Friday, February 10, 2012

I don't Understand [FANFIC] [7]

Apdet lagi..
Chapter ini rekor! Gw bisa nyelesain dalam beberapa jam saja, tanpa jeda untuk istirahat.. hehehe~
Tapi ga langsung gw post, gw simpen dulu sampe mateng *emang jambu?*, baru gw post hari ini..
Masih harapan yang sama, semoga ceritanya nggak ngecewain^^
Happy reading~!^0^>
*LUPA : ada beberapa istilah yang mungkin ga di mengerti reader yang ga tau soal basket(mungkin), jadi gw bagi beberapa deh..
1. Layup shoot: memasukkan bola ke ring basket dengan dua langkah dan meloncat agar dapat meraih poin
2. Time Out: waktu istirahat/ break yang di minta tim di tengah jalannya pertandingan, bisa minta kapan aja.
3. Quarter: jumlah babak pertandingan di basket ada 4, 1 quarternya sekitar 10 menit.
4. Crossover: cara dribble dengan cara memantulkan bola dari tangan kiri ke tangan kanan atau sebaliknya.
5. Fake: gerakan tipu-tipu yang biasa dipake buat mengelabuhi lawan biar bisa di lewati
6. Free throw: tembakan 2 angka yang didapatkan pemain saat dia di Foul lawan ketika hendak memasukkan bola ke ring, atau tim lawan mengalami team foul.
7. Cross: Lari masuk ke daerah lawan dari posisi offense sebelumnya dengan tujuan memasukkan bola..
semoga keterangan ini bisa bantu memvisualisasikan ceritanya~^^v*

I don't Understand


Klub Seoul berhasil mengejar ketinggalannya, hingga quarter 4, skor mereka terus kejar-kejaran dengan tim putri Incheon. Skor sementara di menit-menit terakhir quarter 4 adalah 66-65 untuk tim putri Incheon. Di tengah panasnya persaingan, tiba-tiba wasit meniup peluitnya dan membuat tanda dengan tangannya yang menunjukkan TIME OUT. Di ikuti oleh suara pengumuman dari meja panitia. Pemain dari kedua tim bergegas kembali ke kursi pemain masing-masing. Pemain cadangan segera memberikan mereka air minum dan handuk untuk menyeka peluh yang sudah membasahi tubuh pemain-pemain itu.

Coach memberikan pengarahan strategi terakhir pada klub Seoul. Ia menggunakan papan untuk menunjukkan posisi pemain dan bagaimana mereka harus bergerak. Namun sementara yang lain sedang memperhatikan, Chaeyong nampak sedikit tidak berkonsentrasi dengan itu. Ia berdiri menunduk, dengan tangan kiri memegang handuk untuk menutupi separuh bawah wajahnya, sedangkan tangan kanannya memegangi kaki kananannya yang terasa sedikit nyeri. Spray penghilang rasa sakitnya sudah berhenti bekerja. Yuri yang sejak tadi memperhatikannya, menepuk bocah itu dengan wajah khawatir, “Neon gwaenchanayo?” katanya.

“Eumh.. gwaenchana.. tenang saja!” jawab Chaeyong dengan senyum di wajahnya. Namun jawabannya tidak sepenuhnya jujur. Karena insiden yang terjadi pada quarter 3, ia membuat kakinya kesakitan sekarang.

~FLASHBACK~

Bola didapatkan oleh Jiyeon setelah Hyojung merebutnya dari point guard tim putri Incheon. Ia mendriblenya mendekati tim lawan, namun dengan cepat tim Incheon melakukan defend di daerah mereka. Jiyeon yang dihadang oleh pemain depan tim Incheon, langsung mem-pass nya pada Yoon Bora. Bora mendrible bolanya sambil mencari celah untuk menyerang, sampai Chaeyong melakukan cross dan memberi tanda untuk memberikan bola itu kepadanya. Bora segera mem-pass bolanya pada Chaeyong, ia hampir menangkapnya, namun ia malah terpeleset lantai yang licin dan terjatuh dengan keras disana. Bola berhasil di tangkap pemain belakang tim Incheon dan segera melemparkannya pada point guard mereka yang ternyata sudah berlari di depan. Klub Seoul pontang-panting berlari untuk mencegah bola itu masuk ke ring mereka, sedangkan tim Incheon hanya maju beberapa orang. Sementara itu Chaeyong masih tergeletak sambil memegangi pergelangan kakinya.

Gwaenchanayo??” seorang pemain belakang tim Incheon berjongkok dan melihat keadaannya.

