Saturday, June 4, 2011

ONE DAY [FICTION]

Setelah sekian lama ga ada ide, saya akhirnya nulis lagi..
kalo cerita ini, mungkin dari awal ceritanya udah kebaca, bakal gimana akhirnya..
yah~ sudahlah~ buat selingan doank~ xp
Ja, selamat membaca!^^

ONE DAY


"Kalau waktumu tinggal sehari, kira-kira apa yang ingin kau lakukan?" tanya Mio dengan tampang menakukan khas dukun ramal, dan evil smilenya yang membuatku merinding.

"HEI! Apa maksudmu??" Aku ngamuk sambil melempar sebuah kamus tebal kearah wajahnya. Dan sesaat Mio malah tertawa terbahak-bahak dihadapanku, kemudian mengeluarkan sesuatu dari balik punggungnya.

"Aku baru saja pinjam ini di perpustakaan! Today is My Only Day.. jadi ceritanya dia anak laki-laki yang divonis mati hari itu juga. Dan dia memutuskan untuk melakukan apapun yang ia inginkan sebelum akhirnya dia akan benar-benar mati pukul 00.00 malam itu juga!" jelas Mio sambil membuka halaman-halaman buku itu kilat. "Mau baca?"

Aku menggeleng kecil. "Nggak tertarik novel horor!" ujarku. "Udah ah..aku mau pulang! Hahh..kasurku pasti sudah menungguku~" lanjutku dengan bodohnya, kemudian pergi dengan menenteng tas sekolahku di pundak.

Mio juga mengambil tas sekolahnya cepat-cepat, kemudian berlari mengikutiku. "Kei! Chotto matte yo (tunggu aku)!" teriaknya seraya berlari hingga ia menyamai langkahku, dan kami pulang ke rumah bersama. Seperti biasa.

***

*ESOK PAGINYA*

Seperti biasa, hari ini aku ke sekolah lagi. Rutinitas yang selalu dijalani oleh anak-anak seumuranku. Namun, saat aku sedang mengganti sepatuku dengan uwabaki, seseorang menepuk bahuku dan membuatku menoleh ke arahnya.

"E..eiji?" gumamku kaget. Eiji hanya tersenyum kecil. Ia adalah teman ku sejak kami kecil. Rumah kami hanya bersebelahan, namun sejak kami masuk SMA, kami jarang sekali bertemu. Bahkan aku hampir tidak pernah melihatnya di sekolah. Yah, memang karena kelas kami berbeda, tapi aku benar-benar tidak pernah melihatnya meski saat jam istirahat sekolah. "Doushite(ada apa)?" tanyaku lagi.

Eiji menggeleng kecil, membuatku mengerutkan kening. "Main yuk!" ajaknya tiba-tiba.

"Pulang sekolah?" tanyaku memastikan.

"Engga! Sekarang! Yuk!" ajaknya lagi.

Aku mengernyit. "Kamu ngajakin bolos??" aku sedikit berteriak. Eiji langsung membungkam mulutku dengan tangan kirinya, dan meletakkan telunjuk tangan kanannya dibibirnya sendiri, mengisyaratkanku untuk diam, karena beberapa anak di sekitar kami memperhatikan. "Kamu gila ya?" bisiku setelah Eiji melepaskan tangannya.

"Betsu ni!" jawabnya sok ceria. "Ikuyo(let's go)!" ajaknya.

"Nggak mau!" jawabku seraya memakai uwabaki ku. Namun sesaat kemudian aku merasa seseorang menarik lenganku, dan membuatku berlari keluar. Eiji yang menarikku keluar. Padahal aku masih pake uwabaki sebelah saja, dan sebelahnya masih sepatuku yang berwarna hitam. "Ne! Apa yang kau lakukan??" aku berteriak, namun kakiku masih tetap berlari mengikuti Eiji yang masih menarikku hingga keluar halaman sekolah.

"Ikut aku saja! Aku janji, cuma hari ini aku akan mengganggumu!" teriaknya menjawab pertanyaanku, namun kami tidak berhenti berlari juga.

