Tuesday, October 30, 2012

[Fanfic] The Ending (Another Version of Classic)

Oke, kali ini aku nggak akan ngerilis(?) ff ku sendiri..
Tapi ff temen mau numpang rilis disini.. hehe :p
(dan blog ku bakal numpang tenar seandainya fans-fansnya banyak yang maen kesini ya? haha..)

Ini ff pertamanya, dan temanya sama ama ff yang aku rilis sehari yang lalu, Classic
Kalo menurutku sih, ini versi panjangnya Classic, karena kurang lebih inti ceritanya adalah sama :))
Bisa dibilang, versi lainnya lah..

The Ending

by : Arini Putri
(Writer of Goodbye Happiness)


“Yoogeun-ah, kau mau susu rasa strawberry atau pisang?” seruku sambil mengangkat kedua kotak susu itu tinggi-tinggi. Yoogeun berlari ke arahku, masih dengan bola biru di tangannya, meraih susu rasa pisang yang selalu jadi favoritnya.

Gomawoyo,” ucapnya sembari menunjukkan senyum manis yang membuat kedua pipi gembulnya naik ke atas. Kucubit pipinya dan berkata dengan lembut, “Mainnya jangan jauh-jauh, ya.” Yoogeun mengangguk dan kembali berlari, kini dengan bola dan sekotak susu pisang.

Aku duduk di salah satu kursi dan menatap tubuh mungil itu lekat-lekat. Semua orang yang melihat Yoogeun selalu berkata betapa miripnya dia dengan ayahnya. Tapi setiap aku menatapnya, aku selalu menemukan ekspresi ibunya di sana. Cara yoogeun tersenyum, menunduk sambil mengerucutkan bibir saat malu, suara tawanya begitu mirip dengan ibunya. Apa tak ada yang menyadari hal itu selain aku?

“Minhyukie!” Aku menoleh dan tersenyum seketika saat menemukannya. Tidak ada orang lain yang memanggilku seperti itu selain dirinya. Dia yang memilki senyum dan tawa yang sama dengan yoogeun, yang selalu menunduk dan mengerucutkan bibirnya saat malu. Dia yang selalu membuatku mengembangkan senyum tanpa sadar.

“Aku bawakan tuna kimbab untuk kalian,” ujarnya riang. Dia mengambil posisi duduk di sampingku dan membuka tempat makan yang dia bawa. “Cobalah. Ini kesuakaanmu, kan?”

Aku segera mencomot satu dan mengunyahnya perlahan. Aku tersenyum ke arahnya, memberi isyarat bahwa masakannya enak. “Yoogeun, ayo ke sini. Eomma datang membawa kimbab!” seru memanggil Yoogeun yang masih berlarian tanpa lelah.

Pemandangan seperti ini begitu menyenangkan untuk dilihat. Dia duduk di sampingku, membawa sekotak tuna kimbab kesukaanku, sementara Yoogeun berlari dengan semangat ke arah. Semua orang yang melihat kami akan mengatakan bahwa kami adalah keluarga bahagia.

Eomma, Appa neun eodisseo?” tanya Yoogeun saat berjalan menuju pangkuannya.

Senyumku memudar perlahan saat mendengar pertanyaan Yoogeun. Seperti ditarik dari alam mimpi dan terjatuh di dunia nyata. Semua kenyataan yang sudah kuketahui sejak awal tiba-tiba saja terasa begitu menyesakkan. Aku menatapnya yang tersenyum tipis sembari membawa Yoogeun ke pangkuannya. Apa ada yang lebih cantik lagi dari senyuman itu? “Appa sedang ada pekerjaan. Nanti, Appa bilang, dia akan pulang membawa kaos power rangers. Yoogeun mau?” ucapnya, berusaha menjelaskan pada Yoogeun.

Perlahan aku ikut tersenyum melihat mereka berdua. Seakan tak ada pemandangan lain yang lebih indah dari mereka berdua di sini. Penyesalan yang telah lama kukubur dalam-dalam kembali naik ke permukaan. Kata seandainya kembali memenuhi pikiranku. Seandainya aku bisa memberanikan diri untuk jujur padanya saat itu. Seandainya aku tak mengalah begitu saja pada Minho. Seandainya wanita di sampingku ini tahu perasaanku padanya. Mungkin sekarang panggilan ‘appa’ itu akan ditujukan untukku. Mungkin wanita ini menjadi milikku dan menghabiskan seluruh harinya bersamaku. Atau…dia akan menjauh dariku hingga aku tak dapat melihat wajah polosnya lagi, hal yang paling kutakutkan sepanjang hidupku.