Gwaenchan.. ahhh..” Chaeyong mengerang, ia rasakan kakinya sakit.

“Kaki mu cedera.. wasit~!” pemain belakang tim Incheon itu mengkode wasit yang baru melaporkan bahwa tim Incheon menghasilkan 2 poin lagi kepada panitia yang duduk di meja, untuk mendatangi mereka. “Dia ankle~!”

Beberapa pemain cadangan klub Seoul menghampirinya, begitu juga pemain intinya. “Aku tidak apa-apa!” Chaeyong memaksa dirinya sendiri. Ia berusaha bangun. “Aku butuh spray!”

“Tapi kakimu..”

“Nggak apa-apa!” Chaeyong berdiri dengan bantuan pemain belakang tim Incheon itu, menggerakkan ankle nya sedikit dan mulai berjalan lagi meskipun masih sedikit terseok. “Gomawoyo!”

Masih dengan sedikit khawatir mereka melanjutkan permainan setelah Chaeyong mendapat spray penghilang rasa sakit di kakinya. Coach yang sebenarnya ingin memasukkannya ke bangku cadangan untuk mendapatkan pengobatan, tetap membiarkannya bermain. Jika Chaeyong sudah menghendakinya, ia tidak mau memaksa. Namun didalam hatinya coach berdo’a semoga kapten tim nya itu baik-baik saja.

~FLASHBACK END~

Wasit meniup peluitnya, menandakan waktu time out telah habis dan mereka harus kembali bertanding. Pemain klub Seoul meletakkan handuk mereka, kemudian melakukan toss. Hyojung, Yuri, Bae Sooji yang menggantikan Bora dan Lee Minyeong yang menggantikan Jiyeon di awal quarter 4 segera masuk dan menempati area offense, sementara Minyeong mengambil bola mereka. Chaeyong sedikit memutar kedua pergelangan kakinya. Masih terasa sedikit nyeri, namun ia menahannya.

“Kamu benar nggak apa-apa?” tanya Coach.

Ye coach! Tenang saja!” jawabnya, kemudian masuk ke lapangan. Ia mengambil posisi di depan Minyeong untuk mengambil bolanya. Minyeong mem-pass nya pada Chaeyong, kemudian bola di drible ke daerah offense mereka dengan hati-hati, sambil melakukan kode-kode untuk strategi mereka. Klub Seoul memainkan strategi yang diberikan coach. Chaeyong mem-pass bola pada Sooji, kemudian dikembalikan lagi padanya. Kemudian ia mem-pass pada Minyeong, Minyeong hendak mengembalikannya lagi, namun Chaeyong sudah berlari untuk cross. Minyeong mem-pass nya pada Chaeyong, kapten tim itu segera melakukan ancang-ancang untuk shoot setelah menerima bolanya. Namun center tim Incheon melakukan pelanggaran, membuat Chaeyong terjatuh dengan keras di lantai lapangan. Otomatis ia mendapatkan 2 kali kesempatan untuk free throw. Jika ingin menang, ia harus bisa memanfaatkannya dengan baik.

“Apa dia tidak apa-apa?” tanya Yoonhee. Ia datang saat quarter 4 di mulai, dan kini duduk bersama Joongki dan Jinki di deretan kursi penonton yang sama.

“Semoga saja..” Joongki menjawab ragu. Ia tahu cedera yang didapatkan Chaeyong di quarter 3 tidak boleh di remehkan. Ankle sangat susah untuk sembuh.

“CHAEYONG-A! HWAITING!!” Jinki berseru dengan menggunakan gulungan kertas yang diletakkan didepan mulutnya dengan maksud memperkeras suaranya.

Chaeyong berdiri di posisi dimana ia harus melakukan free throw. Bola masih di bawa wasit di bawah ring di luar lapangan. Chaeyong melakukan sedikit penguluran di pergelangan tangannya, sementara Minyeong membisikan beberapa kalimat penyemangat, kemudian melakukan highfive dan kembali ke posisinya.

Wasit meniup peluitnya, kemudian melempar bolanya pada Chaeyong. Gadis itu melakukan kuda-kuda, kemudian melakukan shoot dengan sedikit lompatan. IN! 1 poin mereka dapatkan. Namun karena sedikit lompatan yang di lakukannya, Chaeyong harus menekan rasa sakitnya sebelum melakukan tembakan kedua. Kini posisi mereka 66 sama, jika ingin menang, free throw yang kedua juga harus masuk. Waktu tinggal kurang dari 1 menit. Sudah tidak ada waktu lagi.

