Chapter ini membuat gw galau #ceileh.. bagaimana engga? Beberapa kali gw revisi chapter ini, tapi feel nya sama sekali nggak dapet, ceritanya terkesan datar dan engga nyambung sama chapter sebelumnya. Sampai hari ini gw memutuskan menulis ulang semuanya. Gw emang belom tau apakah hasilnya memuaskan atau engga, tapi ini hasil final untuk chapter ini..
Sebentar lagi FF ini bakalan kelar, kayak orang lagi bikin film, rasanya sedih gw~ #alay
hahaha.. 8 chapter sejauh ini, chapter FF paling panjang yang pernah gw tulis~ *selain FF gw yang udah 13 chapter tapi suspend gegara ide matet dan akhirnya nggak ada niat untuk diterusin lagi~ *penulis macam apa??* hhh
Ok, happy reading~!^^
I don't Understand
Chaeyong’s scene
Jantung berdebar-debar, perasaan yang meluap-luap, dan kebahagiaan yang
berlebih saat bertemu seseorang.. apa artinya?
Kesedihan yang tiba-tiba terasa saat seseorang akan meninggalkanmu, kau
tidak rela ia pergi meski kau tahu itu demi kebaikannya.. apakah perasaan ini
ada hubungannya dengan perasaan bahagia yang terjadi pada orang yang sama?
Perasaan apa itu?
Aku terus membalik-balik buku bahan ajar kuliah di tanganku, tentu saja
bukan untuk mencari tahu jawaban tentang itu. Aku hanya sedang menjadi bahan
tugas yang diberikan dosen untuk dikumpulkan besok, namun pikiran tentang
perasaan ini masih terus melayang-layang di otakku. Dan satu lagi yang sejak
tadi terus berkeliaran di kepalaku. Lee Jinki, Jinki oppa. Ia mau ke Harvard.. jauh. Berarti aku tidak akan bertemu
dengannya lagi ya? Tapi harusnya aku senang dia bisa mewujudkan keinginannya,
bukannya begini.. ahhh!! Aku nggak ngerti!!!
Ku acak-acak rambutku sendiri setelah terlebih dulu membanting buku bahan
ajar itu di meja. Kalau kesimpulanku benar tentang perasaan ini.. tapi masa
segitu cepatnya? Apakah ini pelarian dari perasaanku pada Joongki oppa? Mungkin begitu.. berarti aku tidak
bisa. Andwe! Ini tidak boleh terjadi,
aku tidak ingin menyakiti Jinki oppa.
Tidak boleh, ia terlalu baik, aku harus menjaga perasaannya. Aku tidak bisa
menyukainya, Yongi, kendalikan perasaanmu.. jebal~!
Hanya sampai tahun depan dan Jinki akan berangkat ke Amerika. Sampai tahun
depan, dan ia akan berangkat menjauh dari..ku..
Sesaat kurasakan sakit yang teramat sangat dalam dada. Ahss.. tiba-tiba ada
kabut didepan mataku~
Chaeyong’s scene END
***
“Ankle mu masih sakit?” tanya coach pada Chaeyong saat istirahat di tengah
latihan. Chaeyong duduk di tepi lapangan sambil menenggak botol minumannya dan
sesekali menyeka keringat di kening dan lehernya dengan handuk putih di
tangannya.
“Sudah lumayan, coach!” jawab Chaeyong. Ia menutup botol minumannya dan
meletakkannya di sampingnya.
“Itu karena kau nggak main berat semi final kemarin..” Coach menjelaskan tanpa
diminta. Chaeyong mengangguk-angguk saja. “Ngomong-ngomong, aku belum tanya,
waktu perempat final.. kau pergi kemana?”
“Ye?” Chaeyong sedikit tersentak.
“Kau telat 2 kuarter!” tegas Coach.
“Ah.. ye, igeon..” Chaeyong menggaruk-garuk tengkuknya, mencoba mencari
jawaban, namun tak ia temukan sama sekali. Berbohong bukan keahliannya.
“Aku hanya tidak ingin kau mengulanginya lagi! Jangan mentang-mentang kau
kapten, jadi bertindak seenaknya. Seorang kapten itu bertugas menyatukan dan
memimpin tim, bukan untuk di sombongkan karena dipandang sebagai yang terbaik,
kapten tak selalu yang terbaik!” Coach mengkuliahi Chaeyong yang hanya
mengangguk-angguk. Ia sadar apa yang ia lakukan beberapa waktu yang lalu itu
salah. Karena emosinya ia hampir mengorbankan tim nya, karena keegoisannya.
Kalau saja tidak ada Jinki..
Kalau saja tidak ada Jinki..
Jinki..
Sesaat pikiran Chaeyong melanglang buana, dan sudah tak mendengar lagi apa
yang dikatakan perlatihnya saat itu. Entah pikirannya kemana. Tatapannya
kosong, tangannya sibuk menyeka keringat di pipinya sampai benar-benar kering,
namun ia masih menggosoknya dengan handuk.
“Yongi~! Kau mendengarkanku?” Coach menggoyangkan badan Chaeyong.
“Ah.. ye coach? Cwesonghaeyo..” Chaeyong memasang senyum
canggung. Coach mendengus kesal.
