Wednesday, December 26, 2012

Trusting You [a Fanfiction by Arini Putri]

Another Fanfiction from Arini Putri..
Trusting You


Written by
Arini Putri (@arin_ni)

Main Cast
Lee Jinki (SHINee Onew), Choi Chaeyong (OC)

Suporting Cast
Kim Kibeom (SHINee Key), Choi Dongwook (Se7en), Choi Minho (SHINee), Choi Seunghyun ( BIGBANG TOP), Lee Hami (OC)

Other Cast
Park Hanbyeol, Lee Taemin (SHINee)

Genre
Romance, Sad, Friendship, Fluff, Family

Rate
General

Length
Oneshot

Author Note
 Seperti keterangan di judul dan yang udah di tuliskan pada keterangan di bawah gambar, ini bukan aku yang bikin fanficnya. Kalau ada yang pernah baca Rain Over Me atau Goodbye Happiness (yang ga tau bisa check di gramedia ^^ kkk, sekalian bantuin promo), Arini Putri itu yang bikin ff ini buat ku. Sebenernya ff ini sambungan dari ff lain yang pernah kita bikin gantian, buat koleksi pribadi aja. Kisahnya si Arin alias Lee Hami itu sama Minho, dan Chaeyong (atau.. ehem.. saya) sama Jinki (yang ceritanya lebih sedikit karena emang lebih concern ke Hami dan Minho). Dan disini dia mau bikin saya mati! Hahaha..

Sebenernya cerita ini nyambung sama 2 drabble yang pernah aku bikin gegara mimpiku yang.. yang begitulah o_o .. aku kasih spoiler aja ya~ haha.. semisal ada yang mau baca, bisa rikues untuk di post, tapi kalo engga ya udah, gapapa ga maksa kok.. *asah piso* hahaha

Ok, Enjoy the story~! ^^

==========



Yah!” Kim Kibeom berteriak untuk kesekian kalinya pada gadis sedang mengekor di belakangnya. Gadis berambut pendek itu mengerucutkan bibirnya, tanda kesal, namun tetap saja mengabaikan teriakan Kibeom. Dia masih terus mengikuti kemana pun Kibeom berjalan sembari mencengkram ujung jaket Kibeom. “Yah! Kau ini kenapa, sih?” bentak Kibeom, kesalnya sudah tidak tertahankan.
“Apa?” tanya gadis itu bernama Choi Chaeyong itu dengan ekspresi tanpa dosa.

“Kau ini kenapa?” bentak Kibeom setelah membuang napas kesal. “Berhentilah menempel padaku terus. Kau ini ingin membuat pasaranku turun, ya? Kalau begini caranya bagaimana caranya gadis-gadis lain mendekatiku?” protes Kibeom. Bukannya menjauh seperti kemauan Kibeom, Chaeyong justru memeluk lengan Kibeom sembari terkekeh. Sebenarnya Kibeom sudah sangat terbiasa dengan kehadiran gadis ini. Choi Chaeyong dan dia sudah bersahabat sejak lama dan penampilannya yang tomboi membuat Kibeom tidak melihatnya sebagai perempuan.

Tapi sejak tiga hari yang lalu sahabatnya ini berubah aneh. Penampilannya memang masih sama seperti biasa, namun tingkah lakunya terlihat aneh. Gadis itu sering melamun, mengacak rambutnya sendiri seperti orang gila. Dia juga sering merajuk seperti perempuan, hal yang sangat tidak biasa dilakukan Chaeyong. Yang paling menyebalkan, Chaeyong tak henti-hentinya menempel dirinya kemana pun dia pergi.

“Kau suka padaku, ya?” tanya Kibeom tiba-tiba.
Chaeyong segera mendorong kepala Kibeom keras-keras. “Jangan mimpi!” serunya tegas.
“Ya, lalu kenapa kau seperti ini?” gumam Kibeom kesal, membiarkan terus menggandeng lengannya. “Kau ini sedang ada masalah, ya?” tanyanya penasaran.
Dia dapat melihat Chaeyong termenung sejenak, menarik napas dan menghembuskannya perlahan sampai akhirnya menjawab, “Uhm, aniyo.” Kibeom menyipitkan matanya, curiga pada gelagat Chaeyong.

“Ada apa, sih? Kenapa ramai sekali?” gumam Kibeom bertanya-tanya saat melihat kerumunan di bangku atrium kampus mereka. Chaeyong yang ikut penasaran kini justru menarik tangan Kibeom untuk mendekati kerumunan itu.
“Kau yakin dia yang melakukannya? Tapi dia tidak terlihat seperti itu,” ujar salah seorang mahasiswi di antara kerumunan itu.
“Dia terlihat sangat baik. Bagaimana bisa?"