Chaeyong kembali mendapat bolanya dari wasit. Namun ia tidak bisa berkonsentrasi, ia menshoot bolanya. Gagal. Bola mengenai bundaran ring dan memantul jatuh. Penjaga belakang tim Incheon berhasil merebutnya dan membawanya maju. Namun Chaeyong tak tinggal diam, ia mengejarnya dan menepuk bola itu untuk merebutnya sampai ia jatuh tersungkur di lantai lapangan karena tak tahan merasakan sakit di kakinya. 35 detik. Bola di tangan Chaeyong, namun ia tidak bisa bangun. Ia memandang kea rah ring. Dibelakangnya pemain tim Incheon sudah bersiap mengambil bola darinya. Adrenalin pun segera memuncak, Chaeyong melemparkan bolannya kea rah ring. “HYAAAHHH!!!” ia berteriak. Entah apapun hasilnya, ia segera memejamkan mata setelah melemparnya.

SPLOSH!!

Sedetik kemudian, tepuk tangan riuh membahana di seisi ruangan. Chaeyong tersentak, itu artinya.. Ia membuka matanya. Ia melihat Sooji baru saja turun dari lompatannya. Sooji menangkap bola hasil lemparan asal Chaeyong, dan memasukannya dengan lay-up.

PRIIITTT!!

Seiring dengan peluit yang dibunyikan wasit, pertandingan pun usai. 68-66 untuk Klub Seoul. Semuanya bersorak. Tidak mudah perjuangan mereka untuk mengalahkan juara tahun lalu. Dan kini mereka melakukannya. Minyeong, Hyojung, Yuri dan beberapa pemain cadangan menghampiri kapten mereka yang tengah terduduk di tengah lapangan itu dengan tangis bahagia. Chaeyong semula terdiam, namun sedikit demi sedikit air mata mulai membanjiri wajahnya. “Kita menang~” tangisnya. “Uhuk.. KITA MENANG!!!” Ia berteriak, suaranya bergetar. Ia meninjukan kepalan tangannya ke udara. “KITA MENANG!!!”

***

“Jadi seminggu lagi semi final!” Hyojung berteriak. Sementara yang lain masih meredakan tangis mereka sambil berulang kali menyeka air mata. Termasuk Chaeyong yang masih mewek-mewek najis di pojok ruangan sambil menggulung-gulung handuk di tangannya. “Kapten! Malah mojok!”

“UHUHUHU.. kita menang~ dari tim Incheon~” Chaeyong masih tak percaya tim nya mengalahkan tim Incheon. Karena tahun lalu mereka di habisi oleh tim yang baru mereka kalahkan itu.

“Ya~! Mukamu menjijikkan tahu!” Sooji melemparkan handuknya, semuanya tertawa. Sementara Chaeyong masih beberapa kali menyeka air matanya.

“Kapten! Terima kasih akhirnya kau datang!” Bora yang merasa mengacaukan quarter awal berterima kasih pada Chaeyong. Ia mengulurkan tangannya mengajak bersalaman. Chaeyong menerima uluran tangan itu, dan mereka berpelukan.

“KAPTEN!!” yang lain berteriak dan ikut memeluk kapten mereka itu. Sementara coach hanya bisa tersenyum sambil mengemasi barang-barangnya bersama manajer tim. Lebih baik ia simpan evaluasinya khusus untuk Chaeyong. Jika suasana sudah pas, baru ia akan memanggil bocah itu untuk diberi pengarahan khusus karena absennya dia di latihan terakhir dan keterlambatannya.

Setelah mengemasi barang mereka, semuanya bergegas keluar dari ruang pemain. Mereka berencana untuk makan sama-sama di kedai murah langganan mereka, termasuk Chaeyong yang kemarin absen datang untuk makan sama-sama. Namun sebelum ia benar-benar pergi bersama teman-teman klub nya itu, seseorang tampak menunggunya didepan pintu masuk lobi.

“Itu dia orang yang kemarin!” Bora menepuk bahu Chaeyong, sambil menunjuk ke arah orang itu dengan dagunya. “Aku benar-benar merasa familiar dengannya!”

Aish!! Tante-tante tukang gosip!” komentar Chaeyong. Bora tersenyum. “Kalian duluan saja! Nanti aku nyusul! Di tempat biasa kan?”

Bora mengangguk. “Jangan lama-lama! Nanti kau yang bayar! Haha..” godanya. Chaeyong hanya tersenyum lebar, kemudian bergegas menemui orang yang tengah menunggunya. Jinki.