*

Aku masih mengingat dengan jelas hari itu. Saat sahabat terbaikku itu berlari kecil dan duduk tepat di sampingku, seperti biasa. Aku sedang menikmati rotiku tanpa memperkirakan ucapannya nanti akan membuatku tak pernah beranjak dari posisiku saat ini, sahabat. Dia bertanya padaku, apa aku mengenal Choi Minho yang pintar olah raga itu? Aku menjawab dengan santai bahwa aku mengenalnya, tapi tidak dekat. Kemudian dengan bersemangat dia bercerita bahwa Choi Minho itu telah menolongnya saat terjatuh dan menggendongnya ke UKS. Terdengar seperti drama televisi yang memalukan di telingaku, namun dia dengan senyum lebarnya menunjukkan bekas luka yang diobati Minho. Kedua matanya berbinar-binar saat itu, persis seperti saat dia bercerita tentang novel romantis yang baru selesai dia baca.

“Dia sangat populer, ya?” tanyanya dengan nada yang melemah. Aku mengiyakan pertanyaan tanpa berpikir panjang. Choi Minho memang sangat populer di sekolah kami. Banyak gadis yang rela mengantri untuk menjadi kekasihnya.

“Tapi dia menolongku,” ujarnya dengan nada penuh harap. “Dia sangat baik padaku.” Roti yang kukunyah tiba-tiba saja terasa berat untuk kutelan. Aku menatap sahabatku yang kini menunduk dengan pandangan menerawang. Saat itu aku tahu, dia juga telah menjadi salah satu gadis yang mengantri di barisan Choi Minho.

Hari itu aku kembali berbagi roti dengannya. Dia tertawa untuk leluconku dan tanganku dengan bebas dapat mengacak rambutnya seperti biasa. Aku tak pernah menyangka, hari itu adalah hari terakhir kisah kami berjalan. Karena hari berikutnya, yang ada adalah kisah mereka, kisahnya dan Choi Minho.

*

Aku tidak tahu harus bangga atau sedih berada di posisi ini. Tapi aku lah orang pertama yang tahu segala hal tentang perasaannya. Aku satu-satunya yang tahu sebelum kencan pertamanya dengan Minho, dia sibuk membubuhkan masker semalaman. Aku orang pertama yang tahu bagaimana perasaannya saat pertama kali Minho mengenggam tangannya. Aku juga orang pertama yang dihubunginya saat Minho menyatakan cinta padanya. Tapi dia tidak pernah tahu, aku juga orang pertama yang menangis diam-diam karenanya.

Hari itu ramen yang kumakan terasa lebih pedas dari biasanya. Saat dia menelponku dan mengatakan bahwa Minho telah melamarnya. Aku berasaha tertawa dan mengucapkan selamat setulus yang aku bisa. Ramen ditenggorokanku tiba-tiba terasa terlalu besar untuk ditelan dan membuat dadaku sesak. Air mataku mengalir tanpa permisi membuat petugas di minimarket menatapku dengan aneh. Aku mengatakan padanya bahwa ramen yang kumakan terlalu pedas. Beberapa detik kemudian, aku menunduk, membenamkan seluruh wajahku di balik lengan dan terisak di sana, seperti anak kecil.

Sejak lama aku mempersiapkan diriku bahwa hari seperti ini akan datang. Tapi aku tak menyangka kisahnya dan Choi Minho berjalan secepat ini. Pada akhirnya hatiku tetap saja terasa perih. Pikiran gilaku mulai menginginkan hal aneh seperti mesin waktu untuk menarik kembali kejadian ini dan membiarkan hari berjalan di saat hanya ada aku dan dia. Saat kebersamaan kami adalah satu-satunya hal yang membuat kami tertawa bahagia.

*

Senyum dan tawanya adalah energiku setiap hari. Aku tak bisa membayangkan hidupku tanpa dua hal itu. Mungkin rasanya seperti hidup di ruang hampa. Aku telah terbiasa dengan debar-debar yang memenuhi dadaku saat menatapnya. Aku juga mulai terbiasa dengan rasa sakit yang menusuk saat aku melihatnya bersama suami yang dia cintai, Choi Minho. Maka aku tak beranjak sedikitpun dari posisiku sejak dulu, sahabat terbaiknya.

