Wednesday, September 26, 2012

[FANFIC] a Story of a Rabbit and an Ugly Duckling

Akibat kebanyakan dengerin lagu galau.. hha

The story of a Rabbit and an Ugly Duckling

pict credit to : blog.naver

Written by
LIGHT

Cast
Lee Jinki/ Jintokki (SHINee Onew), Choi Chaeyong/ Choi Ori

Rate
15

Genre
Friendship, Romance, Angst

Lenght
Oneshot

Music (kalo lagi pengen baca pake musik)
Deli Spice - Chau Chau
C.N.Blue - Teardrops in the Rain

Summary
Lee Jinki dan Choi Chaeyong adalah sahabat sejak Jinki pindah rumah ke sebelah rumah Chaeyong saat keduanya berada di bangku SMP. Mereka memiliki julukan yang dianggap mereka sendiri sebagai identitas. Jinki adalah Jintokki (tokki = kelinci) karena ia lembut seperti kelinci dan Chaeyong adalah Choi Ori (ori = bebek) tanpa alasan Jinki suka memanggilnya begitu.

=====

Pada suatu hari, hiduplah seekor kelinci jantan di suatu desa disebuah pulau kecil dimana semua hewan hidup rukun didalamnya. Ia kelinci tampan yang pintar dan cukup populer. Banyak orang mengenalnya dan menyukainya. Namun, kelinci itu menyukai seekor ayam betina cantik. Ayam paling cantik yang tinggal satu desa dengannya di pulau tersebut. Kelinci jantan itu terus mendekati si ayam betina, meskipun ayam itu tak pernah menoleh padanya meski hanya untuk membalas senyum sang kelinci. Meski begitu, kelinci itu tak gentar. Ia tetap tak melepaskan cintanya terhadap si ayam betina.

-토끼&오리-

"Choi Ori !" ia memanggilku. Cepat, aku segera menutup buku catatanku sebelum ia sempat membaca isinya. Aku berlagak seperti sedang tak mengerjakan apapun, padahal aku baru saja menuliskan sebuah ide untuk menulis sebuah dongeng untuk paper sekolah.

"J-Jintokki~! Annyeong!" sapaku canggung sambil melambaikan tanganku sedikit. Ia tersenyum lebar, kemudian duduk di sampingku. Ia menyodorkan satu botol susu pisang ke hadapanku. Tanpa perlu bertanya, aku sudah tahu untuk apa sebenarnya ia memberikan ini padaku.

"One step closer, kemajuan lagi hari ini! Aku satu kelompok sama dia waktu praktikum biologi sampe 2 minggu lagi!" cerita Jinki tanpa aku perlu menanyakan padanya. Dan sebenarnya aku sudah bisa menebaknya, namun aku tidak ingin menginterupsinya dengan ke sok tahuanku. Aku biarkan ia bercerita seperti biasanya, seolah-olah aku tak tahu dan penasaran dengan perkembangan hubungannya dengan gadis yang sedang ia dekati sekarang.

Aku tersenyum menyambut keberhasilannya satu langkah maju mendekati gadis itu. "Sampe sedekat ini kamu cuma ngasih susu botol? Emang aku bayi apa?" protesku, namun tetap menerima pemberiannya. Ia mengacak rambutku asal sambil nyengir bahagia hingga matanya yang sudah sipit itu kini benar-benar menghilang tak terlihat. "Chukkahae!" aku menambahkan, dan mulai menusukan sedotan susu itu, kemudian menyedotnya banyak-banyak.

"Rasanya kayak surga bisa kerja bareng satu kelompok sama dia.." Jinki menerawang, kemudian mengembalikan pandangannya ke arahku yang masih menyedot susu pisangku. "Aku seneng banget~!!" katanya kegirangan.

Aku tahu bagaimana bahagianya dia. Karena untuk pertama kalinya ia mendekati seorang gadis dan gadis itu terlihat memberikan lampu hijau kepadanya. Tampak menyambut baik kedatangan Jinki ke hatinya, meski kadang Jinki masih sedikit canggung saat berada dekat dengan gadis itu, namun dengan mudah gadis itu mencairkan suasana diantara mereka. Aku tahu gadis itu gadis baik, ia pintar, cantik, sederhana, dan.. mungkin aku sedikit malas untuk mengakuinya, tapi.. ia dan Jinki benar-benar.. serasi. Mungkin aku bingung jika mereka benar-benar bersama nanti. Aku harus bahagia atau sedih?