“Seperti yang kubilang, bicarakan padaku kalau kau sedang ada masalah! Aku
tidak mau masalah pribadimu sampai mengganggu tim! Arra?” jelas Coach.
Chaeyong mengangguk. “Ye coach, arraseumnida!” jawabnya mantab. Coachnya
menepuk bahu Chaeyong, seraya berdiri dan pergi dari sana untuk kemudian
memulai latihan lagi setelah ia rasa istirahatnya cukup. Chaeyong ikut berdiri,
membanting handuknya asal dan berlari bersama teman-temannya yang lain. ‘Jangan
pikirkan Jinki hyeong!’ pikirnya.
***
Jinki
menimang-nimang kertas pengumuman itu di tangannya. Sesekali ia membacanya.
Keterangan LULUS beserta nilai yang tertera tidak berubah sedikitpun, tentu
saja. Sesekali ia menghela nafas, meletakkan kertas itu di atas amplop di tepi
meja belajar, kemudian membenamkan kepalanya di atas tangannya yang terlipat di
atas meja. Ia masih merasa tidak ingin berangkat ke Harvard tahun depan.
Tapi ia sudah
terlanjur memberitahukan pada orang tuanya. Ia sudah terlanjur bilang kalau
tahun depan setelah kelulusan, ia akan langsung kesana mengurusi segala macam
yang dibutuhkan untuk kuliah dan kehidupannya di Massacusette. Ia tidak mungkin
membatalkannya, ia tidak ingin orang tuanya kecewa.
Jinki beranjak
dari duduknya, hendak mengambil buku dari rak buku yang ada di sebelah meja
belajar. Ia tarik salah satu buku dengan harcover itu, namun tak sengaja
menjatuhkan satu buku lagi hingga buku itu terbuka dan mengeluarkan beberapa
isinya, termasuk.. sebuah foto. Ia tidak ingat pernah menyimpan foto disini.
Ia berjongkok,
mengambil foto itu dan memandanginya sejenak. Fotonya bersama Chaeyong, sekitar
beberapa tahun yang lalu, mereka tengah makan disebuah restoran. Jinki
membaliknya, tertera beberapa tulisan disana.
Lee Jinki, resmi ku nobatkan kau sebagai Lee
Chicken! kkkkkkkkkk..~
-Jjang Chaeyong- ^0^
“Jjang? (Jjang:the best, sedangkan marga Chaeyong ‘Jang’)” Jinki terkekeh.
Ia bangkit, merapikan buku-bukunya, mengambil buku yang diinginkan dan kembali
duduk di meja belajarnya. Sudah cukup lama sejak ia mengenal Chaeyong, saat
gadis itu menjadi mahasiswa baru di universitasnya. Disaat dimana ia berpikir
melihat seorang mahasiswa, bukannya mahasiswi, tengah mengendap-endap di balik
semak-semak.
~FLASHBACK~
Mahasiswa baru
harus menghormati senior, tidak boleh melawan jika senior menginginkan sesuatu,
menerapkan senyum, salam, sapa setiap bertemu dengan senior, selalu
mendahulukan senior. Kalimat panjang itu tertera di papan pengumuman di loby
depan kampus. Oh yeah! Sesuatu yang sangat tidak disukai oleh seorang mahasiswa
baru dengan backpack coklat dan kemeja kotak-kotak warna coklat-hijau yang
lengannya digulung sampai beberapa centi dibawah siku itu. Sejak tadi ia hanya
berdiri di tembok gerbang kampus, menunggu saat yang tepat untuk masuk. Ia
tidak ingin bertemu dengan senior.
Setelah saat
yang cukup tepat itulah ia masuk, mengendap-endap melalui semak di pinggir, dan
sesekali berhenti untuk melihat keadaan. Sebenarnya tak ada masa orientasi
khusus untuk mahasiswa baru disini. Tak ada perploncoan, maupun acara-acara
sejenisnya yang dipandang terlalu Spartan dan hanya membuat mahasiswa mengalami
kelelahan fisik dan mental. Namun tulisan yang tertera di loby kampus itu sudah
menjadi budaya di universitas itu. Tapi sebenarnya tidak perlu ditakuti, tidak
semua senior menginginkan hal seperti itu juga, hanya orang-orang tertentu yang
suka jika dipandang karena kekuasaannya.
Mahasiswa baru
itu masih mengendap-endap, sesekali ia melongok keluar semak, memastikan
semuanya aman, kemudian berjalan lagi. Padahal 5 menit lagi kelas akan dimulai,
kalau dia tetap berjalan seperti itu, mungkin 30 menit lagi baru sampai ke
kelasnya yang ada di lantai 3~!
“Ya~! Kau sedang apa?” tiba-tiba
seseorang mengagetkannya. Mahasiswa baru itu menoleh. Ia mendapati seorang
senior tengah berjongkok tepat di belakangnya sambil ikut melongok keluar
semak.
“Yhiaaa~!! Seonbaenim..” Mahasiswa itu jatuh
terduduk. Seniornya mengernyitkan keningnya.
“Kamu kenapa?”
“A..ahniyo~! Jeongmal cwesonghamnida~!
Aku harus segera pergi!” dengan gugup, mahasiswa baru itu bangun, kemudian
bergegas. Ia keluar dari semak, berjalan dengan biasa saja, meski ia masih
takut bertemu dengan senior.