“Lagipula kau, kan, perempuan. Tidak mungkin dia melakukan hal seperti itu padamu. Itu keterlaluan.”

“Tidak kusangka, kukira dia lelaki yang lembut. Aku kecewa. Jadi selama ini itu hanya topeng.”

Komentar-komentar itu terdengar bersahut-sahutan seperti kelompok koor yang kurang berlatih. Chaeyong dan Kibeom mengerutkan dahi, berusaha menangkap maksud pembicaraan mereka. “Tentu saja itu benar. Untuk apa aku berbohong? Kau bisa lihat sendiri, kan? Lebam ini buktinya,” ujar Lee Haeri, teman satu tim basket Chaeyong, yang duduk di tengah kerumunan itu. Kibeom dapat melihat lebam biru  keunguan di tulang pipinya.

“Jadi benar Lee Jinki memukulmu tanpa alasan?” tanya seorang mahasiswi yang duduk di sampingnya, memperhatikan lukanya.

Kedua mata Kibeom membulat, terkejut bukan main mendengar nama yang tiba-tiba muncul dalam keributan ini. Dia dapat merasakan Chaeyong melepaskan cengkraman di lengannya, mungkin gadis itu juga terkejut.

“Lee Jinki? Jinki Hyeong?” bisik Kibeom bertanya-tanya pada Chaeyong. Tak ada jawaban dari gadis yang ada di sampingnya itu. Kibeom melirik kearahnya dan ia temukan gadis itu tengah menatap kerumunan dengan tatapan kosong.

“Iya, apa perlu kuulangi sekali lagi. Lee Jinki, lelaki berwajah malaikat itu, dia sudah memukulku di lapangan basket tanpa alasan. Lihat, ini buktinya,” ujarnya sembari menunjuk lebam di wajahnya.

Yah! Kalian jangan bicara sembarangan!” seru Kibeom yang sudah tak tahan. Dia mengenal Lee Jinki yang dibicarakan kerumunan itu. Dia mengenal lelaki itu dengan sangat baik. Dan dia yakin seratus persen temannya itu tidak akan melakukan hal semacam itu.

Lee Haeri bangkit dari posisi duduknya dan menatap Kibeom lekat-lekat. “Lalu apa dasarmu mengatakan itu? Kau tidak tahu apa-apa, Kim Kibeom,” ucap Lee Haeri, kini dia menatap Kibeom dan Chaeyong bergantian. “Teman kalian yang terlihat baik itu, yang tersenyum pada semua orang, selama ini hanya topeng. Dia tidak lebih dari lelaki temperamental yang memukul gadis sembarangan.”

Yah, kau…” Kibeom baru ingin membalas ucapan gadis itu saat Chaeyong tiba-tiba berlari meninggalkannya dan kerumunan itu. Kibeom mengalihkan perhatiannya pada Chaeyong yang berlari cepat. “Yong! Yongi! Yong-ah!”

~Trusting You~

Chaeyong terus berlari secepat yang dia bisa. Beberapa tempat telah dia datangi. Lapangan basket, kantin, hingga taman belakang kampus. Seluruh penjuru kampus, tempat mereka biasa menghabiskan waktu telah dia datangi, namun lelaki itu sama sekali tak memperlihatkan batang hidungnya.

Dengan cepat Chaeyong menaiki bus pertama yang dia lihat. Dia duduk di salah satu bangku dan terengah-engah sejenak. Dikeluarkannya ponselnya, berusaha menghubungi satu nomor yang sejak tadi tak menjawab panggilannya maupun pesannya. Lee Jinki, kau dimana? Pertanyaan itu terngiang-ngiang di kepala Chaeyong.

Sudah tiga hari ini, dia tidak menghabiskan waktu bersama Lee Jinki seperti biasanya. Sudah tiga hari ini, Chaeyong memilih menjaga jarak dengannya. Bukan karena Chaeyong marah pada Jinki, atau Jinki berbuat salah padanya. Sama sekali bukan karena itu. Namun karena debar-debar aneh yang semakin merajai tubuh Chaeyong saat berdekatan dengan Jinki. Sebenarnya sudah lama Chaeyong merasakan hal itu saat bersama Jinki. Hanya saja akhir-akhir ini perasaannya semakin tak karuan, semakin tak dapat dia tahan. Sejak tiga hari yang lalu, saat tidur siangnya tiba-tiba terganggu oleh mimpi aneh itu. Dia memimpikan lelaki itu, Lee Jinki, mengecup bibirnya dengan lembut. Hanya sebuah mimpi. Mimpi tentang kecupan sederhana yang begitu singkat dan berlalu dengan cepat. Namun efek yang dihasilkan mimpi itu masih menempel di dadanya hingga sekarang. Dia selalu merasa melemah tak karuan setiap berhadapan dengan Jinki, hingga gadis tomboi itu memilih untuk menjauh sementara waktu dari Jinki dan justru menempel tanpa henti pada sahabatnya, Kibeom.