***

Kami akhirnya berhenti di sebuah tempat yang aku sebenarnya juga tidak tahu. Dan Eiji melepas genggaman tangannya dari lenganku. Aku mencoba mengatur nafas sambil melihat sepasang sepatu di kaki ku yang berbeda warna. Uwabaki di kaki kananku dan sepatu keds hitam-putih ku di kaki kiri yang belum sempat aku ganti dengan uwabaki. Ini memalukan.

Aku mendongak, memandang kearah Eiji yang berada didepanku. Bersamaan dengan itu, ia menoleh ke arahku dengan senyum sok cerianya yang sudah sering aku lihat sejak kami berteman saat kecil dulu. "Ikuyo!" ajaknya sambil menunjuk sebuah bangunan di hadapanku. Aku melihat tulisan yang tertera diatasnya.

"Game center?" ujarku bingung. "Ngapain kesini? Kalau ada polisi kita bisa gawat!" aku memperingatkannya. Tapi ia seperti tidak menghiraukanku, dan masuk kedalam bangunan yang merupakan game center itu. Dan bukannya berlari kembali ke sekolah, aku malah mengikutinya masuk untuk membujuknya kembali ke sekolah.

"Udah! Kita bersenang-senang aja hari ini!" Eiji menolak ajakanku kembali ke sekolah. Ia mengeluarkan beberapa uang dari dompetnya, dan membeli banyak sekali coin untuk main permainan apapun didalam game center ini. "Oke, mau main apa? Balap mobil? Dance revolution? Ah..atau mau mancing boneka? Tapi aku rasa kau bukan tipe yang suka hal seperti itu..~" katanya panjang lebar sambil memandang sekeliling game center itu. Masih sepi, karena ini masih pagi dan baru buka. "Ah..main itu yuk!!" dia kemudian menarik tanganku.

Kami berhenti di depan sebuah permainan, dimana kita harus memukul tikus yang menyembul keluar dari dalam lubang-lubang di game itu. "Kita lakukan ini berdua!" ujar Eiji dengan senyum jahil, kemudian memberikan pemukulnya kepadaku. Ia memasukkan satu keping coin pada lubang 'insert coin' dan permainan pun dimulai. Tikus-tikus plastik itu mulai menyembul dari lubang-lubangnya, dan Eiji dengan semangat memukul mereka masuk dengan tangannya. Aku melihatnya sangat menikmati ini, makanya aku juga reflek memukul tikus-tikus itu masuk kembali kedalam lubang. Lama-lama aku jadi senang sekali memainkannya hingga game selesai dan kami dapat banyak ticket yang bisa ditukarkan dengan hadiah apa saja yang disediakan game center.

---

Sampai 2 jam, kami main di game center, dan rasanya coin permainan yang dibeli Eiji tidak habis juga. DIa beli berapa sih? Kami sudah main dance-dance revolution, taiko drum, basket, balap mobil, tembak-tembakan dan banyak permainan lainnya yang aku tidak tahu namanya, juga yang terakhir Eiji main drum sendirian. Aku tidak tahu Eiji pandai main drum. Saat dia memainkan permainan itu dengan kecepatan yang hampir maksimum, banyak yang datang untuk melihatnya, permainan lain jadi sepi.

Akhirnya kami berhenti. Eiji membeli 2 kaleng jus, dan memberikan salah satunya padaku. Kami meminumnya sambil duduk dibangku yang disediakan untuk pengunjung game center yang ingin beristirahat. "Yokatta~" kata Eiji setelah meneguk jus kalengnya sambil melihat kearah lain. "Aku belum pernah sesenang ini seumur hidupku! Menghabiskan uang untuk main-main!" lanjutnya puas.

"Pulang nanti kamu bakal dimarahin ibumu lho!" peringatku padanya. Tapi Eiji hanya tersenyum.

"Tenang aja! Ga bakalan!" jawabnya pendek. "Ngomong-ngomong, sudah berapa lama kita nggak main sama-sama?"

"Hai?" aku tidak mendengar begitu jelas pertanyaannya.