"Yha! Choi Chaeyong!" ia memanggilku, membangunkanku dari lamunanku sesaat. Aku menoleh cepat. Masih dalam posisi menyedot susu pisangku yang baru kusadari ternyata sudah habis.

"O-oh?"

"Mau makan nggak? Aku traktir nih! Malah ngelamun!" katanya.

Aku berpikir sejenak. Karena baru bangun dari lamunan, aku tidak bisa berpikir cepat. Otakku memproses sedikit lebih lama kalimat yang baru saja dikeluarkan Jinki padaku. "Oh.. i-iya! Aku ikut!" jawabku, kemudian mengikutinya yang sudah pergi duluan ke kantin untuk mentraktirku makan.

*

Aku mengetuk-ngetukan jariku di atas meja belajarku. Tak sedikitpun ide muncul di kepalaku untuk mengerjakan tugas menulis dongeng. Memang masih 3 hari lagi sebelum tugas harus di kumpulkan, tapi menulis dongeng itu tak segampang memasukkan angka kedalam rumus matematika. Membutuhkan ide dan mood yang pas untuk menghasilkan sebuah dongeng yang menarik. Namun entah kenapa akhir-akhir ini aku benar-benar tak bisa berkonsentrasi pada hal yang sebenarnya sangat aku sukai ini.

Aku bertopang dagu, memandang seantero meja belajarku dimana kuletakkan beberapa buku dan alat tulis disana. Ku ambil salah satu buku novel yang baru kemarin selesai aku baca. Membuka semua halamannya cepat dengan satu tangan saja, namun berhenti di satu halaman yang sepertinya aku batasi. Namun aku lupa untuk apa.

Ku gunakan kedua tanganku untuk membukanya kini, dan kulihat sebuah foto tersemat disana. Fotoku dengan Jinki saat liburan musim panas kemarin, kami pergi kepantai bersama keluarganya. Ku ambil foto itu, ku pandangi sejenak. Tak bisa kupungkiri bagaimana aku mengagumi senyum itu, itulah mengapa aku tersenyum sekarang. Seperti hipnotis, saat melihatnya tersenyum, membuatku ikut mengembangkan senyum di bibirku meskipun aku tak menginginkannya. Karena aku tak ingin dia tahu bagaimana perasaanku yang sebenarnya.

Ku balik foto itu, ada beberapa kalimat tertulis disana. Foto itu adalah kartu ucapan ulang tahunku, dan bersama foto itu, ia menghadiahkan novel ini untukku satu pekan yang lalu.

"Saengil chukkahae~! Let's be friend, sampai maut memisahkan kita! Saranghae chingu-ya! kkk -Lee Jin(to)kki-"

"Ckk.. Jinjja!" aku terkekeh sendiri membaca apa yang ia tuliskan untuk ulang tahunku. Ia terlalu polos untuk seorang Seonbaenim yang tahun ini sudah akan lulus dari SMA. Tapi aku suka Jinki yang seperti itu. Ya.. aku suka Jinki.. aku menyukainya. Dan pikiran itu segera melunturkan senyum yang semula terpasang di wajahku. Karena kalimat itu, aku tak bisa jujur padanya tentang perasaanku. Kata teman yang selalu dilontarkannya padaku membuatku berpikir tak akan ada peluang untuk memiliki hubungan lebih jauh dengannya. Ya, kami cuma teman. Dia memang hanya menganggapku teman sejak pertama kami berkenalan ketika ia pindah rumah bersama keluarganya ke sebelah rumahku. Sejak itu status kami tak pernah berubah. Lee Jinki dan Choi Chaeyong adalah teman.

*

"Aku akan menyatakannya besok!" ujar Jinki, mengagetkanku dan membuatku menyemburkan air mineral yang baru saja masuk ke mulutku. Untung aku tak mengenai seorangpun. Aku kaget setengah mati mendengar apa yang baru saja ia katakan padaku. Aku menatap kosong ke tanah, entah ia menyadari atau tidak betapa terkejutnya aku mendengar keputusannya itu. "G-gwaenchana?" Ia menepuk punggungku pelan, entah untuk apa. Atau mungkin ia pikir aku tersedak.