Hyeong~!” sapa Chaeyong ceria. Jinki menoleh, kemudian tersenyum lebar.

“Kau hebat..” Chaeyong tersentak. Bukan Jinki yang mengatakan itu padanya. Joongki, yang tiba-tiba saja muncul. Dada Chaeyong mendadak sakit. Namun ia berusaha menahannya. Ia kembangkan senyum di wajahnya, seolah kemarin tidak ada apa-apa pada dirinya. “Kau kemarin kemana? Aku mencarimu! Kau marah padaku?”

Chaeyong menggeleng cepat. “Aku hanya nervous karena tim Incheon! Aku takut kita akan kalah..hehe..” Chaeyong menggunakan kebohongan yang sama dengan yang ia katakana pada coach.

“Kita makan sama-sama yuk! Ada resto enak di depan sana!” ajak Yoonhee yang ada di samping Joongki. Setulus mungkin Chaeyong mencoba tersenyum, terutama setelah ia melihat couple ring di jari manis kedua orang itu. Hatinya makin remuk, namun ia berusaha menahannya.

“A.. tapi anak-anak klub juga mengajakku makan sama-sama! Kalian bertiga saja, kapan-kapan aku ikut kalau ada makan-makan lagi!” tolak Chaeyong.

“Ahh.. keuraeyo.. baiklah kalau begitu!”

“Aku duluan~!” Chaeyong berpamitan, kemudian berjalan dengan sedikit terseok meninggalkan ketiga orang itu. Kaki kirinya menggunakan deker sekarang, untuk mencegah keadaan ankle nya lebih buruk lagi.

“Ayo, Jinki-ya!” ajak Joongki pada anak laki-laki yang masih memandangi Chaeyong dengan tatapan kasihannya itu. Ia tahu betul apa yang dirasakan Chaeyong, dan ia ikut merasakan sakitnya juga sekarang.

“Ah.. hyeong..” Jinki berbalik. “Aku pulang saja.. tugasku sudah selesai untuk membawanya kembali!” lanjutnya.

“Baiklah kalau begitu! Makasih ya, sudah membawanya kembali!” Joongki tersenyum, Jinki membalas senyumnya dengan anggukan. Kemudian Joongki dan YoonHee berbalik pergi, sedangkan Jinki berjalan ke arah berlawanan. Untuk pulang? Tentu tidak. Ia mengejar Chaeyong.

Gadis itu masih berjalan terseok-seok menuju keluar lingkungan stadion. Bahkan ia masih belum keluar dari gedung yang besar itu. Ia kaget begitu melihat Joongki. Ia benar-benar lupa dengan masalahnya begitu ia mendapatkan kemenangan mereka itu. Tapi kini, semuanya kembali lagi. Masalah batinnya kembali menyeruak, dan mulai membekaskan luka pada hatinya.

“Yongi~!” sebuah suara yang amat di kenalnya, memanggilnya bersamaan dengan langkah kaki yang mendekat dengan cepat. “Yongi-a~!”

Chaeyong menyimpan kesedihannya rapat-rapat, ia biaskan senyum di wajahnya, kemudian berbalik untuk menghadapi bocah itu. “Ya~, hyeong! Mau ikut makan denganku?” katanya.

Jinki memandang Chaeyong di matanya. “Kau jangan berusaha untuk berbohong! Aku tahu kau sakit! Kenapa kau tidak keluarkan saja semuanya?? Aku sakit melihatmu begini terus!” cecar Jinki panjang. “Lebih baik keluarkan semuanya! Menangis saja! Kupinjamkan bahuku kalau kau mau!”

Nan gwaenchanayo..”

Babo!” potong Jinki. “Sampai kapan kau akan terus menyimpannya? Paling tidak bagi sakitnya denganku! Aku..” Jinki memotong kalimatnya. Matanya beralih ke arah lain, ia tidak bisa memandang mata Chaeyong lebih lama lagi. “Aku tidak tahan melihatmu menahan sakitmu sendirian..”

“H..hyeong..” senyum Chaeyong menghilang. Jinki masih menatap kea rah lain. Sampai Chaeyong melanjutkan kata-katanya. “Tapi aku tidak bisa membuatmu ikut menangis.. mianhae..”

Jinki mengembalikan pandangannya pada Chaeyong. Ia gemas. Ia memukul kepala Chaeyong pelan. “Babo! Kenapa minta maaf segala??” Jinki berteriak-teriak. Bukannya takut, Chaeyong malah tersenyum, namun tak bisa di cegah lagi, setitik air mata meleleh di pipinya. Ia menghapusnya dengan punggung tangannya. Ia masih merasakan sesak di dadanya.