"Sudahlah!" katanya, sambil membuang kaleng minumannya yang sudah kosong ke tempat sampah. "Kita ke foto box aja yuuk!" ajaknya dan mendahuluiku masuk kedalam mesin foto yang berada didepan kami. Aku mengikutinya masuk. Setelah men-set bingkai dan background yang diinginkan, kami segera bersiap dihadapan kamera. "CHIIIZZUU!!"

***

"Sudah matang! ITADAKIMASU!!" seru Eiji kemudian memotong okonomiyaki kami yang ia masak sendiri. Aku juga ikut ber-'itadakimasu' dan memotong okonomiyaki itu, kemudian meletakkannya didalam piring kecil dan memakannya dengan sumpit. "Umai na~(enak nya~)!" ujar Eiji puas.

Sepulang dari game center, Eiji mengajaku ke kedai okonomiyaki tak jauh dari game center. Okonomiyaki di tempat ini benar-benar enak! "Iiyo.. hontou ni!" jawabku setuju.

"Omae sa.. genki(kau.. baik-baik saja)?" ujar Eiji tiba-tiba.

Aku mengernyitkan kening. "Mochiron (tentu saja)! Genki dayo (aku baik-baik saja)! Kenapa tiba-tiba menanyakan hal seperti itu?" tanyaku aneh.

"Yada(engga)! Hanya, aku rasa kita jarang sekali bertemu sejak masuk SMA! Jadi aku hanya ingin bertanya kabarmu!" jawab Eiji.

Aku terseyum kecil. "So ka (begitu ya)?" jawabku. "Anata mo, genki dayo ne (kau juga baik-baik saja kan)?"

Eiji memandangku ragu. "Hemh? Eh.. oh! Genki da!" jawabnya, kemudian menghabiskan okonomiyakinya.

***

Setelah seharian berkeliling, akhirnya kami berhenti di tepi sungai, dan kami duduk di tanah yang banyak di tumbuhi rumput sambil memandangi langit sore yang berwarna oranye itu. Indah sekali. Eiji merebahkan dirinya, sedang aku hanya duduk disebelahnya.

"Senangnya! Kita harus sering-sering melakukannya! Lain kali kita bolos lagi dan main-main lagi!" ujarku ngawur, kemudian ikut merebahkan diri disebelahnya. "Aku kangen main-main begini lagi bersamamu Eiji! Lain kali kita harus melakukannya lagi! Menyenangkan sekali!" lanjutku bersemangat.

"Kau senang?"

"Oh! Tapi lain kali jangan sampai sepatuku cuma setengah-setengah begini! Kan memalukan!" jawabku sambil melirik ke arah sepatuku. Seharian aku jalan-jalan dengan alas kaki seperti ini! Hahaha..pasti tadi banyak yang memandang aneh kearahku. Tapi mungkin saja baka jadi tren baru nantinya? Siapa yang tahu. "Eiji.. ngomong-ngomong..aku tidak pernah melihatmu sejak kita masuk SMA? Kau kemana? Kau sering bolos ya?" aku bertanya. Eiji tidak menjawab. Aku bangun dan melirik kearahnya. Mungkinkah ia tertidur? Angin sore yang sejuk memang membuat ngantuk!

Tapi yang aku lihat sepertinya tidak se simpel itu. Aku lihat mata Eiji terpejam, dan hidungnya mengeluarkan darah. Meski sedikit, tapi hatiku sudah mendapat firasat yang benar-benar tidak menyenangkan. Aku me-lap darah mimisan itu dengan sapu tanganku sampai bersih, kemudian coba membangunkannya. "Eiji! Eiji! Kau dengan aku? Eiji?? Akihiko Eiji??" aku berteriak. Tapi Ia tidak bangun juga. Malah wajahnya jadi semakin pucat.

Aku tidak tahu harus melakukan apa. Tidak ada pilihan lain, aku bangun, mengambil tas ku dan tas Eiji, kemudian menggendong Eiji dipunggungku, dan mencari pertolongan dari siapa saja yang kami temui nanti.

***

"Leukimia?" aku berbisik kecil tidak percaya. Tapi sepertinya Eiji baik-baik saja. Tadi ia masih sama saja seperti Eiji yang aku kenal bertahun-tahun yang lalu. Ia masih Eiji dengan senyumnya yang sok ceria.