Namun semua perasaan itu tiba-tiba tersingkirkan saat mendengar keributan siang ini di kampus. Sungguh, Chaeyong tak dapat mempercayai satu pun kalimat yang mengalir dari bibir Lee Haeri tentang Jinki. Namun tanggapan orang-orang serta Lee Haeri yang tak henti bercerita dengan yakin, membuat bayangan Jinki muncul begitu saja di kepalanya. Apa yang sedang dilakukannya sekarang? Apa dia sudah mengetahui hal ini? Lalu bagaimana keadaannya sekarang? Berbagai pertanyaan tentang Jinki terus menerus bergantian menganggunya.

Chaeyong segera turun dari bus saat bus tersebut berhenti di tempat yang dia inginkan. Dia kembali berlari memasuki jalanan berkelok, menuju satu tempat. Rumah Lee Jinki, tempat tiga hari ini mati-matian dihindarinya. Chaeyong berhenti sejenak saat mencapai pagar rumah Jinki. Dia memegangi lututnya dan terengah lelah sejenak, mencari oksigen untuk tubuhnya yang kelelahan.
Diketuknya pintu itu cepat-cepat. Hatinya yang khawatir benar-benar tak dapat menunggu lagi. Pintu itu terbuka perlahan, sesosok wanita paruh baya dengan wajah teduh muncul dari sana menatapnya dengan sedikit ekspresi lega. “Eomonim, apa Jinki di rumah?” tanya Chaeyong, masih dengan napas yang terputus-putus.

 Wajah Ibu Jinki terlihat mengeras saat mendengar pertanyaan itu. Dia menatap Chaeyong dengan lebih lekat. “Yong-ah, Jinki bilang dia sedang tidak ingin diganggu oleh siapa pun,” ujarnya lembut.

“Tapi…sebentar saja, Eomonim. Ijinkan saya melihat Jinki. Sebentar saja,” pinta Chaeyong sungguh-sungguh.

“Tapi ini juga bukan kemauan eomoni, ini permintaan Jinki sendiri,” ujar Ibu Jinki. Chaeyong membuang napas putus asa. Dia mengangguk lemas dan permisi untuk pulang.
“Yong-ah,” panggil Ibu Jinki lagi, membuatnya menoleh. “Eomoni juga tidak tahu apa masalahnya. Tapi tadi Jinki pulang lebih cepat dari kampus dengan muka lesu. Dia lalu mengurung diri di kamar, dia bilang ingin menenangkan diri. Mungkin ini bisa sedikit membantumu.”
Chaeyong tersenyum tipis, berusaha seikhlas mungkin dengan tubuhnya yang lemas. “Terima kasih, Eomonim.”

~Trusting You~

“Hei, apa yang terjadi? Jangan seperti anak kecil. Kalau kau mengurung diri seperti ini, bagaimana kami bisa membantumu,” seru Dongwook dari balik pintu. Dia khawatir melihat adiknya yang tiba-tiba saja pulang dengan muka kusut penuh keringat dan sampai detik ini tidak keluar dari kamarnya.

“Anak itu sedang ada masalah apa, sih?” tanya Seunghyun yang ikut kebingungan melihat saudara-saudaranya berkerumun panik.

“Dia, kan, memang seperti itu kalau ada masalah. Dipendam sendiri, membuat semua orang panik karena tingkah lakunya aneh,” ujar Minho yang duduk di samping Seunghyun.
Seunhyun melirik Minho dan berseru tak sabar. “Yah, kau kan saudara kembarnya? Apa tidak ada sesuatu yang kau rasakan?”

Hyeong, kau pikir ini drama romantis? Film fantasi? Mana kutahu dia kenapa, dia juga tidak mau bercerita padaku,” protes Minho.

Tiga lelaki itu kini sibuk dengan pemikiran mereka masing-masing. Mereka sangat khawatir pada saudara perempuan mereka satu-satunya, namun tak tahu harus berbuat apa. Hami yang duduk di samping Minho, berbisik pelan padanya, “Biar aku saja,” bisiknya nyaris tanpa suara.