Gomawoyo, hyeong~!” katanya, nafasnya sedikit tersengal. Jinki hanya mengangguk kecil, kemudian menepuk bahu temannya itu pelan. Menenangkannya.

***

Chaeyong’s scene

Seperti biasa, klub ku penuh dengan pelawak! Terutama tim putra yang ternyata semuanya datang menonton pertandingan kami. Mereka melakukan banyak gag ketika makan sama-sama. Membuat kami tak bisa mempercepat makan kami. Jinki oppa juga tertawa-tawa sejak tadi di sebelahku. Meski mereka tak mengenalnya, tapi Jinki oppa diterima di antara kami. Sesekali Jinki oppa juga melayangkan gag-nya, meski sama sekali tidak lucu, dan hanya aku yang terbahak. Bukan karena lawakannya, tapi karena aku menertawakannya. Aku tahu hanya ia yang tahu selucu apa lawakan yang di buatnya. Tapi tetap saja aku dengan tega menertawakannya sejak tadi.

“Kalau kamu ketawa sehabis nangis, nanti bisa muncul tanduk di pantatmu lho!” Jinki oppa berbisik sambil memakan ayamnya. Aku meninju lengannya pelan, Jinki oppa tertawa.

“Tadi kau telat! Kemana saja sih?” Minho protes sambil mengacungkan sendoknya ke arahku.

“Maaf, ada sedikit urusan keartisan!” candaku. Junhyung seonbae yang duduk di sebelah kiriku menoyor kepalaku. Kupukul lengannya dengan kepalan tanganku. Ia hanya tertawa, dan kembali melahap makanannya.

“Besok tim putra yang bertanding! Semoga kita juga bisa menang!” dengan semangat penuh sambil mengacungkan kepalan tangannya di udara, Seungri berseru. Semuanya tertawa, bukannya ikut semangat.

“Kau mabuk ya??” Seunghyun seonbae melempar gumpalan kertas dan mengenai kepala Seungri. Semuanya terbahak.

Namun ditengah riuhnya suasana makan bersama itu, Jinki oppa mengganggu dengan menyuruhku mengambilkan ayam yang letaknya memang agak jauh, tapi aku masih bisa menjangkaunya, dan memberikannya pada Jinki oppa. “Gomawo..” katanya dengan senyum lebar di wajahnya. Mungkin selain karena ayam, senyum lebar itu sisa dari menertawakan gag teman-teman satu klub ku itu. Namun percaya atau tidak, aku mulai merasakan sesuatu yang aneh pada diriku.

Jantung berdegub dengan kencang. Aku terbengong sendiri, sambil memegangi dadaku. “Tidak mungkin! Ini tidak mungkin!” bisikku pada diri sendiri. Aku pasti salah! Tidak mungkin aku merasakan itu. Pasti salah. Namun semakin aku menolaknya, jantungku semakin berdebar. Ahh!! Aku pasti sudah gila!

Ya~! Kau kenapa?” Junhyung seonbae yang tengah meneguk colanya, bertanya padaku. Ia melirik kea rah tanganku yang terus memegangi dadaku sejak tadi. “Nggak ada apa-apanya di pegang-pegang..” katanya.

Aku mendongak, memandang dengan tajam padanya. “Ya~! SEONBAE!!” aku mencekeknya. Ia mengerang protes menyuruhku melepaskan tanganku dari lehernya. Tapi sudah terlanjur. Aku tidak bisa melepaskannya, atau perasaanku yang datang tiba-tiba itu akan langsung ketahuan. Aku harus menghilangkannya dulu, yang penting Junhyung seonbae tidak mati karena ini.

Chaeyong’s scene END

***

Joongki’s scene

Hari minggu, tak ada satu agendapun hari ini. Bahkan YoonHee tidak mengajakku pergi. Katanya ia sibuk dengan tanggungan pekerjaan yang diberikan sibos padanya. Tidak sepertiku yang hanya jepret sana jepret sini, pekerjaan YoonHee lebih banyak membutuhkan waktu untuk menyendiri di depan meja dan computer.

Usai sarapan, aku hendak ke kamarku untuk membersihkan kameraku. Namun kulihat seseorang tengah berada di toilet yang pintunya terbuka. Terdengar gumaman juga dari sana. Aku menghampirinya. Kulihat Chaeyong tengah berkutat dengan gunting dan satu tangannya memegang sisir yang berada di rambut poninya. “Kau sedang apa?” tanyaku, tanpa bermaksud mengganggu.