Tiba-tiba ia
rasakan sebuah tangan melingkar di belakang lehernya. Ia menoleh, senior itu
sudah merangkulnya sok akrab. “S..seonbaenim..”
“Jangan panggil
aku seonbaenim kalau kamu tak mau
ketahuan mereka! Aku tahu kau tidak mau sok sopan pada senior kan?” tebak
senior itu dengan senyum percaya diri.
“Ah.. ye~”
“Ngomong-ngomong,
aku Jinki! Lee Jinki! Mahasiswa tingkat 2! Kau?”
“J..jeoneun.. Jang Chaeyong.. ieyo..”
Sesaat ekspresi
Jinki seperti ‘uhh?’ tapi sesaat kemudian ia sudah merubah ekspresinya. ‘Memang sekarang banyak orang tua yang
menamai anak laki-lakinya dengan nama yang cantik..’ batinnya. Pikiran yang
sangat salah pada awalnya.
“Jadi kau Jang Chaeyong?
Kau yang beberapa waktu lalu meminjamkan payung itu kan? Aku kembalikan besok
ya!” ujar Jinki, tangan kanannya masih bertengger di bahu Chaeyong. “Kuharap
kita bisa jadi teman baik!”
Chaeyong melirik
seniornya yang bernama Jinki itu, kemudian tersenyum kecil. “Oh! Bangapseumnida, seonbaenim!” Ia tampak senang. Jinki
adalah teman pertamanya di kampus. Dan ia merasa senang seorang senior mau
berteman dengannya dengan tangan terbuka, bukannya membuat peraturan aneh yang
tidak terdaftar dalam undang-undang kampus, namun junior harus mentaatinya.
~FLASHBACK END~
Jinki terkekeh.
Ia merasa lucu mengingat kejadian beberapa tahun yang lalu itu. Namun sesaat ia
terdiam, mungkin dulu lebih baik ia tidak tahu kalau Chaeyong itu seorang
perempuan. Atau mungkin, seharusnya dulu ia tidak menghampiri bocah yang tengah
mengendap-ngendap di balik semak dan menyelamatkannya jadi senior-senior kampus..,
ah tidak.. mungkin.. Tapi ia tahu, Tuhan mungkin sudah mentakdirkan ini semua.
Bagaimana ia harus bertemu dengan bocah itu. Di sesali pun waktu tidak akan
kembali seperti sebelum mereka bertemu. Namun ia masih sedikit berterima kasih,
Chaeyong sudah membuat hidupnya sedikit berwarna, ia tidak hanya hidup dengan
belajar. Ia masih sedikit bermain-main, dan bisa merasakan bagaimana perasaan
itu datang. Ketika ia mencintai seseorang.
Di tengah lamunannya,
tiba-tiba ponselnya berbunyi, Jinki mengambilnya dari atas meja dan segera
membukanya. Sebuah pesan dari Chaeyong.
Chicken hyeong, besok pertandingan final! Datang ya!
Kutitipkan tiketnya pada Joongki hyeong! Besok kalian masuk sama-sama aja!^^ -Jjang
Chaeyong-
“Lagi..?” Jinki
terkikik geli. Cepat-cepat ia balas, hanya mengiyakan. Ia tidak bisa terlalu
banyak bicara, dengan kata lain tidak bisa memikirkan mau membicarakan apa.
Setelah pesan terkirim, ia kembalikan lagi layar ponsel itu ke wallpapernya.
Gambar ayam goreng (-__-). Jinki menghela nafas, disertai senyum kecil. “Bahkan
dia hampir mengalahkan benda kesayanganku~” bisiknya pada diri sendiri, meletakkan
kembali ponselnya, dan membuka bukunya untuk segera belajar.
***
Tomorrow 7.00 PM
Quarter 4 babak
final basket putri sudah dimulai 3 menit yang lalu. Skor sementara berbeda
tipis antara Klub Seoul dengan lawan. 55-54. Klub Seoul berusaha menambah angka
untuk melebarkan jarak, hingga detik-detik terakhir mereka terus melakukan
perlawanan, namun seperti memiliki beteng setinggi atap gedung olah raga itu,
pertahanan mereka di menit-menit terakhir pertandingan selalu gagal untuk di
runtuhkan klub Seoul, membuat sedikit celah pun sangat sulit.
2 menit
terakhir, bola didapatkan klub lawan, dan mereka segera mendriblenya ke daerah
deffens klub Seoul. Dengan cukup ketat, kelima pemain andalan klub Seoul yang
sudah berpeluh cukup banyak itu berusaha menjaga daerah mereka mati-matian.
Namun gagal, klub lawan berhasil men-shoot bola itu tepat didepan Hyojung
setelah sedikit melakukan fake. 2 angka untuk tim lawan, skor menjadi 55-56.
Seoul harus melakukan perlawanan, jika tidak mereka selesai sampai disini.
Minyeong
mengambil bolanya di luar lapangan, mem-pass nya pada Chaeyong dan membawanya
ke daerah offense mereka. Chaeyong memberikan kode-kode untuk menentukan
strategi yang digunakan. Ia mem-pass nya pada Jiyeon, Jiyeon kembalikan ke
Chaeyong. Kemudian ia pass pada Minyeong, Minyeong berbalik, ia seperti hendak
menembak, namun ternyata ia pass pada Bora. Tapi terbaca! Gerakan mata Minyeong
yang mengkode Bora, tertangkap lawan, dan pemain depan lawan berhasil melakukan
cut! Fast-break pun dilakukannya untuk menyerang daerah deffens Seoul. Namun
dengan segala cara, Chaeyong mengupayakan untuk merebut bolanya.