"O-oh! Gwaenchana!" jawabku. Kuusap sisa air yang ada dibibirku dengan punggung tanganku, kemudian menutup botol air mineralku sebelum mendongak dan bertanya padanya soal apa yang baru saja dibicarakan itu. "Kamu jauh-jauh dari kelas nyamperin aku yang lagi pelajaran olah raga cuma mau ngomong ini?" aku mengernyit. "Nggak bisa nunggu ntar waktu istirahat?" tanyaku.

"Aku pengen cepet-cepet cerita ke kamu, Choi Ori!" ia tersenyum lebar. "Rasanya masih belom tenang kalo kamu belom tau!"

Aku terdiam. Kalau begini, aku yang jadi tidak tenang. Ia akan pergi seratus langkah menjauhiku, menuju ke gadis dambaannya itu, dan aku tak melakukan apapun tentang perasaanku. Mendadak egoku meluap. Aku merasa marah mendengar apa yang ia katakan. Namun aku tidak ingin ia balik marah padaku, makanya aku menekannya dengan sekuat tenaga teriakan yang sebenarnya ingin aku keluarkan untuknya.

"Umh.. berjuang deh! Aku doain kamu berhasil, Tokki-a!" Andwe~! Jebal! Jangan nyatakan perasaanmu padanya! Sebenarnya ini yang ingin aku katakan padanya. "Kalo aku liat sih, dia juga suka sama kamu!" Jangan please! Aku mohon!

Ia menepuk bahuku dengan wajah penuh semangat. "Emang nggak salah aku punya temen kayak kamu! Makasih ya! Choi Ori!" katanya. Aku tersenyum membalasnya, karena itu satu-satunya yang bisa aku lakukan untuk saat ini.

Sebenarnya aku ingin ia disini lebih lama, ingin mengobrol lebih banyak dengannya, sebelum nantinya ia akan menghabiskan waktu lebih banyak dengan gadis itu. Entah kenapa tiba-tiba saja aku merasa waktu kami menjadi sangat sempit. Namun aku mendengar guru olah raga berteriak pada kami dari lapangan sepak bola. Memanggilku karena kini giliranku untuk penilaian lari, dan memperingatkan Jinki untuk segera kembali ke kelasnya dan tidak menggangguku yang sedang mengikuti pelajaran olah raga. Dan disaat ia pergi, aku merasa kami benar-benar jauh.

Ketika aku sudah kembali bersama teman-temanku yang berdiri di sekitar garis start lintasan lari, aku menoleh kearahnya yang tengah berlari ke arah gedung sekolah untuk kembali ke kelasnya. Saat melihat punggung itu, entah kenapa aku merasa sangat jauh dengannya.

*

Aku baru akan terbang ke dunia mimpiku saat seseorang menggoyangkan badanku dan membuatku kembali ke alam nyata. Ku dongakkan kepalaku, melihat siapa yang baru saja membangunkanku dari tidur siangku disaat jam istirahat sekolah. Kudapati Kibeom, teman sekelasku, berdiri di samping mejaku sambil terus menggoyang-goyangkan badanku yang sudah mulai terbangun. "Chaeyong-a! Kamu nggak ingin lihat itu?" katanya padaku sambil menunjuk keluar kelas dengan jari telunjuk tangan kanannya yang tidak menggoyangkan badanku yang masih setengah sadar ini.

"Mwohae?" tanyaku malas.

"Lee Jinki seonbaenim!" satu kalimat yang baru saja keluar dari mulutnya itu langsung membuatku terperanjat. Aku baru ingat ia akan menyatakan perasaannya pada gadis itu hari ini. Aku diam terpaku, sementara Kibeom masih terus bicara sambil berusaha membuatku tersaar 100%. Padahal kini aku sudah benar-benar bangun. "Dia nembak cewe didepan kelas kita!" dan itu membuatku cukup tak bisa bernafas.

Kibeom menarikku bangkit untuk segera bergabung dengan teman-teman sekelasku yang lain yang kini tengah menonton sambil berseru menyemangati Jinki dan gadis itu. Aku sampai disana tepat setelah ia menyatakan perasaannya pada gadis itu. Ia tersenyum lebar, begitu pula gadis di hadapannya itu. Aku tak tahu apa yang dikatakannya untuk menyatakan perasaannya, tapi aku tak peduli. Mendengarnya ataupun tidak, itu sama saja. Karena kalimat itu bukan untukku.