Setiap hari dia menelponku, menceritakan harinya bersama Minho, membuatku merasa terikat penuh saat mendengar suara manjanya. Namun aku menikmatinya, perlahan aku menikmati ikatan menyakitkan ini. Seperti orang bodoh, aku menikmati setiap tetes air mata yang mengalir saat penyesalan itu kembali muncul.

Aku masih mengingat suaranya saat itu. Saat dia bercerita tentang kehamilannya. Saat itu aku tak tahu harus bereaksi apa. Seharusnya aku bahagia, menjadi seorang Ibu yang baik adalah impiannya sejak kecil. Namun saat itu ada rasa benci yang tak dapat kutahan. Perutnya yang semakin membesar terus menegaskan bahwa dia bukan milikku. Aku hanyalah sahabat yang selalu menempel di sampingnya dan menjadi tempat sampah baginya. Namun bagiku inilah posisiku tertinggi yang bisa kuharapkan. Apa lagi yang bisa kuharapkan?

*

Dia benar-benar menceritakan segalanya. Dia bahkan menceritakan saat-saat pertengkarannya dengan Minho. Saat dia marah karena Minho terlalu sibuk dengan pekerjaannya. “Setiap hari dia selalu dikelilingi perempuan cantik. Bagaimana aku tidak kesal?” Aku tertawa pelan saat mendengar keluhannya. Dia masih tak berubah sejak dulu. Walaupun dia telah bersuami, telah menjadi ibu dari satu anak, dia tetap sahabatku yang kekanak-kanakan. Aku dengan sabar memberi penjelasan padanya. Aku juga ikut menertawakannya saat dia bercerita betapa malu dan canggungnya dia saat Minho tiba-tiba bersikap romantis. Dia benar-benar tak berubah. Mungkin karena itu perasaanku juga sulit untuk berubah.

Hari itu, entah apa yang merasukiku, kutelpon Minho. Mungkin karena malam sebelumnya dia menelponku dengan suara nyaris menangis. Dia berkata dia mulai takut Minho tidak mencintainya lagi. Dia tidak secantik wanita lain, tidak romantis dan selalu canggung, pikiran aneh itu menghantuinya dan membuatnya cemas. Aku tahu semua itu hanya ketakutan tanpa alasannya, namun mendengar suaranya seperti itu membuatku ikut takut. Aku takut dia tersakiti, aku takut dia terluka, aku takut dia menangis karena aku tak suka hal itu. Maka semua rasa takut itu mendorong keberanianku untuk mengatakan pesanku satu-satunya pada Minho.

“Jangan pernah sakiti dia. Jaga dia baik-baik, Choi Minho. Dia sangat mencintaimu,” ucapku dengan tegas.

Namun kalimat balasan dari Minho juga tak kalah tegas, membuatku membeku. “Aku tahu itu, Kang Minhyuk. Kau tak perlu mengkhawatirkannya,” jawabnya dengan nada menekan. “Kau memang sahabat terbaiknya, tapi kau tak perlu terus mengkhawatirkannya. Rasa cintaku cukup untuknya. Aku juga sangat mencintainya.”

Aku terdiam mendengarnya. Ucapan Minho seperti pedang yang dia hunuskan ke arahku tiba-tiba. Aku tahu, aku bukan satu-satunya yang mencintainya, bahkan rasa cinta Minho mungkin saja lebih besar. Lalu sekarang apa lagi yang bisa kubanggakan? “Kau tidak lupa, kan, Kang Minhyuk? Dia adalah istriku, wanita yang aku pilih untuk mendampingiku, untuk melahirkan anakku, untuk terus kucintai. Tentu saja aku akan menjaganya. Kau tidak perlu khawatir lagi.”

Percakapan singkatku dengan Minho membuatku merenung beberapa saat. Kusandarkan punggungku yang berat pada dinding yang dingin. Kutarik oksigen sebanyak yang aku bisa. Seharusnya semuanya sudah berhenti. Seharusnya perasaanku untuknya sudah berakhir sampai di sini. Tapi hatiku tak bisa kupaksa untuk berhenti. Jantungku masih terus berdebar untuknya. Kebahagiaanku masih terus bergantung pada senyumannya.

Aku masih mencintainya, aku tak dapat mengelaknya. Aku baru menyadari, perasaanku saat ini jauh lebih memalukan dibanding drama televisi manapun. Memalukan…menyedihkan…

*

Hari ini langit begitu bersahabat denganku. Langit terus mengeluarkan warna biru cerah, membiarkan dia berjalan di sampingku dan meningkmati warnanya. Yoogeun berlari di depan kami, masih memeluk bola birunya, hadiah ulang tahun dariku.
     