Ia rebut bola
itu dengan menepisnya, bola terjatuh di lantai, jauh dari siapapun. Setelah
sepersekian detik mereka harus mencerna hal yang sedang terjadi, hampir
semuanya bergegas berniat untuk mengambil bola itu. Chaeyong melompat, seperti
terbang, ia mengambil bola itu dengan posisi terlentang setelah sekali
bergulung.
“30 detik
lagi..” Jinki dari bangku penonton bergumam. Ia mengatupkan tangannya, bedoa.
“Seoul menang..” bisiknya.
“Setengah
menit!!” dari arah bangku cadangan, beberapa pemain berteriak. Mereka mencoba
menyemangati tim yang sedang berada di tengah lapangan. Chaeyong melihat ke
papan skor. 29 detik. Ia melihat ke daerah offense, pertahanan tim lawan sedang
kalut. Ia melihat Hyojung sudah berlari ke arah ring, meminta bolanya.
“Jebal~” bisik Chaeyong. Ia melempar
bolanya ke arah Hyojung. Hyojung berusaha mengambilnya.
PLAKK!
Bola berhasil
ditepis lawan. Chaeyong terperanjat, namun segera berusaha mengambilnya lagi.
Ia tumpukan badannya pada kaki kirinya.. “ARRRHHH!!” pekiknya.
“Chaeyong!”
Minyeong berseru.
“KEJAR
BOLANYA!!” Chaeyong berteriak, berusaha untuk bangun sendiri, tak mengijinkan
siapapun untuk membantunya.
Klub Seoul masih
berusaha mati-matian, merebut bola, bola berhasil di ambil Jiyeon. Ia
mendribble bolanya ke arah ring, dan hendak memasukannya dengan lay-up, meski
dihadapannya 2 orang berjaga. Tak mau membiarkan bola masuk ke ring mereka.
“5..! 4..! 3..!
2..! 1..!” seiring seruan dari penonton, waktu habis, tepat dengan terkaparnya
Jiyeon setelah center tim lawan mem-block nya saat ia hendak melakukan layup.
Suara supporter
tim lawan riuh, namun hening di pihak klub Seoul. Minyeong, Bora, Hyojung,
berdiri lemas di tengah lapangan. Jiyeong menangis, ia masih terkapar,
terlentang di bawah ring, sedang dihadapannya 2 orang yang semula menjaganya
telah berpelukan gembira. Chaeyong masih berusaha berdiri, namun sakit di
kakinya sudah berangsur menghilang, kini sakit karena kekalahan lebih
dirasakannya. Pemain di kursi cadangan segera menghambur, beberapa memeluk
ketiga pemain yang tengah terpejam menahan air mata itu, membantu Jiyeon dan
Chaeyong berdiri. Diiringi isak tangis dari semuanya karena kekalahan mereka,
mereka kembali lagi masuk ke ruang pemain.
“Mereka kalah..”
Jinki bergumam. Wajahnya tak percaya. Ia tahu ini tidak mudah bagi Chaeyong.
Joongki hanya
tersenyum, meski sebenarnya ia juga kecewa. Tapi ini hanyalah sebuah game. Klub
Seoul sudah bermain dengan baik, hanya faktor Luck yang tidak berpihak pada mereka. Joongki menghela nafas
pendek, kemudian menepuk bahu Jinki. “Kita keluar yuuk, kita tunggu di depan
ruang pemain!”
---
“Good game,
gals! Kita memang tidak juara tahun ini, tapi permainan kalian jauh lebih bagus
dibandingkan tahun kemarin! Coach salut dengan kerja keras kalian!” Coach buka
suara setelah semua berkumpul dan berhenti menangis, meski sedikit isakan masih
terdengar dari beberapa pemain. “Terima kasih banyak semuanya sudah berjuang
dengan baik! Jangan disesali, jadikan ini sebagai pelajaran agar kita bisa
bermain lebih baik lagi! Tahun depan, kita balas kekalahan kita! Arra??”
“YE! COACH!” seru mereka keras, dan
evaluasi pun usai.
Semuanya keluar
dari ruang pemain, Chaeyong keluar paling akhir dengan langkah gontai dan
sedikit terseok karena ankle nya kembali cedera di lapangan. Masih terdengar
sesekali ia terisak. Ia merasa gagal sebagai kapten, meski yang lain tidak
menganggapnya begitu.
Di depan, Jinki
dan Joongki sudah menunggunya. Mereka segera menghampiri bocah itu begitu ia
muncul dari balik pintu. “Yongi-a, gwaenchanayo?” Jinki bertanya khawatir. Chaeyong
hanya mengangguk kecil dan berusaha tersenyum.
Joongki mengacak
rambut gadis itu. “Good game! Nggak perlu menangis, kalian cuma kalah hoki aja
kok!” komentar Joongki. “Udah yuk, kita makan! Mengembalikan mood..” ajak
Joongki sambil melihat ke dua bocah di hadapannya. “Restoran ayam?” Jinki
langsung tersenyum lebar, Chaeyong terkekeh melihatnya.