"Eo-eotte?" Jinki bicara, hampir seperti gumaman. Kerumunan pun makin riuh meneriakkan semangat mereka untuk gadis itu. Semua ingin gadis itu menerimanya. Apakah memang ini cara Jinki agar gadis itu tak menolaknya? Dengan menyatakannya di ruang publik yang semua orang bisa melihatnya? Kegilaan apa yang dipikirkannya sehingga ia bisa berbuat seperti ini? Ini seperti.. bukan Jinki.

Aku melihat anggukan. Gadis itu mengangguk dengan wajah berseri dan sedikit malu-malu. Ia tidak memandang Jinki. Sorot matanya terus mengarah ke lantai. Ia menggigit bibirnya untuk menahan senyum berlebihan. Jinki tersenyum semakin lebar. Senyum yang awalnya kusukai itu kini terasa memuakkan. Jika aku berani, aku akan maju memisahkan mereka dan memukul Jinki sampai mati. Tapi aku hanya melakukan itu dipikiranku sendiri. Aku tak memiliki keberanian untuk benar-benar melakukannya.

Jinki melangkah maju, kemudian memeluknya dengan raut wajah yang sama. Bahagia. Dan berjarak beberapa meter, disini, berdiri Choi Chaeyong dengan pandangan mengarah kepada dua orang itu dengan perasaan hampa. Rasanya seperti hatiku di cabut dari tempatnya, dibanting, dan digilas sampai tak berbekas sama sekali. Saking sakitnya sampai aku tak merasakan apapun.

Kudengar Kibeom bicara padaku, namun aku tak tahu apa yang ia bicarakan. Yang bisa kudengar darinya hanya satu kata. Jinki. Membuatku kesusahan untuk bergerak cepat menata hatiku kembali. Agar disaat aku bertemu dengannya lagi nanti, aku tidak akan kalap dan mengamuk padanya karena kejadian ini.

*

"Jinjja gwaenchana?" tanya Jinki di telepon. Ya, dengan kepolosannya dia kembali mempersulitku untuk kembali ke keadaan semula. Hari ini aku tak datang ke tempat dimana seharusnya aku bertemu dengannya. Sebenarnya ia ingin mengajaku makan untuk merayakan bahwa ia baru diterima oleh gadis pujaannya, kakak kelasku itu. Tapi.. aku belum bisa menemuinya untuk sekarang.

Aku berdehem karena merasa tenggorokanku sedikit serak, kemudian berlagak tidak terjadi apa-apa padaku sebelum aku menjawab pertanyaannya melalui ponsel. "Gwaenchanayo! Aku cuma lagi dapet ide buat PR dongeng besok! Jadi cepet-cepet aku kerjain, keburu lupa!" jawabku berbohong, karena sebenarnya tak pernah ada ide sama sekali di otakku sejak awal. Jinki yang bodoh itu menghancurkan semuanya. Mengoyak isi kepalaku dan menempelkan stiker bertuliskan LEE JINKI ke seluruh bagian memoriku. "Jadi sori aku ga bisa datang~! Kamu rayain aja sama cewe baru mu itu! Aku ga mau ganggu dulu..!" lanjutku sok menggodanya.

Aku dengar ia terkekeh, bisa kubayangkan kini wajahnya memerah. Aku tersenyum kecil mendengarnya. Setidaknya aku masih bisa membuatnya senang. "Tapi janji ya, besok kamu harus datang! Ada resto ayam baru di deket stasiun yang mau aku tunjukin ke kamu! Masakannya enak lho! Jadi kamu harus ikut, nggak ada alasan lagi!" katanya.

"Oh! Janji deh aku ikut!" jawabku menenangkannya.

"Tapi benerkan kamu nggak apa-apa? Aku pikir kamu sakit!" katanya. Aku senang, setidaknya ia masih mengkhawatirkanku.

Aku mengangguk meski aku tahu ia tidak akan melihatnya. "Aku nggak apa-apa, Jintokki-nim! Tenang aja! Kamu senang-senang ya! Jangan mainan ponsel dulu sebelum date kalian kelar! Arra??" aku menyemangatinya. Setidaknya hanya itu yang bisa aku lakukan untuknya. Ia mengiyakan perkataanku dengan kekehan kecil setelahnya. "Oke, aku tutup ya!" ujarku, kemudian memutuskan sambungan telepon kami.