Minho mengangguk mengerti. Walaupun Chaeyong tomboi, dia tetap saja perempuan. Mungkin pembicaraan sesama perempuan bisa membuat Chaeyong sedikit membuka diri. Minho pun memberi isyarat pada kakak-kakaknya. Mereka satu persatu menjauh dari depan pintu kamar Chaeyong.

Hami menarik napas sejenak dan mengetuk pintu kamar Chaeyong perlahan. “Yongi,” panggil Hami, tak ada jawaban. “Yongi, ini Hami. Yang lain sudah pergi,” lanjutnya lagi. Hami terdiam beberapa saat sampai kembali berucap, “Aku masuk, ya,” ucapnya meminta ijin. Hami mencoba menekan ganggang pintu dan terkejut saat pintu itu terbuka dengan mudah. Ternyata Chaeyong sudah membuka kunci pintunya.

Hami membuka pintu dan masuk dengan hati-hati. Dilihatnya Chaeyong meringkuk di pojok tempat tidurnya, memeluk kakinya. Headphone terpasang menutupi kedua telinganya. Tidak terlihat tanda-tanda menangis atau yang biasa dilakukan perempuan saat sedih, tapi Hami dapat melihat dengan jelas wajah Chaeyong yang lesu tanpa semangat.

“Hai, Tante,” ujar Hami sambil duduk di pinggir tempat tidur. Chaeyong selalu marah setiap dia memanggilnya dengan sebutan itu. Namun kali ini berbeda, Chaeyong masih terdiam, tak memberikan tanggapan. “Yongi, kau kenapa? Kenapa tidak keluar kamar?” tanya Hami hati-hati.

Chaeyong masih membungkam mulutnya, dia hanya sedikit menggeser posisi tubuhnya. Hami menatap tangan Chaeyong yang sedari tadi mengenggam bantal leher dengan hiasan kepala bebek. Kalau tidak salah Minhyuk pernah bilang kalau dia melihat Chaeyong dan Jinki membeli bantal leher.

“Jinki, ya?” tanya Hami, membuat Chaeyong sedikit mengangkat wajahnya, terlihat ingin menatap Hami. Hami tersenyum, berusaha tenang. “Aku mendengar sedikit dari Kibeom tadi. Apa itu yang membuatmu sedih, Yongi?”

Chaeyong menenggelamkan wajahnya dibalik bantal leher itu. Baru kali ini Hami melihat Chaeyong benar-benar seperti gadis yang butuh perlindungan. “Yongi, kau tahu? Saat seseorang sedang sedih atau terpuruk, apa yang paling dibutuhkannya?”

“Apa?” tanya Chaeyong tiba-tiba.

Hami kembali tersenyum, sepertinya Chaeyong mulai membuka dirinya. “Kepercayaan. Cukup satu orang yang berada di sampingnya dan percaya padanya, itu sudah lebih dari cukup.”

“Berdiam diri di sini, ikut bersedih, tidak akan menyelesaikan apa-apa. Hanya akan menambah masalah baru. Jadilah orang itu, Yongi. Orang yang percaya padanya,” ucap Hami.

Chaeyong mengerjap-ngerjapkan matanya, berusaha memahami perkataan Hami. “Tapi bagaimana jika dia tidak bisa dipercaya?” tanyanya.

Hami menggeser posisi tubuhnya hingga semakin dekat dengan Chaeyong. “Kalau kau sayang padanya dan sayangmu tulus, pasti hatimu tahu, kok. Sekarang apa yang kau rasakan? Apa kau percaya pada Jinki?”

~Trusting You~

Chaeyong berdiri di hadapan pintu kamar Jinki, jantungnya berdegup kencang. Campuran perasaan khawatir dan gugup bila bertemu dengannya. Setelah memohon keras pada Ibu Jinki, akhirnya dia mengijinkan Chaeyong mencoba membujuk Jinki.

“Jinki… Jinki-ya…,” panggil Chaeyong sembari mengetuk pintu kamarnya perlahan. Chaeyong terdiam sejenak saat tak mendapat tanggapan. Dia menelan ludahnya dengan gugup dan memanggil perlahan,

Tokki…,” panggilnya lembut. “Jintokki… Aku di sini,” ucapnya lagi.

Sesaat tak terdengar apapun. Hanya suara degup jantungnya serta jarum jam yang tak berhenti bergerak. Chaeyong baru saja akan mengetuk pintu itu lagi saat suara khas itu terdengar, “Pergilah…,”

“Jinki!” seru Chaeyong saat mendengar suaranya. “Keluarlah sebentar. Kita harus bicara. Jinki, kumohon.”