“Aigoo~ kalau ketawa habis nangis nanti
muncul tanduk di pantat mu lo!” goda Jinki. Chaeyong mendengus, menoyor
kepalanya, kemudian pergi. Diikuti Joongki yang berjalan menyamai langkahnya.
Jinki menghela nafas, tersenyum kecil, kemudian mengikuti mereka. Setidaknya
kali ini ia membuatnya tesenyum.
***
Yoonhee
memandangi cincin di jari manis tangan kanannya. Couple ring. Ia masih tidak
percaya angannya itu terwujud. Ia pacaran dengan idolanya semasa SMA, Song
Joongki. Pertemuan mereka berawal dari wawancara majalah sekolah, itu yang
diingat Joongki. Tapi menurut Yoonhee, semua berawal saat Yoonhee kesulitan
membawa seabreg file yang harus dipindahkannya dari ruang berita ke ruang
majalah sekolah. Tidak ada satupun teman klub yang membantunya, ia mengerjakan
semuanya sendiri. Dan disaat itulah anak laki-laki itu datang. Song Joongki. Ia
baru kembali dari ruang loker, mengganti baju olah raganya dengan seragam, dan
ia segera menawarkan diri untuk membantu saat melihat Yoonhee kesulitan.
Yoonhee pun
langsung menyukainya pada pandangan pertama. Joongki saat itu tidak terlalu
tampak fashionable. Rambut pendek biasa khas anak SMA, seragam sekolah yang
dikenakan tanpa variasi. Sepatu sekolah. Ia remaja biasa, tapi hanya dengan itu
pun kharismanya bisa terpancar begitu hebatnya, ditambah ia punya perangai yang
sangat baik. Membuat Yoonhee segera menyukainya begitu bertemu. Tapi mungkin
Joongki melupakan itu, ia hanya ingat pertama kali mereka bertemu saat Yoonhee
mewawancarai Joongki untuk majalah sekolah mereka, dan dari situlah keduanya
mulai menjadi teman baik.
Gadis dengan
rambut diikat ekor kuda itu tersenyum kecil, membuat paras cantiknya tampak
semakin mempesona. Pipinya memerah. Namun ia masih memikirkan tentang Joongki
tidak benar-benar mencintainya. Bahkan ia terang-terangan mengatakan pacaran
dengannya hanya sebagai pengalihan. Sungguh jahat. Memang, Joongki pun merasa
begitu. Tapi Yoonhee hanya bisa mengiyakan, sejauh Joongki merasa bahagia, itu
juga menjadi kebahagiaannya.
“Uuu.. di
pandangi terus! Nanti lecet lho cincinnya!” seorang editor bernama Park Shinhye
menghampirinya dengan food tray berisi cake dan jus jeruk. Ia duduk di sebelah
Yoonhee yang masih saja memandangi couple ring nya itu. “Kau begitu menyukai
Joongki sebanyak itu?”
Yoonhee mengela
nafas, kemudian mengangguk kecil. “Seperti mimpi aku bisa pacaran dengannya!”
katanya, mulai menurunkan tangannya dan melipatnya di atas meja.
“Tapi kalian
sangat serasi! Dia tampan, dan kau cantik! Ah~ rasanya seperti nonton drama!”
komentar Shinhye, keduanya terkekeh.
“Tapi kadang aku
malah merasa sedang di bohongi..” dengus Yoonhee, ia menopang sebelah dagunya
dengan tangan kanan, memandang kosong ke depan.
“Kau ini mikir
apa? Aku tahu Joongki seonbae bukan
orang yang seperti itu! Percayalah!” Shinhye berkata menurut penilaiannya.
Meski mungkin tidak 100% benar, tapi Yoonhee berharap apa yang dikatakan
Shinhye benar. Joongki serius soal hubungan mereka.
***
“Masih mengurus
kepindahanmu taun depan?” tanya Chaeyong. Mereka, Chaeyong dan Jinki, duduk
berjajar di bangku di perpustakaan. Suasan sudah mulai dingin meski mereka
berada didalam ruangan, itulah kenapa Chaeyong mengenakan syal tebal
mengelilingi lehernya, dan membenamkan setengah wajahnya sampai hidung disana.
Tangannya terus berada didalam saku jaket, dan sebentar-sebentar ia
menggerak-gerakkan tubuhnya agar badannya sedikit menghangat.
Jinki mengangguk
kecil, matanya masih memeriksa beberapa berkas yang baru diambilnya dari bagian
akademik. Sesekali ia benahi letak kacamatanya, kemudian kembali membaca. “Aku
bakal tinggal di asrama nantinya, bersama mahasiswa Korea yang lain. Jadi aku
harus mengurusi ini itu..” Jinki bercerita tanpa diminta. Namun matanya masih
tak lepas dari kertas-kertas itu. “Aku harap bisa cepat beradaptasi disana!”
“Hmhh.. keuraeyo~?” mata Chaeyong melirik ke
arah berkas-berkas itu, mencoba membaca apa yang ada disana. “Wae Harvard~? Kan jauh banget..” desis
Chaeyong lirik, ia sedikit melamun, makanya jadi ngelantur dan tanpa sadar baru
mengucapkan apa yang sebenarnya ia pikirkan.