Kuturunkan ponsel itu dari telingaku, memandangi screen ponselku. Terpampang fotoku dengannya yang sejak kelas 1 SMA tak pernah kuganti. Foto saat hari pertama aku masuk ke SMA yang sama dengan Jinki. Setelah pulang sekolah, kami merayakan keberhasilanku di sebuah restoran ayam kesukaannya. Kuhela nafasku pelan. Disaat itu adalah saat pertama aku menyadari aku menyukainya. Ia terlihat keren mengenakan seragam SMA nya (yang sebenarnya aku juga sudah melihatnya beberapa kali saat ia masih berada di kelas 1). Melihat bagaimana ia belajar di perpustakaan, bercanda dengan beberapa temannya di kantin, serius dengan pekerjaannya di laboratorium astronomi, dan hal lain yang tak ku ketahui yang membuatku bisa menyatakan bahwa aku menyukainya.

Kututup layar ponsel itu, dan membantingnya asal ke ranjang sebelum kemudian kubanting diriku sendiri keatas kursi belajar. Menggesernya dan dengan segera menghadap ke meja belajar. Kertas di hadapanku masih kosong. Hanya ada bekas coretan pensil yang sudah kuhapus dengan penghapus karet.

Aku menunduk sementara kedua tanganku mengacak rambut pendekku dengan asal. Sesaat, terbersit sebuah pikiran, apakah mungkin karena rambutku pendek, ia tidak menyukaiku? Apa karena aku tidak cantik? Apa karena aku tak pernah memakai rok? Apa karena aku tak terlihat seperti seorang gadis di hadapannya? Aku mengacak rambutku makin kuat, kemudian menjambak-jambak rambutku sendiri hingga tak tahu lagi seperti apa rupaku sekarang. Aku muak. Aku hancur. Tapi aku tak bisa melepaskannya. Aku tak bisa berteriak-teriak karena tak ingin membuat ibuku khawatir. Aku tak bisa menangis karena aku bukan orang yang mudah menangis karena hal seperti itu. Tapi disaat seperti ini aku ingin merasa lemah seperti gadis-gadis lain yang bisa menangis karena perasaannya.

Dan sejenak ide pun melintas di pikiranku. Tanganku berhenti menyiksa rambutku sendiri. Aku membuka mataku. Dari sebuah ide kecil, mendadak otakku dipenuhi dengan sebuah cerita dongeng yang hampir lengkap. Seperti air, setiap kalimat mengalir begitu saja masuk ke otakku tanpa berhenti hingga rasanya kepalaku akan meledak karena terlalu penuh.

Segera kuambil pensilku dan kutuliskan setiap kata yang ada di pikiranku. Kususun sebaik mungkin menjadi sebuah cerita dongeng yang mungkin agak ekstrim untuk disebut sebagai dongeng. Karena aku tahu, anak kecil tak mungkin membaca cerita seperti ini. Tapi.. untuk sekali ini, aku merasa harus berterima kasih pada Jinki telah melakukan ini padaku.

*

Author's Point of View

"Gimana PR nya? Dapet bagus?" tanya Jinki setelah Chaeyong muncul dan mereka berjalan pulang sama-sama. Pacarnya tidak ikut karena ada sedikit keperluan dengan klub sainsnya. Lagi pula hari ini ia akan mengajak sahabatnya itu pergi makan ke restoran ayam yang ingin ditunjukkannya pada gadis itu.

"Kata saem aku ada bakat nulis! Tapi yang kali ini nggak pada tempatnya!" jawab Chaeyong sambil nyengir setelahnya. Jinki tak mengerti apa maksudnya, yang ia tahu hanya gurunya itu benar. Ia tahu bahwa Chaeyong pandai menulis. Mungkin karena itu satu-satunya hal yang paling mahir ia lakukan sampai saat ini.

"Maksudnya?"

"Udahlah..! Kita langsung aja yuk ke tempat makannya itu! Aku udah laper nih, Jintokki~!" ujarnya riang, seakan tak pernah terjadi apapun padanya sebelumnya. Chaeyong berjalan mendahului Jinki, kemudian berbalik setelah sebelumnya berhenti beberapa meter di depan Jinki. "Yang terakhir sampe di gerbang dia bebek jelek!" teriaknya kekanakan, kemudian berbalik dan berlari menyusuri lorong tanpa peduli apakah Jinki mengikutinya, sementara bocah laki-laki kelas 3 SMA itu hanya tertawa melihat kelakuan hoobaenim nya itu.