“Ah.. hyeong~” hanya itu jawabannya. Ia tetap berkonsentrasi pada kegiatannya. Sepertinya ia sedang berusaha untuk memotong rambutnya.

“Mau potong rambut?” tanyaku. Ia mengangguk. “Kenapa nggak ke salon?”

“Cuma ngerapiin! Poniku udah mengganggu mata!” katanya.

Aku tersenyum. Kuambil gunting rambut dan sisirnya, kutarik ia keluar dari toilet dan menyuruhnya duduk di kursi yang ada di teras belakang rumah. “Mau apa hyeong?” katanya.

“Dari pada salah! Biar aku yang pangkaskan rambutmu!” jawabku. Dengan hati-hati kusisir sebagian rambutnya, dan kurapikan sedikit dengan gunting. Ia tampak khawatir, tapi akan kupastikan hasilnya akan baik. Aku cukup ahli soal ini.

Selesai merapikan poninya, aku merapikan bagian belakang rambutnya. Tak sadar kini rambutnya sudah lebih panjang. Aku merapikannya sedikit. Kuingat, sejak usianya 8 tahun, tak pernah kulihat bocah ini mengenakan baju yang membuatnya terlihat cantik seperti gadis-gadis seusianya. Penampilannya simple, kaos-jeans-dan kemeja atau jaket. Dan sepatu keds putih yang sama tak pernah ia ganti dengan highheel atau sepatu balet. Kadang aku kasihan melihatnya, ingin rasanya mendandaninya membuatnya secantik mungkin. Tapi, aku suka dia yang seperti ini. Bahkan sampai aku hampir kehilangan akal sehatku jika aku tidak menahannya. Dengan segala yang ada pada dirinya, bocah ini berhasil menjadi cinta pertamaku. Haha.. bodoh!

“Yak~! Selesai!” ujarku sambil membersihkan bahunya dari potongan rambutnya. Namun ia tak bergeming. Bahkan menjawabpun tidak. Kulihat dia, ternyata ia sudah tidur! Dasar pelor~! Dengan posisi seperti ini saja ia bisa tidur. Mungkin karena keenakan merasakan angin yang berhembus dan kepalanya yang di belai-belai, dia jadi ketiduran.

Aku tersenyum, dan tanpa sadar aku sudah memeluknya dari belakang. Aku hanya ingin seperti ini sebentar, karena mungkin di lain waktu aku tidak bisa melakukannya lagi. Setelah ini aku benar-benar ingin menghilangkan perasaan suka ku padanya. Aku hanya ingin menjadi kakaknya, seperti dulu. “Saranghae..” bisikku, masih tetap memeluknya.

Joongki’s scene END

***

“Umgh..” Chaeyong menggeliat. Ia terbangun dari tidur ‘tanpa sengaja’nya. Ia masih memakai kain penutup untuk potong rambut, namun kakaknya sudah tidak ada disana. Ia tidak membangunkannya dan pergi begitu saja.

Chaeyong menegakkan duduknya, dan tak sengaja menemukan sebuah foto Polaroid di pangkuannya. Foto dirinya, tengah tertidur dengan damai. Ia tahu siapa yang mengambilnya. Hal ini membuat hatinya berdesir seketika. Ia tersenyum, namun matanya berkaca-kaca meski ia bertekad untuk tidak lagi menangis seperti kemarin.

Chaeyong pun beranjak, ia ingin ke toilet untuk melaksanakan tugas suci berskala kecil(-__-). Ia melewati wastafel. Namun sebelum benar-benar sampai di kloset, ia berbalik lagi. Memandangi wajahnya di cermin di hadapannya. “HYAAAHH!!!” teriaknya. Wajahnya di coret-coret. Gambar kacamata di kedua matanya, nomor punggung 10 nya tertulis di dahi dengan sedikit ornament-ornamen yang di gambar asal. Pokoknya wajahnya penuh coret-coretan. “Aish..” keluhnya. Namun sesaat kemudian ia malah tersenyum, kemudian terbahak-bahak dengan kedua tangan memegangi kedua sisi wastafelnya. Ia menunduk. Kehilangan senyumnya, menangis.

Saranghae oppa..”

***

Jinki’s scene

Tak pernah ada yang tahu bahwa aku melakukan ini. Test untuk mendapatkan beasiswa kuliah di HARVARD Amerika. Hari ini hasilnya akan diumumkan melalui Universitas, dan sekarang aku sedang berada di bagian akademik untuk mengambil hasilnya.