“Mwohae?” Jinki menoleh, merasa mendengar
sesuatu.
Chaeyong
terperanjat, menggelengkan kepalanya cepat. “Ahni.. ahni..” tangannya
dikibas-kibaskan didepan wajahnya. Ia tidak mungkin mengatakan hal itu pada
Jinki. Ia ingin Jinki meraih cita-citanya, itu yang ia tanamkan di hatinya.
Untuk saat ini. “Ah.. tapi, apa yang akan kau lakukan sebelum pergi ke Harvard,
hyeong?”
Jinki mendongak,
berpikir sejenak. “Menyelesaikan kuliah untuk semester ini, semester depan aku
akan menulis skripsi, sidang, ujian, lulus, kemudian aku akan segera ke
Harvard..” Jinki menghela nafasnya mengakhiri kalimatnya.
Chaeyong
mengangguk-angguk. “3 tahun itu begitu cepat..” desis Chaeyong. Jinki hanya
berdehem, ia melirik Chaeyong dari sudut matanya. “Rasanya baru kemarin kau
membantuku lolos dari senior-senior itu, dan sekarang hyeong sudah mau S2! Haha.. kau sudah tua!” komentar Chaeyong,
diiringi kekehan kecil di akhir kalimatnya.
“Mwoya??” Jinki menyenggol lengan
Chaeyong menggunakan bahunya, sehingga membuat Chaeyong terhuyung, namun ia
kembali menegakkan duduknya lagi.
“Aa.. Jinki hyeong..”
“Mwohaeyo?” tanya Jinki. Ia memasukkan
semua berkas itu kedalam amplop, kemudian memasukannya kedalam ranselnya.
“Ah.. ahniyo~” ia menghela nafas pendek. ‘Pabo~!’ batinnya pada diri sendiri.
***
Ia, Jinki, baru memasukkan beberapa berkas lagi ke bagian akademik. Ia
sudah melengkapi semuanya, dan mulai tahun depan setelah lulus ia akan segera
menjadi mahasiswa di Harvard University. Jinki berjalan pulang sendirian, hari
ini Chaeyong pulang mendahuluinya, entah katanya ia ada urusan. Udara dingin
mulai menusuk-nusuk sampai ke tulang. Ia lipat tangannya didepan dada dengan
erat. Mempercepat langkahnya. Nafas yang keluar dari mulut dan hidungnya
mengepul berwarna putih, bagai gumpalan kapas tipis yang berterbangan.
Meski ia baru saja menyelesaikan urusan soal keberangkatannya itu, hatinya
masih saja belum ikhlas. Ia masih tidak rela harus berangkat meninggalkan
Seoul. Meninggalkan Chaeyong.. Ia masih berharap gadis itu mencegahnya, dan
menyuruhnya untuk tidak berangkat.
“Jincha..” Jinki bergumam. Ia
memasukkan kedua tangannya ke saku mantel hitam yang menutupi hingga beberapa
centi di atas lutut saja, setelah merapatkan syal di lehernya. ‘Apa aku harus
melupakannya..?’ pikirnya. Tapi setelah ia pikir-pikir lagi, membayangkannya
saja tidak bisa. Chaeyong terlalu kuat melekat didalam hatinya. Meski ia dengan
cerdik menyembunyikan perasaannya dengan sempurna.
“Wae..” desisnya. Suaranya
bergetar. Sebentar kemudian, air mata mulai berkumpul di pelupuk matanya, dan
sedetik kemudian, setitik air sudah menetes di pipinya. Meleleh dengan lembut
hingga terjatuh dari dagunya, ke tanah. Ia menyekanya dengan lengan mantelnya.
Namun air mata itu tak kunjung habis.
Jinki memakai tudung mantelnya, ia tidak ingin orang melihatnya menangis.
Ia kenakan kacamatanya, untuk menutupi matanya yang merah, mempercepat jalannya
menuju ke rumah. Ia menyesal tadi tidak berangkat pakai motornya ke kampus.
***
Suara benturan antara kerikil dengan tanah terdengar sedikit lebih keras di
sebuah jalan perkampungan dimana Chaeyong tengah berjalan pulang sekarang.
Setengah wajahnya masih terbenam di dalam lingkaran syal tebalnya. Tangannya
terus berada didalam kantong jaket baseballnya. Kakinya yang bersepatu itu tak
berhenti menendang kerikil yang sama hingga benda kecil tak beraturan itu
menggelinding kesana kemari.
Chaeyong mendengus, ia kesal, pikirannya tak bisa lepas dari bocah itu.
Jinki. Padahal ia sudah mati-matian menolak perasaannya. Ia pikir perasaan itu
hanya sebuah pelarian, makanya ia tak mau perasaan itu menjadi lebih dalam
lagi. Namun yang dialaminya adalah, semakin ia menolaknya, semakin ia mengerti,
perasaan sukanya pada Jinki sangatlah besar. Mengingat semua hal yang pernah
mereka lakukan sama-sama di tahun-tahun ini, ia baru menyadari, perasaan itu
sebenarnya sudah ada sejak lama. Dimana kadang ia merasakan kebahagiaan yang
berlebih saat mereka bersama. Oke, sedikit klasik, tapi itulah keadaannya.