“Tidak ada yang perlu dibicarakan, Yong-ah,” jawab Jinki dari kamarnya.

Chaeyong menempelkan kepalanya pada daun pintu. Dia melemas mendengar ucapan Jinki. Apa Jinki tidak cukup nyaman dengannya? Apa dia justru semakain membuat Jinki kesal?

“Aku bukan lelaki yang baik, Yong-ah,” ucap Jinki lagi. Chaeyong terdiam mendengarkan dengan seksama. “Aku pemarah dan tidak dapat mengontrol emosiku dengan baik. Tidak seharusnya aku memukulnya saat itu, kan? Tapi aku memukulnya, aku benar-benar memukulnya. Aku tidak sebaik yang kau kira, Yong-ah. Maafkan aku.”

“Tidak ada yang perlu dimaafkan,” ucap Chaeyong. “Kau, kan, juga manusia. Memangnya tidak boleh berbuat salah sesekali?”

“Tapi aku bukan lelaki baik, Yong-ah, aku ini pemarah. Aku juga bukan lelaki lembut, aku ini kasar. Aku tidak seramah itu, aku ini dingin” balasnya lagi.

Chaeyong menarik napas panjang, mulai merasakan hawa panas di dadanya. “Ya! Siapa yang peduli? Memangnya aku peduli kau ini kasar, pemarah atau apa? Aku juga kasar. Aku juga pemarah. Tapi kau tidak masalah, kan, berteman denganku? Sama seperti itu. Mau kau pemarah, dingin, apalah itu…kau ini tetap Lee Jinki. Lee Jinki yang kukenal dan selalu kupercaya.”

“Yong-ah…”

Yah, Jintokki! Apa yang harus kulakukan agar kau mau menemuiku? Tidak peduli semua orang menganggapmu kasar, aku tetap akan percaya padamu, aku akan mendukungmu. Kenapa kau tidak percaya?”

Chaeyong terus berteriak hingga pintu kamar itu tiba-tiba terbuka. Menampilkan Jinki yang berantakan dengan kaos oblong hitam dan wajahnya yang bintik-bintik. “Yah, pabo!” serunya pada Chaeyong.

“Kau yang pabo!” balas Chaeyong kesal. Jinki terdiam sebelum sempat membalas ucapannya. Dia menatap Chaeyong lekat-lekat. Air mata mengalir di ujung mata gadis itu. Sesuatu yang amat langka terjadi. Gadis tomboi itu lebih memilih menghancurkan kamarnya dibanding menangis.

“Yong-ah, kau menangis?” tanya Jinki pelan.

Chaeyong memukul bahu Jinki keras-keras. “Kau pikir ini gara-gara siapa? Pabo! Jinjja paboya! Bisa-bisanya kau menyia-nyiakan teman sebaik aku,” ujarnya di sela tangisan tertahannya. Jinki membiarkan Chaeyong memukul pundaknya hingga lelah. Baru kali ini dia melihat Chaeyong menangis dan hal itu ternyata membuatnya merasa sakit. Lebih sakit dibanding saat semua orang menuduhnya macam-macam.

“Ayo, kuantar kau pulang,” ajak Jinki sembari meraih tangan Chaeyong.

“Tidak mau!” serunya sembari menarik tangannya. “Aku tidak mau pulang!”

Yah, ini sudah malam. Kau harus pulang!” bentak Jinki, tegas, membuat Chaeyong terdiam. “Kau bilang, kau tidak masalah, kan, dengan aku yang pemarah? Ayo,” ucap Jinki sambil menarik tangan Chaeyong sekali lagi. Kali ini Chaeyong menurutinya tanpa banyak bicara. Terdiam sembari merasakan kehangatan yang merambat dari genggaman Jinki. Pembohong, ucapnya dalam hati. Jinki sama sekali tidak dingin, dia begitu hangat. Setidaknya itu yang dirasakannya sekarang. Chaeyong mengikuti Jinki sembari menunduk, menyembunyikan rona di wajahnya.

~Trusting You~ 

Langit malam terlihat begitu gelap, Chaeyong pun juga tak mengerti mengapa jalanan menuju rumahnya yang biasa cukup ramai, hari ini sangat sepi. Seakan semua orang kompak memberikan kesempatan baginya dan Jinki untuk berjalan berdua. Dan hal itu membuatnya gugup setengah mati. Namun di satu sisi Chaeyong juga merasa lega melihat Jinki mau berjalan di sampingnya seperti biasa.