Ibunya memberi tahuku setelah kami berada di rumah sakit. Sejak kelas 1 SMA, ia di diagnosa terkena kanker darah, makanya aku tak pernah melihatnya di sekolah. Bahkan aku sangat jarang melihatnya keluar rumah. Eiji menyuruh ibunya merahasiakan hal ini dari siapapun, termasuk aku yang sahabatnya sendiri. Bahkan ia tidak mau masuk rumah sakit dan melakukan therapy. Ia memilih tetap dirumah dan minum obat-obat herbal. Makanya ia terlihat seperti orang sehat, meski sebenarnya penyakit itu terus menggerogoti dalam tubuhnya.

Ia bilang pada ibunya, tidak ada gunanya menghabiskan uang untuk sesuatu yang tidak mungkin disembuhkan. Makanya ia memilih untuk menunggu kematiannya. Ia tahu ibunya pasti akan sedih, makanya setiap hari di rumahnya ia belagak seperti anak yang baik-baik saja. Ia tetap membantu ibunya di rumah, bahkan kadang ia berbelanja kebutuhan sehari-hari. Namun karena ibunya melarangnya datang ke sekolah, ia tidak pernah sekolah. Itulah mengapa aku tidak pernah melihatnya.

Kini Eiji terbaring di ranjang rumah sakit dengan banyak selang terpasang di tubuhnya. Aku tidak tahu apa ini bisa menyelamatkannya. Aku hanya bisa terus menungguinya di rumah sakit. Namun tak lama, Eiji membuka matanya dan melihat kearahku. Aku langsung berlari mendekatinya, begitu juga ibunya yang semula duduk disebelahku.

"Eiji! Daijobu (kau tidak apa-apa)??"

Eiji tersenyum kecil. "Ya~.. ketauan deh.." bisiknya lirih. Namun aku masih bisa mendengarnya. "Harusnya memang aku pulang saja..bukannya tiduran di sungai!" katanya, kemudian terkekeh.

"Bakadayo!" aku memarahinya. "Harusnya kau bilang padaku kalau kau sakit! Baka!"

Tapi Eiji malah tersenyum setengah tertawa. "Untuk apa? Agar kau kasihan padaku dan menyuruhku ke rumah sakit untuk theraphy?" jawabnya. "Aku nggak mau jadi botak tahu! Nanti aku nggak tampan lagi~!" Eiji malah bercanda. Padahal selang-selang itu masih terpasang di tubuhnya.

"Baka! Kau lebih mementingkan penampilanmu dibandingkan kesehatanmu??" aku berteriak kesal.

"Tentu saja! Mana ada laki-laki yang tidak mau terlihat tampan? Omae wa baka dayo ne!?" Eiji terkekeh, hingga batuk dan mimisan lagi. Ia segera menyeka darah yang keluar dari hidungnya itu dengan tangannya sendiri.

"Ibu panggilkan dokter ya.." tawar ibu Eiji seraya beranjak dari hadapan anaknya.

"Tidak usah! Okaasan.. biarkan saja aku seperti ini!" cegah Eiji.

"Eiji.."

"Aku sudah senang, kalian menungguiku disini! Ini yang aku inginkan!" katanya pendek. Ia lalu menghela nafas pendek. "Kei! Aku titip ibuku ya! Mungkin sampai ayah kembali dari pekerjaannya, aku titipkan ibuku padamu! Hanya kau yang bisa aku percaya untuk menjaga ibuku. Oke?"

"Ne! Kau jangan bercanda, Eiji.."

"Aku sedang tidak bercanda! Kau tidak bisa membedakan wajah serius dan bercanda??" protes Eiji, dan mulai terbatuk-batuk lagi. Ia juga mimisan sangat banyak. Ibunya menjaganya didalam, sementara aku berlari keluar dan memanggil dokter. Tak lama, tim dokter segera datang ke kamar Eiji dengan banyak peralatan, sedangkan aku dan ibu Eiji harus menunggu diluar luar kamar. Aku terus berdoa untuk Eiji, sedangkan ibunya terus menangis disebelahku.

"O..obasan.. daijoubu..!" ujarku menenangkan ibu Eiji. Namun ia tetap menangis tanpa henti meski aku sudah berusaha menenangkannya.