Seorang bapak yang bekerja disana menghampiriku setelah mengambilkan berkas yang ku minta. Sebuah amplop coklat ukuran quarto, ia memberikannya padaku. “Terima kasih.” Kataku padanya, dan segera membuka untuk tahu hasilnya. Setelah beberapa kalimat dalam bahasa inggris, akhirnya aku tahu hasilnya. Senyum terkembang di wajahku seketika.

“Selamat!” ujar bapak itu, sepertinya ia tahu hasilnya dari melihat ekspresi wajahku. Aku mengangguk sopan dan berterima kasih dengan hormat padanya. 1 tahun lagi. Tidak, kurang dari itu.. aku akan jadi mahasiswa di Harvard University dengan bea siswa.

Aku memasukan kembali surat itu kedalam amplopnya, dan bergegas untuk menghadiri kuliah umum. Mendadak semangat kuliahku langsung meletup-letup. Aku ingin lulus dengan hasil yang baik nantinya, agar benar-benar pantas menjadi mahasiswa di sebuah universitas di Massacusette itu. Namun saat aku melihatnya, aku seperti harus berpikir dua kali. Kalau aku jadi S2 disana, berarti aku akan meninggalkan bocah itu.

“H.. hyeong~! Yo~!” sapanya setelah menyadari aku di depannya. Aku mengangguk saja. “Mau kemana? Ada kuliah lagi?”

“Cuma kuliah umum. Kau?” tanyaku canggung.

Ia menggeleng. “Tidak ada! Aku mau pulang. Ada basket bareng anak-anak street ball di dekat rumah!” jawabnya riang. Aku tersenyum melihatnya. Sesaat matanya tertuju pada amplop yang aku bawa. Amplop berisi pengumuman itu.. “Kau bawa apa hyeong?”

Aku melihat amplop seukuran quarto itu di tanganku. “Ini.. pengumuman tes..” jawabku jujur, namun rasanya berat mengatakan itu.

“Tes apa?”

“Umh.. kuliah S2 di.. Harvard..” jawabku. Ia seperti tersentak, wajahnya terlihat begitu kaget. Tentu saja, aku tidak pernah membicarakan tentang ini denganya, dan tiba-tiba sekarang aku muncul dengan pengumuman bahwa aku lulus tes.

“A.. Amerika?” aku mengangguk. “Oh.. hasilnya?”

“Sukses! Aku berangkat tahun depan setelah wisuda!” jawabku.

Aku bisa melihat mimik wajahnya memunculkan banyak ekspresi, namun sesaat kemudian ia tersenyum kembali padaku. “Selamat~!!” katanya. Aku mengangguk, entah mengapa aku berharap saat ini ia mencegahku untuk pergi. “Kenapa tidak pernah bilang padaku? Harvard ya.. hmhh.. kau pintar juga!” katanya.

Aku tersenyum ragu. “Gomawo..”

“Oke, aku sudah hampir telat! Kalau kelamaan nanti mereka bisa ribut! Aku duluan ya hyeong~!” katanya sambil memepuk lenganku. “Besok traktir aku makan! Arrachi??”

Aku mengangguk, dan membiarkannya berlalu begitu saja. Kenapa dia tidak mencegahku? Kenapa dia membiarkanku pergi jauh meninggalkannya? Jadi aku benar-benar tak berarti apa-apa baginya? Aku memang hanya seorang ayam hyeong di matanya. Seorang seonbaenim, tidak lebih.

Dengan gontai aku berjalan ke arah auditorium, tempat berlangsungnya kuliah umum bagi mahasiswa semester akhir. Dan sekali lagi, aku merasa menyesal telah mencintai seseorang..

Jinki’s scene END

***

Chaeyong’s scene

Seharusnya aku senang, seperti yang aku ekspresikan tadi saat bicara dengannya. Seorang temanku baru saja berhasil lulus tes S2 ke luar negri. Sebuah universitas yang mungkin aku membayangkan untuk bisa masuk kesana pun tidak bisa. Tapi Jinki melakukannya. Dia berhasil lulus tes, dan tahun depan berangkat ke Harvard. Tapi kenapa aku malah tidak ingin dia pergi?

“YONG~! YA!!” seseorang meneriakiku. Aku menoleh, kulihat sebuah bola mengarah ke arahku dan, BAGHH~!! Sukses mengenai wajahku. Hidungku langsung berdarah, namun aku tidak bergerak dari sana. Bahkan jatuh pun tidak. “Ya~! Kau tidak apa-apa?” orang itu mendekatiku, juga beberapa anak lain, termasuk Joongki oppa yang tadi mengekor saat aku pergi untuk bermain disini.