“Apa kau baik-baik saja?” tanya Chaeyong pelan.

Terdengar tarikan napas Jinki yang cukup berat di sampingnya. Chaeyong menoleh dan mendapati Jinki yang menunduk dengan wajah lesu. Melihat Jinki seperti itu membuatnya merasakan rasa sakit yang tak dapat dijelaskan. Seakan semua perasaannya bergantung pada ekspresi lelaki itu.

“Sebenarnya aku hanya kecewa,” jawabnya perlahan. “Aku kecewa saat melihat orang-orang yang selama ini selalu kuperlakukan dengan baik, tiba-tiba saja menghakimiku hanya karena satu kesalahan yang kubuat. Aku juga kecewa karena mereka mempercayai begitu saja cerita tentangku yang bahkan masih tak jelas kebenarannya. Tiba-tiba saja aku merasa sendiri, aku merasa percuma bergaul dengan banyak orang. Kenyataannya tetap saja tak ada yang percaya padaku, kan?”

Yah, bicara apa kau?” protes Chaeyong. Jinki menoleh, menatap wajah kesal Chaeyong. “Lalu kau anggap aku ini apa?”

“Kau?”

“Ya, masih ada aku, kan,” ucap Chaeyong, sampai tiba-tiba dia tersadar dan berdeham kecil. “Ada aku, Kibeom, Minho. Kami semua percaya padamu, Jinki-ya.”

Jinki tersenyum tipis mendengar kalimat-kalimat yang terlontar dari gadis di hadapannya itu. “Lalu kenapa hanya kau yang ngotot menemuiku?” tanya Jinki, membuat Chaeyong terdiam.

Wajahnya memerah, dia segera mengalihkan pandangannya dari Jinki, berusaha menetralkan ekspresinya. “Ah.. umh.. k-kau, kan, tahu diantara mereka memang aku yang paling ngotot. Usahaku terkadang suka berlebihan,” ucap Chaeyong, mencari sembarang alasan.

Gomawo,” ujar Jinki dengan nada riang. Chaeyong menoleh dan menemukan Jinki yang tersenyum. Bukan senyum lebar seperti biasanya, melainkan hanya senyum tipis yang membuatnya terlihat begitu tulus. “Gomawo, karena telah menjadi yang paling berlebihan.” Ia terdiam sejenak dan menarik nafasnya pelan. “Aku merasa lega, karena kau alasanku memukul Lee Haeri waktu itu.”

Langkah Chaeyong terhenti tiba-tiba saat ia mendengar dirinya disebut. “Apa?”

Jinki mengangguk dan menghembuskan napasnya. “Kau tahu, kan? Haeri itu memang sudah lama iri dengan posisimu sebagai kapten tim basket. Saat itu…aku tidak sengaja melihatnya ingin mencelakaimu. Dia memasukkan paku payung ke dalam sepatumu. Untung saja aku melihatnya dan segera merebut sepatumu darinya.”

“Aku benar-benar marah padanya saat itu. Aku tak bisa mendengarkan satupun alasannya. Aku membentaknya dan mengancam akan memberitahukan ulahnya pada pelatih agar dia dikeluarkan. Tapi gadis tidak sopan itu justru berteriak marah dan menjelek-jelekan dirimu. Dia bilang kau tidak pantas menjadi kapten, kau tidak punya kemampuan, dan lain sebagainya. Apa menurutmu dengan kondisi seperti itu aku bisa menahan diri untuk tidak memukulnya?”

Chaeyong hanya membeku di tempatnya. Cerita yang mengalir dari mulut Jinki membuatnya terdiam, berusaha mencerna segalanya. Jadi dia? Dia alasan mengapa Jinki memukul Haeri? Jinki membelanya? Jinki melindunginya? Lalu sekarang apa yang harus dilakukannya? Hatinya berdegup tak karuan, rasanya ingin menangis dan tersenyum secara bersamaan.

“Kau tidak apa-apa?” tanya Jinki setelah melihat ekspresi datar Chaeyong.

Chaeyong mengangkat wajahnya, berusaha keras menahan dorongan untuk memeluk lelaki di hadapannya. Gadis itu tersenyum ke arah Jinki. “Gomawo…karena telah membelaku. Gomawo,” ulang Chaeyong terus menerus. “Gomawo, kau teman yang sangat baik. Aku tidak tahu harus bicara apa lagi.”