Chaeyong berhenti, menoleh ke arah kardus yang diletakkan di bawah tiang
listrik yang terang karena lampu jalan
yang menempel di atasnya. Ia mendengar suara gonggongan lirih anak anjing dari
dalam kardus itu, Chaeyong mendekatinya, berjongkok, dan membukanya. Seekor
anak anjing berwarna putih menggemaskan, meraung-raung kelaparan. Chaeyong
meraih sesuatu didalam tasnya. Biskuit. Ia mematahkannya menjadi potongan kecil
dan menyuapkannya pada anjing itu. Dimakan. Chaeyong mengelus kepala anjing itu
pelan. “Kau dibuang.. tapi setidaknya masalahmu nggak se kompleks ini.. kau
cuma perlu rumah~” gumam Chaeyong, dan sekali lagi menyuapkan biskuitnya.
Chaeyong menghela nafasnya pendek. “Kalau kau ayam, aku akan membawanya ke
rumah chicken hyeong! Tapi kau anjing
sih..” Chaeyong terkekeh sendiri dengan kalimatnya. Ia ngelantur. Dalam waktu
sebentar saja 2 keping biskuitnya sudah habis. “Heh, anjing! Kau suka biscuit?
Kalau ayam, suka nggak?” katanya random. “Ahh.. pabo..” Chaeyong memukul kepalanya sendiri.
Ia masih mengelus anjing itu sambil terus berpikir tentang perasaannya.
Beberapa saat kemudian, ia berdiri sambil membawa kotak berisi anjing itu,
membawanya ke tempat perawatan hewan terlantar.
***
Song Family’s home
“Masih meneruskan proyek mu, oppa?”
Yoonhee yang baru meletakkan kudapan di meja makan itu duduk di sebelah Joongki
sambil ikut melihat apa yang dikerjakan Joongki dengan laptopnya. Memilah-milah
foto yang akan digunakan saat pameran keduanya nanti. Ia hampir saja lupa
dengan proyek ini, sampai semalam ia memeriksa laptopnya lagi. “Foto yang itu
bagus..” Yoonhee menunjuk foto Jinki yang sedang menikmati ayamnya dengan
binal, Joongki terkekeh, begitu juga Yoonhee.
“Itu Yongi yang mengambilnya, bukan aku.” Joongki menjawab, tanpa
mengalihkan pandangannya. Yoonhee mengangguk-angguk saja.
“Keurae.. kelihatannya cukup berbakat..” bisik Yoonhee dengan senyum tipis
di bibirnya.
“Yoonhee-a, gwaenchanayo?” tanya Joongki tiba-tiba.
“Mwohae?”
Joongki menggeleng kecil. “Kata Shinhye kau menceritakan sesuatu tentangku
padanya?” jawab Joongki jujur. Beberapa waktu lalu Shinhye memang kelepasan
bicara saat keduanya sedang mengobrol.
“Aish.. geu Shinhye..” desis Yoonhee.
“Ada sesuatu yang kau pikirkan?” tanya Joongki lagi.
“Ah..ahniyo oppa~” jawab Yoonhee
ragu.
Joongki menghentikan aktifitasnya, kemudian menoleh pada Yoonhee yang duduk
di sampingnya. “Apa ini tentang.. kenapa kita pacaran?” katanya dengan jeda
ditengah kalimatnya. Ia merasa harus menjelaskan ini sekarang. Yoonhee
terperanjat, Joongki seperti bisa membaca apa yang tengah ia pikirkan.
Joongki mengalihkan pandangannya. “Aku juga ragu pada awalnya.. tapi
sekarang aku mengerti!” Joongki menghela nafas pendek, membalik badannya kea
rah Yoonhee, meraih kedua tangan gadis itu dan mengusapnya lembut. “Neol saranghae..”
“N..ne?”
“Kau tidak tahu? Perasaanku sudah tumbuh begitu saja, entah sejak kapan..
dan aku harap kau, juga aku, tidak meragukan ini..” Joongki tersenyum kecil.
“Yoonhee ga Jhoahae!”
“Oppa..” Yoonhee terbengong,
namun sesaat kemudian senyum mulai terbias di wajahnya. Sangat lebar. Bahkan
seberapa besar kegembiraannya bisa terlihat dari wajahnya. Ia tidak menyangka
hari ini akan mendengar Joongki mengatakan hal itu. Hal yang sudah ditunggunya
sejak SMA. Meski ia tahu saat itu tak seorangpun ada di hati Joongki. Dan kini
ia mendengarnya. Yoonhee memeluk Joongki erat. “Gomawoyo!” bisiknya. Air mata meleleh di pipinya. Terharu. Ia
benar-benar bahagia.
Joongki mengangguk, membalas pelukannya, sambil sesekali menepuk punggung
Yoonhee lembut. “Nado.. gomapda!” balasnya.
***
Jinki’s scene
Hari terakhir ujian.. ahh~ tak terasa semester ini sudah berakhir. Tinggal
nunggu nilai keluar. Aku keluar dari ruangan sambil menepuk-nepuk bahuku,
terlalu banyak duduk membuat punggungku sakit! Aku mau pulang saja setelah ini,
sampai aku melihat seseorang melangkah dengan gontai ke arahku sambil memandang
ke lantai. Chaeyong. Sudah seminggu ini aku tak ada kontak dengannya. Selain
karena ujian, juga karena.. perasaanku.