***

*JUMAT*

Aku pulang dari sekolah, sendirian. Ini masih sekitar jam 1, jadi sebenarnya belum waktunya untuk pulang. Namun aku meminta pulang lebih awal untuk melakukan penghormatan di rumah Eiji. Untuk Eiji, teman baikku. Siapa lagi?

Aku sampai dirumahnya, dan banyak sekali tamu yang berdatangan dengan pakaian serba hitam. Ibu Eiji berada di dalam rumah bersama jenazah yang akan di kremasi sebentar lagi. Di sebelahnya, ayah Eiji ternyata sudah datang. Ia langsung pulang begitu mendengar kabar buruk tentang anaknya itu. Sedangkan aku, hanya bisa duduk sambil mendoakan Eiji.

Jenazah di kremasi tak lama setelah aku datang, kemudian di kuburkan di tempat pemakaman umum yang berada di dekat kuil. Tempatnya cukup jauh jika ingin ziarah kesana. Makanya hari ini aku ikut datang, mengantisipasi jika aku tidak sempat datang lain kali.

Melihat foto Eiji dengan senyumnya yang ceria, yang diletakkan didepan nisan batunya itu, aku tidak menyangka jika kemarin adalah pertemuan pertama kami setelah hampir 2 tahun kami tidak bertemu, sekaligus untuk yang terakhir kalinya.

Sekitar setengah jam setelah penguburan, semua orang, termasuk orang tua Eiji, berlalu dari kuburan umum itu untuk pulang. Tapi aku tetap berada disana. Aku merasa banyak yang harus aku katakan pada Eiji.

Aku berjongkok di hadapan nisannya, kemudian mengeluarkan sebuah buku dari dalam tasku. "Kemarin ibumu menyuruhku membaca ini! Today is My Only Day.. ternyata kamu juga habis baca ini ya? Makanya kamu melakukan hal tidak waras seperti kemarin! Padahal seharusnya kau melakukan theraphy untuk penyakitmu itu! Baka janeyo~!" aku ngomong sendiri sambil memandang kearah foto Eiji yang tersenyum sok ceria itu. Senyum khas Eiji yang dulu hampir setiap saat bisa aku lihat. "Kenapa kamu datang hanya untuk itu? Tiba-tiba datang, mengajaku main, tapi ternyata itu LAST FAREWELL mu ya?? Haruskah aku menari disini? LAST FAREWELL??"

Aku menghelas nafas pendek. Tanpa sadar, air mata sudah menetes dan membasahi pipiku. "Hahh!! Mataku kelilipan!" aku ngeles. "Aku benar-benar tidak menangisimu, Eiji! Sumpah! Untuk apa aku menangisi anak bodoh sepertimu! Buang-buang tenaga!" lanjutku menghibur diri. Namun sedetik kemudian, aku tidak dapat memungkiri hatiku lagi. Pipiku mulai basah dengan air mata dan mataku memerah. Aku menyekanya berkali-kali, namun tidak habis juga air mata ini mengalir. Dan aku menyekanya terus hingga tanpa sengaya menjatuhkan buku novel yang semula ada di tanganku itu.

Selembar kertas terbang dari dalamnya, dan jatuh tepat didepan nisan Eiji. Selembar kertas memo dengan tulisan "Kei, daisuki dayo( I LOVE YOU) .."

***THE END***

Thanks for reading, and don't forget to leave a coment!
hontou ni arigatou!!!^^

-Keep Shine Like HIKARI-

3 comments:

  1. okey saya udah baca kemarin tapi baru comment sekarang hi hi ^^v
    bagus tapi saya nggak tau artinya bahasa jepang yang terakhir sendiri, daisuki dayo ..
    tapi keseluruhan bagus mbak ! :D

    ReplyDelete
  2. two thumps up, one shoot yg bagus nda, bisa nemu feel bacanya, yaoi tp ini ya??

    ReplyDelete
  3. karisa : hahaha~ makasi kar~!^^

    om genz : BUKAN!!!! ga bisa liat itu di foto kan maki sama yamapi??? yaoloh~ >_<

    ReplyDelete