“Choi Chaeyong,” panggil Jinki, membuat Chaeyong mengangkat wajahnya dan menatap tepat pada kedua mata Jinki. Tidak biasanya Jinki memanggil namanya dengan lengkap. “Choi Ori, aku sudah memikirkan ini begitu lama,” ujarnya.

“Memikirkan apa?” tanya Chaeyong, clueless.

Jinki dan Chaeyong berdiri berhadapan, tanpa ada yang berbicara selama beberapa saat. Chaeyong masih sibuk memperkirakan apa yang akan dikatakan Jinki selanjutnya, saat Jinki berjalan mendekat ke arahnya. “Yong-ah, bagaimana jika….bagaimana jika aku…tidak hanya ingin menjadi teman yang baik?” tanya Jinki lembut.

“Eh?” hanya itu yang bisa keluar dari mulut Chaeyong, sebelum Jinki membuatnya terdiam dengan mengecupkan bibir mereka perlahan. Chaeyong terbelalak, tak dapat memahami apa yang terjadi. Satu detik, dua detik, tiga detik. Hanya tiga detik ciuman itu berlangsung, namun degup jantung Chaeyong bekerja di atas ambang normal. Tubuhnya bergetar hebat. Apa yang barusan terjadi? Chaeyong menyentuh bibirnya, berusaha merasakan apa yang barusan terjadi hanya halusinasinya saja. Namun setelah mengerjapkan mata, wajah Jinki yang tersenyum menatapnya terlihat begitu nyata. Jadi… Apa yang sebenarnya terjadi? Rasanya dia tidak bisa bernapas sekarang.

“Yong-ah,” panggil Jinki pelan, berusaha menyadarkan gadis itu.

Yah!” seru Chaeyong tiba-tiba, membuat Jinki melonjak terkejut. “Kau jelek! Nappeo!” Chaeyong berteriak sembari memukuli lengan Jinki. Jinki yang terkejut hanya bisa menunduk dan pasrah menerima pukulan bertubi-tubi dari Chaeyong. “Apa yang kau lakukan, kelinci jelek?” seru Chaeyong sembari menendang kaki Jinki. Jinki hanya bisa mengaduh kesakitan. “Nappeo! Nappeo! Bagaimana bisa kau mencuri begitu saja, ha? Itu first kiss-ku, kenapa kau mencurinya?! Nappeo! Byuntae!”

Yah! Tapi ini, kan, bukan yang pertama,” ucap Jinki sembari menahan pukulan-pukulan kuat Chaeyong.

Chaeyong terdiam mendengarnya, menghentikan pukulannya. “Apa maksudmu?”

“Yang tadi itu bukan ciuman pertama, aku…ehm, waktu itu…”

“Apa?!”

“Itu…saat kau tidur…di ruang tengah…Yoogeun…aku menciummu saat itu!” ujar Jinki nyaris berteriak.

Chaeyong kembali membeku. Jadi mimpi itu…mimpi itu bukan sekedar mimpi? Jinki benar-benar menciumnya saat itu? Wajah Chaeyong terasa memanas. Kakinya terasa bergetar, rasanya dia bisa terjatuh kapan saja. Perutnya tiba-tiba terasa mulas. “Yah! Kau… Kau berani-beraninya… Byuntae!” pukul Chaeyong lagi. Dia benar-benar tak bisa mengontrol perasaannya. Yang dia ingin lakukan hanya meluapkan perasaan tak karuan dalam hatinya yang dia sendiri tak dapat memahaminya.

Yah!” teriak Jinki, meminta perhatian. Chaeyong berhenti memukulinya sejenak. “Neon neon sirheo?” tanya Jinki pelan. Tiba-tiba saja gemercik kembang api terasa bertebaran di dada Chaeyong. Apa-apaan ini? Dia bisa pingsan sekarang juga. Chaeyong menggigit bibirnya, berpikir jawaban apa yang bisa dilontarkannya saat….

“Auuww! Aaaa!” Suara teriakan itu membuat perhatian mereka berdua teralih. Mata sipit Chaeyong membulat saat melihat sekelompok orang yang kini jatuh tersungkur dari balik tembok rumahnya. Paling bawah ada Seunghyun dan Dongwook, diatas mereka terlihat Kibeom dan Taemin yang juga mengaduh. Di samping mereka, Hanbyeol terjatuh dengan posisi berlutut. Sementara di sisi lainnya terlihat Minho yang telah berhasil bangun dan kini membantu Hami berdiri. “Kenapa kau mendorongku, bodoh?” seru Seunghyun dengan kesal pada Kibeom yang tersungkur di atas tubuhnya.

