ChaeYong datang, seperti biasa, karena ia sangat tidak ingin melewatkan saat-saat bahagia kakak tercintanya itu. Dan JinKi? Ia datang karena ChaeYong juga datang. Sejak mereka kenalan saat ChaeYong datang sebagai mahasiswa baru, dan JinKi berpikir ia laki-laki, mereka jadi sangat akrab hingga sekarang.

Upacara pembukaan sudah berlangsung, dan pita di depan pintu hall sudah di potong oleh JoongKi, saatnya seluruh pengunjung melihat karya yang dibanggakan oleh fotografer Song JoongKi.

“Wuah~ hyungnim berbakat~!” ujar JinKi saat melihat-lihat karya JoongKi bersama ChaeYong yang malah tidak bisa berkata-kata saking kagumnya. “Kalau dilihat seperti ini, ia juga tidak akan menyesal sudah meninggalkan basket!” JinKi sok tahu.

“Dia menyesal!” gumam ChaeYong. Ia berhenti di salah satu gambar foto yang mungkin menjadi favoritnya. Potret yang fokus pada sebuah bola basket yang  tergeletak di atas lantai kayu lapangan basket. Ia tahu kapan JoongKi mengambil foto ini, dan bagaimana ekspresi wajahnya saat itu. Membuatnya tidak tega mengantarnya kembali ke klub kenangannya itu. “Hyung sangat menyesal!” ulang ChaeYong dan membuat JinKi tidak bisa berkomentar apapun dan memilih diam.

Keadaan jadi membeku. Namun JinKi yang selalu bisa menghangatkan suasana itu segera merangkul ChaeYong. “Ke tempat JoongKi hyung yuk! Dia pasti kerepotan menyambut tamu sebanyak ini!” ajak JinKi dengan wajah cerianya seperti biasa. ChaeYong mengangguk mengiyakan.

JoongKi sedang berada di ruangan pertama, mengobrol dengan seorang dosen lamanya yang baru memberinya selamat. Namun tak lama kemudian dosen itu pergi untuk melihat-lihat karya mantan mahasiswanya itu.

JinKi dan ChaeYong hendak menyapa JoongKi setelah dosen itu pergi, namun hal itu mereka urungkan setelah melihat seorang gadis dengan tubuh tinggi langsing dan cantik datang menghampiri JoongKi dan membuat senyum JoongKi menjadi lebih lebar dari sebelumnya. Gadis itu, meski hanya mengenakan dress sederhana, sneaker warior se mata kaki, dan rambut yang di kuncir ekor kuda, make up nya juga tidak tebal tapi ia tetap bisa terlihat sangat cantik. Dan senyum JoongKi pada gadis itu yang membuat senyun ChaeYong yang sebelumnya terpasang di wajahnya itu segera menghilang tak berbekas.

“Yongi? Wae(ada apa)?” tanya JinKi heran. Ia tidak tahu perasaan ChaeYong, dan ia tidak mengerti kenapa ChaeYong tiba-tiba terdiam dengam tatapan nanar seperti itu. “Yongi??” panggilnya lagi. Namun gadis berambut pendek itu tidak bergeming. Masih diam dan memandang oppa nya tanpa berkedip.

***To Be Continue*** 

makasi yang udah mau baca dan jangan lupa bagi keluh kesahnya soal FF baru gw ini pada koom coment di bawah~^^
GAMSAHAMNIDA~!

-Keep Shine Like HIKARI-

4 comments:

  1. Like this story~ hope you will update soon ^__^

    ReplyDelete
  2. bagus ceritamu yang satu ini ^^ update yang cepat mbak :D
    kirain oneshoot :|

    ReplyDelete
  3. kkk~ gomawo~ tapi typos nya rung tak edit~kkk
    oke~ SIAP!^^
    kan ket wingi oneshot terus~ sekarang waktunya serial~^^

    ReplyDelete