“Yongi!” aku menyapanya seperti biasa, tanpa menampakkan kegugupanku agar
ia tidak curiga dengan perasaanku.
“O..oh, hyeong~! Annyeong!” sapanya gugup.
“Waeyo? Sesuatu terjadi padamu?”
tanyaku khawatir. Aku tak pernah melihatnya gugup seperti ini.
“Kuharap sonsaengnim salah baca
waktu mengkoreksi nanti..” tiba-tiba ia berjongkok, aku menunduk, meraih
lengannya untuk membangkitkannya. Tapi ia tetap berjongkok. Kedua tangannya
memegang kepala, mengacak-ngacak rambutnya dengan asal. “Ujiannya susah~!!”
Aku tersenyum lebar, mengangkatnya bangkit sambil terkekeh. “Nggak jauh
beda sama keluhanmu semester kemarin!” aku tertawa. Chaeyong meninju lenganku
hingga aku mundur beberapa langkah.
Aku masih tertawa, sampai aku sadar sejak tadi Chaeyong hanya diam sambil
melihat ke arahku. Apa dia marah? Kesal denganku karena kata-kataku barusan?
Bahkan ia tidak tersenyum sedikit saja. Wajahnya datar, melihat ke arahku tanpa
berkedip. “Mwohaeyo?” tanyaku
takut-takut.
“Jinki op.. ahni.. hyeong..” katanya.
“Mwo?”
“Aku..” Chaeyong membuang pandangannya. “Jangan pergi ke Amerika..” katanya
pelan. Namun aku masih bisa mendengarnya, cukup jelas.
Aku terdiam sebentar. Mencoba mencerna apa yang baru saja kudengar. “Jangan
pergi..?” aku mengulanginya. “Wae?”
“Tidak tahu.. aku hanya tidak ingin kau pergi, oppa..” katanya. “Mianhae..”
Chaeyong berbalik, kemudian berlari pergi.
Aku tertegun sebentar. Ia mencegahku pergi. Ia memanggilku oppa. Perasaanku meluap-luap! Aku tak
bisa menjelaskannya, terlalu bahagia, berlebihan. Apa artinya ini?? Orang
bilang aku jenius, tapi untuk urusan ini, aku merasa sangat idiot! Namun
disamping itu, aku merasakan sedikit keraguan terhadap sesuatu.. Aku hanya bisa
memandang bocah itu, hingga ia menghilang di tikungan koridor.
Jinki’s scene END
***To be Continue***
#EHEM.. OKAY! Terjawab sudah.. dan sudah hampir di penghujung cerita!
Thx for reading dan jangan lupa komennya di butuhkan demi kemajuan karya THE BRIGHTESS AUTHOR IN THE GALAXY(?), LIGHT~!! *tepok tangan sendirian(-__-)*
Hontou ni sankyuu~!^^
-Keep Shine Like HIKARI-
THE BRIGHTESS AUTHOR IN THE GALAXY ????
ReplyDeletehhh ~ buruan kelarin !! panjang bener ~
10 jempol deh *pinjem jempol sana sini -___-a*
hahah.. udah gausah dibahas~ -__-
Deletegapapa lah~ masih ada yang lebih panjang dari FF gw ini~kkk
makasi deh.. bakal cepet lanjot~^^>
cepetin supaya FF rikuesan kegarap hihihihi
Deletearra.. arra.. -__-a
Deleteuwwaaaahhh...scene terakhir bikin deg-degan >,<
ReplyDeleteburu deh dilanjut kkk
ga ada yg ga sreg ky yg km omongin kmrn
tapi kalo di flashback, kayaknya jdi cepet bgt chaeyong lupa sama perasaannya ke joongki padahal kmrn ia sempet down krn joongki, tp gpp over all aku suka ceritanya ^^b
oh iya beneran ga ke post -_-
ReplyDeleteemm itu scene terakhir bikin deg-degan,
akhirnya ya chaeyong ngomong juga...
ni ff kl dibaca bagian ini tok g krasa kurang tp malah kyak gini => d(^_^)b
tp kalo dibaca dari awal, agak gimana gitu soalnya perasaan jantung berdebar-debar&perasaan yg meluap-luap itu dateng kayak cepet gitu, padahal kl di flashback kmrn itu si chaeyong kacau bgt gegara joongki, iya kan...
cuma itu sih, tp ga jd masalah kok, bagussss, aku sukaaa
jinki, jd keinget dia hhh
aku juga ngerasa gitu.. -__-
Deletentar aku coba bikin biar yang di awal itu gajadi kebaca nyebelin karena kesannya yong melampiaskan perasaannya ke orang yang beda..
makasih bedewe udah mau baca~!^^
ayam lagi apa ya? .. haha..
gpp gpp..ga nyebelin kok cuma agak tega hhh *tabokin - dorong ke 'kandang' ayam*
Deleteya sama2 loh ^^
ayam lg ngelamun, mikirin kamu kali #eaa
*mewek2 melukin ayam*
Delete*tiba2 tabi dateng, ambil satu ayam* tabi:mau bikin mie ayam sepesial dulu~ *eh, kok jadi nyambung ama twitt? ._.a*
hahaha.. bisa aja~ *dorong hyun sampe nyungsruk* eh~
kkkkkkkkk