Aku tersenyum menatap Yoogeun yang terlihat begitu manis dan menggemaskan. Rasanya ingin aku menggendongnya sebagai anakku. Aku ingin Yoogeun tidur di pelukanku dan membangunkanku di pagi hari bersamanya. Aku ingin hidup seperti itu. Sayangnya keinginan dan kenyataan terkadang berbanding terbalik dan aku tak dapat melakukan apapun untuk mengubahnya.

“Minhyukie, kalau kau memang tidak menyukai semua perjodohan itu, kau bisa menolaknya,” ucapnya yang berjalan di sampingku. “Kau terlihat sangat tidak nyaman dengan itu. Aku bisa melihatnya. Lagipula kau masih muda, kau bisa memilih wanita manapun yang kau suka dan kau cintai,” ujarnya riang.

Aku tertawa getir. Bagaimana aku bisa memilih jika satu-satunya wanita yang ingin kupilih sudah dimiliki orang lain? Aku menatapnya dari ujung mataku. Wajahnya masih polos seperti anak kecil. Betapa aku merindukan mengacak rambutnya hingga dia marah seperti dulu.

Tanganku perlahan meraih tangan mungilnya. Dia menoleh dan menatapku terkejut saat tangannya telah berada dalam genggamanku. Aku menatapnya dalam-dalam. Sahabatku, wanita satu-satunya yang kucintai hingga saat ini. “Yah, pabo-ya. Apa kau tidak sadar juga?” tanyaku setengah membentaknya.

“Sadar apa?” tanyanya bingung.

“Aku…”

Appa!” Teriakan Yoogeun membuatku tersadar dan melepas genggamanku dari tangannya. Kedua mataku menemukan Minho yang berjongkok sembari membuka kedua tangannya untuk Yoogeun. “Minho-ya,” panggilnya sembari berjalan mendekati Minho, meninggalkanku.

Minho memeluk Yoogeun dan tersenyum lebar ke arahnya yang ikut berlari mendekatinya. Sejenak tatapan kami bertemu, Minho menundukkan kepalanya sedikit dan tersenyum padaku.

“Lihat yang Appa bawa untuk Yoogeun,” ujar Minho sambil menunjukkan kaos bergambar power rangers dengan warna biru tua. Yoogeun meraih kaos itu dan membiarkan bola biruku menggelinding di tanah. Aku menatapnya tanpa bersuara.

Aku menatap Yoogeun yang kini berada dalam gendongan Minho. Yoogeun tertawa dengan ceria. Aku baru menyadarinya, mereka berdua sungguh mirip.

Saat itulah aku melihatnya lagi. Berjalan mengambil bola biru dariku yang ditinggalkan Yoogeun. Dia melihat ke arahku, tersenyum lebar. “Minhyukie!” panggilnya sambil memberi isyarat agar aku menyusul mereka.

Aku melangkah perlahan, menyusul mereka. Hari ini aku berusaha menyadarkan diriku untuk berhenti bersikap bodoh. Hari ini adalah hari terakhir aku mengharapkannya. Hari ini adalah episode terakhir kisahku dengannya. Aku harus membiarkannya menjadi pemeran utama dalam kisahnya sendiri bersama Minho.

Dan aku…biarkan aku memulai kisahku yang baru. Entah kapan…

-END-

-Keep Shine Like HIKARI-

2 comments:

  1. bsa numpang ff yah d blog lw? Xp kapan2 guw jg pengen ah~ xp

    gmana yah.. Ini ceritany guw nemu 2 lag.. 1 d atas minhyuk udh blg kalo yugun mirip minho.. Nah d daerah ending ada jg part minhyuk blg ia baru sadar yugun mirip minho..
    lag yg 1 lg guw lupa.. Xp

    gaya penulisanny emg beda bgt ama lw.. Penulisny tuh ky terlalu memaksakan 'yugun n minho harus ada d ff ini'..

    ada kalimat yg kesanny terputus d part2 awal..

    ini jd ky sequel dri cerita lw yak.. Xp
    nice~

    ReplyDelete
    Replies
    1. ini karna temen gw bukan asli author ff sih.. dia penulis novel, dan ini ff yang pertama kali dia bikin dengan ide yang sama ama classic, gitu..

      thx^^

      Delete