Disaat Chaeyong berlari, ia tak sadar sesuatu baru jatuh dari dalam buku catatan yang ia bawa di tangannya. Jinki yang awalnya mengikutinya hanya dengan berjalan, mendadak mempercepat langkahnya untuk menghampiri lembaran kertas yang baru jatuh ke lantai kayu lorong sekolah itu. "Yha! Choi Ori! Kertasmu nih! Ckk.. ceroboh banget sih, dasar!" Jinki tersenyum tipis seraya memungut selembar kertas itu. Ia menegakkan tubuhnya, kemudian membacanya. "Kisah se ekor kelinci dan bebek buruk rupa..?" gumamnya membaca judul tulisan itu.

Entah kenapa ia merasa ada sesuatu yang tak enak setelah membaca lembaran kertas yang merupakan tugas milik Chaeyong itu. Masih ditempat yang sama, Jinki melanjutkan membaca ceritanya..

Pada suatu hari, hiduplah seekor Kelinci jantan di suatu desa disebuah pulau kecil dimana semua hewan hidup rukun didalamnya. Ia Kelinci tampan yang pintar dan cukup populer. Banyak satwa lain mengenalnya dan menyukainya. Namun, Kelinci itu menyukai seekor Ayam betina cantik. Ayam paling cantik yang tinggal satu desa dengannya di pulau tersebut. Kelinci jantan itu terus mendekati si Ayam betina, meskipun Ayam itu tak pernah menoleh padanya meski hanya untuk membalas senyum sang Kelinci. Meski begitu, Kelinci itu tak gentar. Ia tetap tak melepaskan cintanya terhadap si Ayam betina.

Namun, ia tak tahu bahwa ada seekor Bebek menyukainya. Seekor Bebek buruk rupa, teman dekat si Kelinci jantan yang setiap hari bermain dengannya. Mereka menjadi teman sejak kecil, dan Bebek buruk rupa itu sudah menyukai si Kelinci jantan sejak lama. Hanya sang Kelinci itu yang mau berteman dengan Bebek buruk rupa meski Bebek itu sama sekali tidak cantik. Karena itu si Bebek buruk rupa tak pernah menyatakan perasaannya pada sang Kelinci. Ia takut persahabatannya dengan si Kelinci itu akan rusak karena perasaannya, karena mungkin Kelinci jantan itu tidak bisa membalas perasaannya. Bebek buruk rupa itu memilih untuk menyembunyikan perasaannya. Meski ia harus menahan sakit karena terus mendengar cerita tentang Ayam betina cantik dari si Kelinci jantan. Si Bebek buruk rupa harus terus memasang senyumnya meski sebenarnya hatinya benar-benar tidak bisa tersenyum.

Pada suatu ketika, si Kelinci berkata pada si Bebek buruk rupa. "Aku akan menyatakan perasaanku pada Ayam!" katanya dengan gagah. Si Bebek buruk rupa tersenyum kepadanya, kemudian berkata, "Berjuanglah! Aku rasa Ayam juga menyukaimu!" Namun si Kelinci tidak tahu bahwa sebenarnya Si Bebek buruk rupa sedang bertempur mengalahkan egonya sendiri agar ia bisa menyembunyikan perasaannya.

Hari yang di nantikan pun tiba. Di suatu pagi yang cerah, Si Kelinci bertemu dengan Sang Ayam cantik di depan rumahnya. Ia menyapanya, kemudian segera menyatakan perasannya pada Si Ayam. "Wahai Ayam, sudah sejak lama aku melihat dan mengenalmu, dan aku menyukaimu!" katanya pada Ayam yang segera tersipu malu. Ia makin terlihat cantik karena pipinya yang menjadi semu merah. "Apakah kau mau menjadi kekasih Kelinci kotor ini?" katanya. Sang Ayam tersenyum, namun tak begitu lama ia menganggukkan kepalanya, menerima cinta dari Si Kelinci, dan mulai saat itu ia menjadi sepasang kekasih.