Yah, kalian!” seru Chaeyong panik. Dia mengacak rambutnya. Tak tahu lagi apa yang harus dia lakukan pada rombongan manusia-manusia yang sekarang sibuk menunjukkan cengiran di wajahnya. Chaeyong berlari mendekati mereka, bersiap melancarkan pukulan.

“Ini ide Kibeom!” seru Seunghyun yang telah berhasil bangun.

“Ya, Kibeom otaknya!” balas Minho di belakang mereka.

“Aku tidak tahu apa-apa, aku hanya mengikuti Kibeom Hyeong,” ucap Taemin dengan nada polosnya.

Yah, kenapa kalian menyalahkanku? Kalian, kan, juga sepakat…Yah, apa-apaan ini?” protes Kibeom sambil berlari, menghindari Chaeyong yang ingin menjambak rambutnya. Yang lain pun ikut berlari, memanas-manasi Chaeyong untuk membalas Kibeom.

Jinki terdiam di tempatnya, tertawa geli melihat tingkah mereka. Dia menarik napas dalam-dalam dan membalikkan tubuhnya, berjalan pulang. Sampai seseorang menarik ujung lengan jaketnya. “Eodiga?” tanya suara malu-malu itu.

“Pulang,” ucap Jinki singkat, sembari menoleh dan menemukan Chaeyong yang menunduk malu. Seluruh wajahnya memerah, tangannya terasa bergetar. Jinki tahu gadis ini sangat gugup.

“Masuklah dulu,” ujarnya lagi.

Jinki menggelengkan kepalanya pelan dan menurukan tangan Chaeyong dari jaketnya. “Bukankah kau tidak menyukainya? Maafkan aku, ya,” ucap Jinki dan beranjak meninggalkan Chaeyong.

Namun belum sempat dia berjalan menjauh, tangan itu kembali menariknya. Kali ini dia menarik pergelangan tangannya. Jinki dapat merasakan tangan Chaeyong yang dingin. “Nanna neun…uhmm…” Chaeyong tak sanggup menyelesaikan kalimatnya dan kembali menunduk malu. Namun kedua tangannya terus mengenggam pergelangan tangan Jinki dan menariknya.

Jinki tersenyum geli. Baru kali ini dia melihat Chaeyong seperti seorang perempuan yang malu-malu. Gadis itu masih saja menyembunyikan wajahnya dan menarik tangan Jinki. Jinki segera mendekat dan mengacak rambutnya pelan. Chaeyong mengangkat wajahnya dan menemukan Jinki yang tersenyum lembut. Mungkin memang benar…mereka berdua tak dapat mengumbar banyak kata. Namun degup jantung mereka malam ini, ditambah senyuman malu yang tersemat di wajah mereka, mereka tahu….ada sesuatu yang telah tumbuh di antara mereka. Dan dua sahabat itu….Tokki dan Ori….akan membiarkan waktu berjalan mendewasakan hubungan mereka…. Seperti saat ini…

-END-

Apa banget saya deg degan waktu editing ff ini di blog!!
Arin berhasil bikin aku hampir mati lah! *spot jantung*
Makasih ya rin, atas percobaan pembunuhannya~! hahaha..
Ini sweet, by the way, biarpun aku gamau ngakuinnya.. kkk

Masih pengen nawarin juga, kalo ada yang mau sama drabble, side story dari cerita ini.. *nyeritain soal mimpi ppoppo nya chaeyong*, bisa minta yaa.. nanti saya posting disini :) *aku sih berharap 50:50 (?)* hhha

Oke, comment juseyo~! penghargaan buat yang udah nulisinnya *dan yang udah bikin posternya* kekeke.. xp

Regards,
LIGHT

-Keep Shine Like HIKARI-

1 comment:

  1. hmm.. Bahasa penulisanny jd mirip sama lw yah, beda ama ff arin yg sbelumny yg tulisanny lebih baku..

    2 hal yg berasa bgt ngikutin drama, 1, masukin paku ke sepatu ith dream high bgt, sama 2, kiss pas tidur ith playfull kiss bgt..

    jinki yg d mari agak ga sinkron ama yg d critamu, krn jd pemarah gt, pdhal yg d ffmu jinki ith klemar klemer gt lah.. *slapped xp*

    confession ny jg unacceptable ini.. We want more.. Xp tpi guw bsa ngebayangin pas chaeyong mesem2 krn jinki, eh jinki liar jg yah maen caplok anak org.. Xp

    keep going.. Ayo klinci bebek jadiin novel pasti tar ga guw beli.. *bokek*

    joha~

    ReplyDelete