“Beristirahatlah di pinggir! Kaki mu juga masih belum sembuh kan?” Yongbae, si sesepuh street ball disini mengintruksikan. Aku mengiyakan saja, sambil menutup hidungku dengan tangan, mencegah darahnya menetes kemana-mana.

Joongki oppa meletakkan kameranya. Ia mengambil tisu di dalam tasnya, dan menyumpalkannya di hidungku. Ia menyuruhku mendongak ke atas agar darah yang keluar tidak terlalu banyak. “Hyeong ngapain bawa-bawa tisu?” komentarku padanya.

Ia menoyor kepalaku pelan. “Bukan punyaku, ini punya YoonHee! Kebawa tadi waktu makan siang.. tapi ternyata ada gunanya juga!” katanya. Yah, seharusnya aku sudah bisa menebaknya. YoonHee eonni.

Sudah 3 hari sejak saat itu, dan aku mulai bisa menerima mereka. Harus ku akui, mereka pasangan yang serasi. Joongki oppa tampan, dan YoonHee eonni sangat cantik meskipun penampilannya sederhana dan tidak menggunakan banyak make up. Meski perasaanku tidak sepenuhnya hilang, tapi aku sudah bisa kembali melihat oppa tanpa rasa menyesal sedikitpun.

Hyeong..” panggilku. Aku masih menatap ke atas. Ia berdehem, sambil sesekali ku dengar suara jepretan kamera. Semoga ia tidak sedang memotret ku. “Kalau misal aku dapat kesempatan ke Amerika untuk melatih kemampuan basketku selama beberapa tahun, kau akan merasa senang, atau sedih?” tanyaku bodoh padanya.

“Aku senang lah.. karena adikku baru saja mendapatkan kesempatan sangat bagus untuk menjadi apa yang dicita-citakannya!” jawabnya dan sekali lagi kudengar ia memotret sesuatu. Aku bangun dan melepas tisu di hidungku. Darah sudah tidak meler lagi, dan kini ku lihat tisu ku sudah seperti bendera endonesa (-__-). “Tapi mungkin aku juga ingin kau tidak kesana..”

Aku menoleh ke arahnya. Joongki oppa sedang membidik beberapa anak laki-laki yang tengah bergumul di bawah ring untuk merebut bola yang akan jatuh. “Wae?”

“Karena aku sedih, nggak akan bertemu lagi denganmu dalam waktu yang lama!” jawabnya, kemudian memeriksa hasil bidikannya. Ahh.. mungkinkah itu yang kurasakan saat tahu Jinki oppa akan pergi? Tapi kenapa aku tidak ingin ia kesana? Padahal seharusnya seorang teman itu mendukung cita-cita temannya. “Jinki ya?” tiba-tiba oppa mengejutkanku.

“He?”

“Jinki kan? Aku bisa membacanya dari wajahmu!” katanya. Mendadak jantungku berdegub begitu kencang. Hal sama yang kurasakan sejak beberapa waktu yang lalu. Ahh.. tidak! Jangan! Itu tidak mungkin! Aku tidak mau semuanya jadi salah..

Sementara aku mengatur perasaanku, aku tahu Joongki oppa memandang ke arahku dengan senyum di wajahnya. Ini semua membuatku benar-benar tidak mengerti.

***To be Continue***

Ja, thx for reading and don't forget to leave a comment, minna~!^^>

-Keep Shine Like HIKARI-

5 comments:

  1. deg degan gw baca part yg ini ... errr buruan kelarin gw penasaran Sunbae !

    ReplyDelete
    Replies
    1. deg deg an knapa? gw aja yang bikin.. deg deg an juga~ #eh?
      engga denk~ kkkk..
      iye iye.. kalo ga 2 part lagi kelar~
      makasi udah baca^^

      Delete
  2. jinki oppa >,< aku jadi kasian sama dia di bagian ktmu caheyong pas habis terima surat dikampus itu :(

    bagian atas cukup mendebarkan tu, seru seru..ayo cepetan ya lanjutannya ^^b

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya.. aku sendiri ga tega nulisnya~ *bows deeply ke onyu sampe nyungsruk ke tanah*

      hehe.. makasi~ diusahakan apdet secepatnya! gamsahamnida~!^^

      Delete
  3. ga tega bener...inget dia ga nongol2 juga smpe skrg #upsssz

    sipp sipp..^^b

    ReplyDelete