Si Bebek buruk rupa tahu soal itu. Di hadapan sang Kelinci, ia terlihat ikut bahagia, ia mendukung hubungan sahabatnya itu dengan Si Ayam. Namun tanpa diketahui oleh Kelinci, Si Bebek buruk rupa sebenarnya merasa sangat sedih karena Kelinci yang dicintainya kini bersama dengan Ayam. Namun meski begitu, ia tetap mendukung Kelinci dan Ayam karena bagaimanapun ia adalah teman si Kelinci. Ya, Si Kelinci dan Bebek buruk rupa adalah teman.

-Selesai-

Tak ada satu katapun yang bisa diucapkan oleh Jinki setelah membaca dongeng yang menjadi tugas Chaeyong dengan nilai 85 di sudut kertasnya itu. Meskipun ditulis dalam bentuk dongeng fabel, ia tahu betul siapa sebenarnya tokoh-tokoh yang ada didalam cerita ini. Si Kelinci itu, Bebek buruk rupa, dan Ayam yang dicintai oleh si Kelinci, ia tahu siapa yang dimaksud oleh Chaeyong. Dan ia baru mengerti tentang perasaan si Bebek itu, Choi Ori, Choi Chaeyong, terhadapnya selama ini. Namun gadis itu sangat berhasil menyembunyikannya hingga Jinki tak tahu sama sekali bahwa gadis itu menyukainya.

Jinki meremas bagian kertas yang dipegangnya hingga sedikit koyak. Entah kenapa ia merasa menyesal sudah membacanya. Ia memang tak menyukai Chaeyong sebagaimana gadis itu menyukainya. Ia hanya menyukai gadis itu karena Chaeyong adalah teman yang baik dan menyenangkan. Tapi membaca cerita yang dituliskan gadis itu membuatnya menyadari kenapa belakangan ini ia memiliki ekspresi yang tidak begitu menyenangkan ketika keduanya bertemu. Keceriaannya sedikit palsu. Senyumnya terlihat di paksakan. Dan ia sadar kenapa kemarin Chaeyong tiba-tiba membatalkan janjinya. Kini ia tahu, Chaeyong tidak dalam keadaan baik-baik saja.

Jinki mendongak, menatap lurus kedepan, kearah lorong panjang di hadapannya yang mulai sepi dari siswa. Chaeyong sudah tak terlihat lagi di sekitar sana. Mungkin ia sudah di bawah, menunggunya keluar dan akan meneriakkan "Jinki bebek jelek!" kemudian tertawa terbahak-bahak. Namun Jinki tak bisa tersenyum sama sekali membayangkan hal itu. Ia malah merasa sakit membayangkan bagaimana Chaeyong mati-matian menyembunyikan perasaannya selama ini. Ia merasa sangat bersalah.

Namun ia tak mau membiarkannya. Ia harus belagak seperti tak tahu apa-apa. Ia menepuk kedua pipinya, menarik nafas sejenak, kemudian segera berlari menyusul Chaeyong yang sudah cukup lama menunggunya di bawah. Dan ketika ia menemukan gadis itu, ia benar-benar berakting seperti biasanya. Menjadi teman yang menyenangkan bagi gadis itu. Meski dalam hatinya ia terus berkata, "Chaeyong-a, Mianhae.."

*END*

comment juseyo~^^

-Keep Shine Like HIKARI-

6 comments:

  1. gimme moreeee XD lanjut wae sequel

    ReplyDelete
    Replies
    1. akhirnya dirimu muncul lagi disini.. hahaha
      sekuel piye? semua sudah berakhir dengan patah hati.. hahaha
      iki hampir curhat e ceritane~hh

      thx btw^^

      Delete
  2. what? Cuma mianhae doank? Ish.. Keji bgt kykny.. Trus kertasny ga d balikin? Trus chae ori ny ga shock krn jinki bc tugasny? Trus jinki ga mulai berubah perasaannya? Hadeh..

    emang lw bertepuk sbelah tangan ama sapa? >____>

    ada 1 typo d daerah atas.. Guw lupa dmana..

    ceritany bgus, jleb, makgrenyem, menohok apalah pokokny yg galo galo.. Ith dongeng emang extreem bgt, kalo d bacain k anak kecil tar malah ga bsa tdr.. Kkk~

    guw pen nampol jintokki neh.. Xp

    ReplyDelete
    Replies
    1. kenapa km nanyain hal2 yang ga ditulis sih?? yang jelas ori ga tau kalo tokki udah tau perasaannya.. dari pada persahabatan mereka jadi canggung, ya tokki nyimpen aja semuanya~

      hhh

      thx btw~^^

      Delete